April 20, 2024
iden

Tiga Model Peradilan Khusus Pemilu untuk Revisi UU Pemilu

Perbaikan peradilan pemilu jangan sampai kembali dilupakan dalam revisi undang-undang pemilu. Ada tiga model pilihan peradilan pemilu yang bisa diterapkan. Apapun pilihannya berkonsekuensi pada pemenuhan syarat agar perbaikan peradilan pemilu memang menghilangkan kompleksitas sehingga bisa menghasilkan kepastian dan keadilan hukum.

“Di samping isu klasik seperti parliamentary threshold, sistem terbuka/tertutup, ada yang paling penting yang menjadi dinamika undang-undang pemilu yaitu peradilan khusus pemilu,” kata anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Saan Mustopa dalam diskusi daring “Menakar Urgensi Peradilan Pemilu” yang diselenggarakan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) 2/8.

Saan menjelaskan, di konteks RUU Pemilu (7/2017) sebelumnya pembentukan peradilan khusus pemilu di bawah Mahkamah Agung sudah diupayakan. Menurutnya sebagai Panitia Khusus RUU Pemilu saat itu, beban perkara bertumpuk di MA jadi kemungkinan sebab tak tercapainya peradilan khusus pemilu di bawah MA. Di sisi lain, kewenangan Bawaslu yang menumpuk pun jadi alasan keberadaan peradilan khusus pemilu di bawah MA.

Akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Agus Riewanto menyampaikan ada tiga model peradilan pemilu. Selain peradilan khusus pemilu di bawah MA ada juga model peradilan khusus pemilu otonom dan model peradilan khusus pemilu semiperadilan.

Menurut Agus, model I peradilan khusus di bawah MA, sudah ada ketentuannya dalam Pasal 57 UU 10/2016. Ini terhubung dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Jika ini mau dilanjutkan dalam revisi UU Pemilu yang juga menyatukan UU Pilkada, MA masih menolak dengan kewenangan ini.

Model II peradilan khusus pemilu otonom berarti adanya mahkamah pemilu yang sejajar dengan MA dan Mahkamah Konstitusi (MK). Praktik ini terjadi di Brasil dan Meksiko. Jika Indonesia mau menerapkan ini harus mengubah Pasal 24 UUD 1945.

Model III peradilan khusus pemilu berwujud semiperadilan. Konsekuensi pilihan ini harus mengupayakan transformasi Bawaslu. Agus menyarankan Bawaslu menyelesaikan kasus administrasi, proses, dan kode etik. Untuk keutuhan kewenangan ini berarti Bawaslu fokus pada penindakan dan mengalihkan pengawasan ke publik.

Di luar itu, sistem peradilan sebelumnya tetap dipertahankan. Kasus pidana ke sistem peradilan pidana. Sengketa hasil pemilu tetap ke MK.

Anggota Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari berharap, adanya peradilan khusus pemilu memang bisa menyelesaikan masalah peradilan pemilu. Pengertian dan lingkup kewenangan peradilan khusus menyertakan lembanya harus jelas sehingga bisa menghilangkan kompleksitas dan menjawab kepastian hukum. Di tengah kompleksitas ini KPU berposisi lemah karena banyak kemungkinan dijerat pada masalah hukum dan tak berwenang banding.

“Selama ini semua pihak merasa dirinya punya kewenangan menangani perkara pemilu, ini jadi problematik,” kata Hasyim.

Lebih jauh, Hasyim merujuk ke kasus-kasus konkret. Di antaranya kepesertaan dan keterpilihan yang sudah ditetapkan KPU yang masih bisa diupayakan secara hukum ke banyak jalur. Lalu bagaimana peradilan khusus pemilu bisa menjawab perselisihan kepesertaan dan keterpilihan caleg di internal caleg.

Masalah yang ditekankan Hasyim disebut oleh Agus sebagai wujud dari justice in many rooms. Banyaknya pilihan lembaga dalam pengupayaan keadilan pemilu membuat peserta cenderung mencoba-coba pilhan yang ada.

Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini berpendapat, tiga model peradilan tersebut bisa jadi masukan dalam revisi UU Pemilu. Apapun pilihan dari tiga model peradilan khusus pemilu jangan sampai menambah keruwetan sehingga tak dipenuhinya kepastian dan keadilan hukum pemilu.

“Karena ada justice in many rooms yang terjadi selama ini, peserta bukan mengupayakan keadilan tapi mencoba menjawab perasaannya saja,” kata Titi.

USEP HASAN SADIKIN