Belakangan muncul wacana untuk mengembalikan mekanisme Pilkada langsung kepada proses pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Alasannya, Pilkada tak menghasilkan kepala daerah berkualitas, menimbulkan konflik berkepanjangan, dan menjadi ajang jual beli Sumber Daya Alam (SDA) dan bagi-bagi proyek kepada para donor dana kampanye.
Jalan keluar pengalihan Pilkada di DPRD, menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando, adalah keliru. Jalan keluar justru tak mengobati penyakit atau akar masalah sesungguhnya, yakni tata kelola partai politik.
“Akar persoalan Pilkada kita ini ada di partai politik. Undang-Undang (UU) No. 2/2011 mengatakan bahwa fungsi partai adalah kaderisasi, partisipasi dan kompetisi. Tapi, apa hari ini masyarakat dilibatkan dalam kaderisasi pemimpin di daerah?” kata Ferry pada diskusi “Pilkada Berintegritas” di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (21/3).
Kaderisasi partai di daerah tak berjalan. Calon kepala daerah ditentukan oleh pimpinan partai di tingkat pusat, tidak di daerah yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan demokrasi lokal mandeg.
“Di mana pun pasarnya, kalau penjualnya curang dan pembelinya tidak tau mana buah yang berkualitas, pasti yang dibawa pulang adalah buah-buah yang tidak berkualitas,” ujar Ferry.
Agar partai politik membaik, Ferry mengajukan gagasan untuk membuat indikator keberhasilan partai politik, baik secara kelembagaan maupun secara keanggotaan. Dapat diterapkan mekanisme semacam akreditasi.
“Kalau saya di kampus, untuk melihat lembaga kita kuat, ada akreditasi. Kalau A, berarti tata kelola kampus, keuangan, dan kualitas dosen-dosennya baik. Nah, di partai politik, tidak ada akreditasi partai untuk menentukan partai itu diakui kuat secara institusi,” jelas Ferry.
Demokrasi menuju jalan regresif jika tata kelola partai politik yang merupakan instrumen demokrasi, tak dikelola secara demokratis. Partai politik harus meninggalkan praktek oligarki, tak partisipatif, dan tak kompetitif.