KPU berencana menerapkan rekapitulasi elektronik dalam Pilkada 2020. Jika sejumlah tantangan yang muncul dapat diatasi, langkah itu dapat meningkatkan kredibilitas pilkada,
Komisi Pemilihan Umum berencana menerapkan metode rekapitulasi elektronik dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 2020. Targetnya, adalah meningkatnya kecepatan waktu rekapitulasi suara dan tingkat kepercayaan masyarakat dalam pilkada yang akan digelar di 270 daerah tersebut.
Rencana itu muncul karena dalam pemilu di sejumlah negara, penggunaan teknologi terbukti meningkatkan elemen dasar kredibilitas pemilu, yaitu akurasi, ketepatan waktu, dan transparansi.
Penyelenggara pemilu di sejumlah negara, menurut Manajer Teknik International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Peter Wolf, Rabu (2/10/2019), di Jakarta, saat ini memang telah memakai teknologi untuk melakukan transmisi atau tabulasi hasil dari tempat pemungutan suara (TPS). Teknologi yang antara lain berupa mesin untuk pemungutan suara, komputer, dan gawai dipakai untuk melengkapi penggunaan kertas dalam pemilu.
Salah satu contoh penggunaan teknologi ini terjadi dalam pemilu Pakistan, 25 Juli 2018. Pemilu yang melibatkan 106 juta pemilih di 85.000 TPS dengan 12.000 kandidat itu memakai teknologi elektronik untuk mengirimkan hasil penghitungan.
Penggunaan teknologi di pemilu di Pakistan itu cenderung menjadi referensi bagi penyelenggara pemilu di Indonesia. Komisioner KPU, Evi Novida Ginting, bahkan menyampaikan, KPU akan menggunakan hal sama dengan praktik di Pakistan.
Petugas KPPS, kata Evi, direncanakan memakai telepon seluler untuk mengambil foto hasil penghitungan manual di TPS. Guna mewujudkan hal ini, harus ada sistem untuk mengamankan perangkat itu dan menjamin bahwa perangkat itu hanya dipakai oleh orang yang berhak. Tantangan lainnya terkait kualitas sumber daya manusia. ”(Pemakainya) harus familiar dan punya persamaan pandangan dengan KPU sehingga teknologi itu bisa diterima dan digunakan,” kata Evi.
Sementara untuk tahap pemungutan dan penghitungan suara masih dilakukan secara manual. Pasalnya pada saat itulah partisipasi masyarakat bisa terlihat dan ini merupakan hal positif untuk dipertahankan.
Rasional
Pilihan untuk melaporkan hasil rekapitulasi elektronik dengan memakai telepon seluler petugas KPPS, menurut Peter, adalah cukup rasional. Hal itu juga akan menjadi awal dari implementasi teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilu atau pilkada di Indonesia.
Peter mengatakan, implementasi teknologi dalam pemilu memang harus dilakukan perlahan karena akan menimbulkan pertanyaan dan bahkan kecemasan sejumlah kalangan. Oleh karena itu, sosialisasi penggunaan teknologi itu juga perlu dikomunikasikan secara optimal.
Memulai dengan teknologi seperti telepon seluler sebagaimana direncanakan KPU juga merupakan ide bagus. ”Membawa teknologi lebih dekat (pada penyelenggaraan pemilu) tanpa harus mengeluarkan banyak biaya, namun dengan dampak yang besar,” ujar Peter.
Dampak besar itu di antaranya adalah waktu yang semakin pendek untuk mengetahui hasil penghitungan suara. Peter menyebutkan, pengalaman sejumlah negara, dalam 12 jam setelah pemungutan suara, sekitar 90 persen hasil penghitungan sudah bisa diketahui. Hasil penghitungan awal ini tentu masih menanti proses verifikasi yang diperkirakan butuh waktu satu minggu. Waktu itu jauh lebih singkat jika dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk proses serupa dalam Pemilu 2019 di Indonesia, yaitu 35 hari.
Pemangkasan waktu rekapitulasi ini sangat berarti untuk meningkatkan integritas pemilu. Waktu yang singkat akan mengurangi potensi kecurangan dan manipulasi atau setidaknya meminimalkan persepsi adanya kecurangan dan manipulasi.
Namun, sejumlah tantangan mesti diatasi untuk mewujudkan hal itu. Kompleksitas penyelenggaraan pemilu dan luasnya wilayah Indonesia jadi persoalan yang dapat menyulitkan. Ini karena berarti dibutuhkan mobilisasi besar-besaran untuk menempatkan seluruh perangkat teknologi tadi ke seluruh Indonesia. Termasuk di dalamnya ialah memastikan tersedianya infrastruktur telekomunikasi yang andal. Tantangan masih ditambah dengan tersebarnya sejumlah lokasi TPS di sejumlah kepulauan.
Komisioner Komisi Pemilihan Filipina Luie Tito F Guia menuturkan, kondisi di Indonesia itu mirip dengan Filipina. Mengenai hal itu, ia menyebutkan, infrastruktur telekomunikasi menjadi hal penting.
Pada lokasi yang tidak terjangkau jaringan telekomunikasi, Luie menyarankan pemakaian teknologi satelit. Jika satelit juga tidak bisa menjangkau, hasil rekapitulasi bisa disimpan secara fisik di kartu memori untuk kemudian dibawa ke pusat tabulasi.
Aspek hukum
Luie mengingatkan, aspek paling penting selain teknologi adalah aturan hukum, ”Anda harus memiliki dasar hukum,” ujar Luie.
Sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dapat jadi landasan hukum rekapitulasi elektronik. Pasal 98 Ayat 3 menyebutkan: ”Dalam hal pemberian suara dilakukan dengan cara elektronik, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual dan/atau elektronik”.
Selain itu, sinyal serupa terdapat dalam Pasal 111 Ayat 1 yang bertuliskan: ”Mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara pemilihan secara manual dan/atau menggunakan sistem penghitungan suara secara elektronik diatur dengan Peraturan KPU.
Akan tetapi sejumlah pihak masih meragukan kekuatan aturan tersebut untuk bisa dipergunakan sebagai landasan hukum dalam menyelenggarakan rekapitulasi elektronik dalam pilkada serentak 2020. Revisi UU Pilkada tetap mendesak dilakukan untuk menjawab hal tersebut. (INGKI RINALDI)