Keterpilihan perempuan melalui pemilu cenderung bertambah. Dari capaiannya, jumlah perempuan masih jauh dari setara dan belum banyak berkesempatan menjabat posisi strategis dalam berkebijakan. Afirmasi perempuan melalui ketentuan dalam undang-undang pemilu perlu ditambah tapi punya tantangan pembuktian membaiknya pemerintahan serta menjelaskan lagi prinsip supremasi dan kesamaan hukum.
Sejak penerapan afirmasi perempuan mulai dari Pemilu 2009, jumlah perempuan di DPR meningkat jadi 18,21%. Sebelumnya pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, perempuan DPR hanya berjumlah 10%, dan 11,24%. Sempat turun menjadi 17% pada Pemilu 2009, jumlah perempuan bertambah lagi menjadi 20,54% pada Pemilu 2019.
“Kebijakan afirmasi memang ada tapi progresnya sangat lambat. Tidak seperti yang diharapkan. Sehingga jika tidak ada perubahan kebijakan, maka untuk mencapai kesetaraan gender di parlemen, masih butuh 44 tahun (dari 2021),” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perudem), Khoirunnisa Nur Agustyati dalam diskusi online Puan Amanat Nasional (8/7).
Menurut Nisa, para politisi perempuan yang terhubung dengan gerakan perempuan sebetulnya sudah mengupayakan perubahan ketentuan yang lebih afirmatif. Sayangnya, upaya ini masih menghasilkan ketentuan afirmasi yang relatif sama dalam undang-undang pemilu pada 2009, 2014, dan 2019.
“Undang-undang pemilu punya ketentuan kepengurasan dan pencalonan perempuan minimal 30 persen. Ini bisa jadi posisi tawar bagi perempuan. Jika tidak ada perempuan, partai politik tidak bisa jadi peserta pemilu,” tegas Ninis.
Lebih jauh Nisa menjelaskan mengenai revisi undang-undang pemilu dan kampanye. Jika keadilan gender dalam parlemen mau dicapai dari hasil Pemilu 2024, maka ketentuan afirmasi harus ditambah dalam regulasi contohnya, perempuan harus ada di nomor urut 1 di 30 persen jumlah daerah pemilihan. Perempuan calon pun harus peningkatan kemampuan dalam komunikasi publik secara langsung maupun melalui media, khususnya media sosial.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjelaskan masih ada tantangan mengenai afirmasi keterwakilan perempuan dalam konsep negara hukum dan demokrasi. Menurutnya, hukum masih kuat dianggap sebagai sikap negara yang harus memandang sama semua warga. Dalam prosedur demokrasi, setiap warga sama nilainya sebagai satu suara.
“Supremasi hukum! Equality before the law! Tapi bagaimana kalau hukumnya tidak adil, apakah masih harus ditempatkan kepada sesuatu yang supreme? Contohnya bagaimana hukum berlaku pada korban kekerasan seksual, seperti kasus Ibu Nuril di Mataram,” kata Bivitri.
Lalu Bivitri pun mengajak kita kritis terhadap konsep kesetaraan hukum. Equality before the law mengandaikan semua warga negara, termasuk perempuan, adalah setara dan punya akses keadilan yang sama. Kenyataannya tidak seperti ini. Perempuan sulit mengakses keadilan dan kesempatan peran dalam kehidupan bernegara, termasuk di politik.
“Tapi, perempuan punya tantangan kualitas. Kita butuh kualitas perempuan yang memang punya keinginan kuat memberikan akses keadilan kepada warga yang kusulitan itu. Bukan hanya perempuan tapi anak, disabilitas, dan juga yang lainnya. Kalau perempuan mencapai 40 persen tapi tidak punya keinginan ini, jangan-jangan percuma,” ujar Bivitri.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Intan Fauzi menginformasikan capaian perempuan dewan hasil Pemilu 2019. Seiring jumlah perempuan DPR yang bertambah, makin banyak juga yang dipercaya masuk pada komisi yang beragam. Perempuan ada bukan hanya di komisi tentang pendidikan dan kesehatan tapi juga komisi tentang energi, infrastruktur, juga luar negeri dan pertahanan.
“Komisi-komisi itu biasa dianggap milik laki-laki,” kata politisi Dapil Jawa Barat VI dari Partai Amanah Nasional ini.
Pengajar Kajian Feminisme Jurnal Perempuan, Rocky Gerung menjelaskan tantangan untuk bisa berpikir yang radikal dalam menyikapi afirmasi perempuan. Penekanan partai yang memperjuangkan perempuan perlu diubah. Justru, perempuan yang memperjuangkan partai. Dalam syarat kepesertaan, kampanye, perolehan suara, lolos ambang batas, masuk parlemen, semuanya perempuan punya peran signifikan.
“Kalau kita bikin kaukus perempuan lintas partai itu artinya isu perempuan mendahului isu partai. Ini yang mesti diterangkan dalam rapat-rapat partai politik. Perempuan harus terus melakukan interupsi terhadap kepemimpinan (partai) laki-laki,” kata Rocky.
Semua narasumber diskusi sepakat, pendidikan politik harus diperkuat dengan perspektif perempuan. Pertama, internal partai politik harus terus bertanggungjawab menjalankan fungsi pendidikan. Kedua, pendidikan politik secara umum baik melalui pendidikan massal yang diselenggarakan negara maupun pendidikan inisiatif oleh masyarakat sipil.
Pendidikan politik perspektif perempuan ini pun tidak hanya secara formal atau kelembagaan tapi juga kultural. Masih biasa dijumpai sikap diskriminatif, melecehkan, bahkan kekerasan dalam keseharian. Sikap melawan dan mengedukasi baik langsung maupun tidak langsung akan berdampak luas.
Selain itu, dalam kesinambungan afirmasi perempuan, kelompok perempuan dan aliansinya penting terus menyampaikan ke publik informasi dan data tentang diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Misal, dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), ini akan menjaga upaya afirmasi dari waktu ke waktu dan menghubungkan politisi perempuan, gerakan perempuan, serta konstituen perempuan. []
USEP HASAN SADIKIN