September 13, 2024

Tak Rasional, MK Hapus Aturan Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota Tiga Orang

Senin (23/7), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang (UU) No.7/2017, yang mengatur anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota berjumlah tiga atau lima orang, bertentangan dengan Pasal 2 2E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tak lagi berkekuatan hukum tetap secara bersyarat. MK menyebut aturan ini tak rasional dan tak terukur, mengingat beban Pemilu Serentak 2019 yang lebih berat dari tiga penyelenggaraan pemilu sebelumnya.

“Frasa tiga atau lima dalam Pasal 10 UU No.7.2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai lima orang,” ujar Hakim MK, Saldi Isra, saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (23/7).

MK mengawali pertimbangan putusan dengan menguraikan original intent institusi penyelenggara pemilu yang tertuang di dalam Pasal 22 E UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyelenggara pemilu  merupakan institusi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Asas kemandirian ini ditopang oleh aspek imparsialitas dan aspek profesionalitas, dan merupakan penentu kualitas penyelenggaraan pemilu.

MK memberi penekanan pada aspek profesionalitas, yakni pengetahuan dan kompetensi yang memadai. Menurut MK, tanpa beban kerja yang seimbang, penyelenggara yang memiliki pengetahuan dan kompetensi baik tak akan mampu melakukan kerja-kerja profesional secara maksimal dan optimal. Oleh karena itu, ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu akibat kelebihan beban mesti dihindari demi menjalankan amanat konstitusi untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil.

“Andaipun kapasitas penyelenggaranya baik, namun memiliki keterbatasan dalam menjangkau semua aspek penting, mulai dari memastikan jumlah pemilih sampai memastikan suara pemilih dihitung dan direkap dengan baik, disebabkan oleh keterbatasan jumlah penyelenggara, tentunya akan mempengaruhi standar kejujuran dan keadilan pemilu dalam mewujudkan kedaulatan rakyat,” ujar Saldi.

Sejarah ungkap kesalahan pembentuk UU

Dalam menjawab apakah Pasal 10 ayat (1) yang dibuat oleh pembentuk UU melanggar UUD 1945, MK memaparkan sejarah pertama kali penentuan jumlah anggota KPU yang tertuang di dalam UU No.12/2003. Pada UU diatur jumlah anggota KPU RI sebelas orang, KPU provinsi lima orang, dan KPU kabupaten/kota lima orang. Jumlah ini ditetapkan setelah sebelumnya muncul opsi untuk menempatkan lima hingga sembilan orang pada KPU kabupaten/kota.

“Seperti terpapar di dalam Daftar Investaris Masalah (DIM) fraksi-fraksi DPR terhadap UU No.12/2003,  usulan yang muncul adalah anggota KPU sebelas, KPU provinsi sekurang-kurangnya lima dan sebanyak-banyaknya tujuh orang, dan anggota KPU kabupaten/kota sekurang-kurangnya tujuh dan sebanyak-banyaknya sembilan orang,” jelas Saldi.

Berdasarkan rekaman DIM, MK menilai pembentuk UU No.12/2003 berpikiran bahwa jumlah anggota KPU kabupaten/kota mesti lebih banyak dari jumlah anggota KPU RI dan KPU provinsi. KPU RI RI bergelut pad regulasi dan pengendalian, KPU provinsi mengurus koordinasi dan supervisi, sementara KPU kabupaten/kota sebagai pelaksana sekaligus pengendali penyelenggara ad hoc.

“Dengan demikian, dari aspek tanggung jawab, KPU dan KPU provinsi tentu lebih besar, namun dari beban aspek penyelenggaraan, KPU kabupaten/kota jauh lebih berat. Ihwal pada akhirnya pembentuk UU menetapkan jumlah anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota lima orang, ini didasarkan pada beban anggaran,” kata Saldi.

Beban pemilu serentak berat, pengurangan jumlah anggota KPU tidak rasional

MK membandingkan kompleksitas antara penyelenggaraan Pemilu 2004, 2009, dan 2014 dengan Pemilu Serentak 2019. Menurut MK, Pemilu Serentak 2019 memiliki beban penyelenggaraan yang lebih berat dari tiga pemilu sebelumnya, sehingga pengurangan jumlah anggota KPU kabupaten/kota menjadi tiga orang adalah tindakan tak rasional. Pengurangan berpotensi mengancam prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

MK tak menerima alasan kurangnya anggaran yang disebutkan oleh pihak pembentuk UU sebagai dalih untuk mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/kota. Jaminan terpenuhinya asas-asas pemilu tak bisa ditawar.

“Aspek ketersediaan anggaran juga harus dipertimbangkan, namun pertimbangan tersebut hanya dapat dibenarkan dan diterima nalar konstitusionalitasnya selama pertimbangan anggaran tidak berpotensi mengancam asas-asas pemilu yang ditetapkan oleh konstitusi,” tandas Saldi.

Menurut MK lagi, penentuan komposisi penyelenggara pemilu yang didasarkan pada akumulasi aspek jumlah penduduk dan luas wilayah adalah kurang tepat. Lembaga penyelenggara pemilu adalah lembaga profesional, bukan lembaga representasi politik yang menjadikan aspek jumlah penduduk dan luas wilayah sebagai pertimbangan utama dalam penentuan komposisinya.

MK mengakui bahwa jumlah penyelenggara pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka yang sebetulnya MK tak dapat menentukan konstitusionalitasnya. Namun menurut MK, kebijakan hukum terbuka hanya dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tak dapat ditoleransi. Aturan dalam Pasal 10 ayat (1) melanggar prinsip rasionalitas dalam pembuatan kebijakan.

“Oleh karena melanggar prinsip rasionalitas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa pengurangan jumlah anggota KPU kabupaten/kota di beberapa kabupaten/kota menjadi tiga di tengah pertambahan beban penyelenggaraan pemilu, adalah sesuatu yang irasional,” tegas Saldi.