Hingga Senin (22/3) pukul 14.28 WIB, terdapat dua putusan perselisihan hasil Pilkada yang mengharuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah untuk mendirikan TPS khusus di lingkungan kerja dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU). Dua putusan itu yakni, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.104/PHP.BUP-XIX/2021 untuk Pilkada Morowali Utara dan Putusan MK No.57/PHP.BUP-XIX/2021 untuk Pilkada Halmahera Utara.
Pada dua kasus tersebut, PSU diperintahkan MK karena hak pilih buruh atau pekerja di PT Agro Nusa Abadi (ANA) dan PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) tak dapat difasilitasi. Kebijakan tak tertulis dan tak diliburkannya buruh pada hari pemungutan suara 9 Desember 2020 dinilai Mahkamah Konstitusi (MK) secara tidak langsung memengaruhi psikologis buruh sehingga tak menggunakan hak suaranya. Begitu pula dengan PT NHM yang meminta KPU Halmahera Utara untuk mendirikan TPS khusus di dalam area pertambangan sebab buruh tambang NHM tak diliburkan. PT NHM tak menghendaki pekerjanya memberikan hak suara di luar area tambang.
Terkait hal tersebut, rumahpemilu.org mewawancarai anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini (22/3). Titi menyoroti pelayanan hak pilih terhadap pekerja tambang dan perkebunan, pelayanan khusus hak pilih di masa pandemi, dan perlunya pemberian sanksi terhadap perusahaan yang menghalangi pekerja untuk menggunakan hak pilih.
Simak selengkapnya.
Bagaimana pendapat Anda terhadap Putusan MK No.104/2021 dan Putusan MK No.57/2021?
Putusan itu merekonstruksi cara kita melayani pemilih sebagaimana kita praktikkan selama ini. Sebelum adanya putusan ini, kita mengacu pada Pasal 85 ayat (1) Peraturan KPU No. 18 Tahun 2020 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan diatur bahwa “Dalam hal Pemilih pada rumah tahanan dan/atau lembaga pemasyarakatan berjumlah paling sedikit 30 (tiga puluh) orang, KPU/KIP Kabupaten/Kota dapat membentuk TPS di rumah tahanan dan/atau lembaga pemasyarakatan dengan menetapkan DPT di rumah tahanan dan/atau lembaga pemasyarakatan, untuk melayani Pemilih yang sedang menjalani pidana penjara di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, dan petugas atau pegawai lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan.”
Jadi, basisnya adalah domisili. Di beberapa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) atau di panti sosial juga ada TPS khusus, tetapi nampaknya itu karena mereka diterbitkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) elektronik di alamat panti sosial atau RSJ tersebut.
Nah sekarang, dengan Putusan MK tersebut, TPS khusus bisa juga dibentuk di area perusahaan atau tempat-tempat dengan karakter serupa. Artinya ke depan hal itu harus diantisipasi sejak pemutakhiran pemilih dilakukan, bukan hanya saat hari H pemungutan suara, karena ini berkaitan dengan memastikan validitas pemilih dan mencegah pemberian suara lebih dari satu kali.
Jadi, putusan MK ini memang memperluas norma atau jangkauan operasionalisasi TPS khusus, sehingga juga bernuansa pengujian norma atau judicial review, selain sebatas penanganan perselisihan hasil pemilihan. Sikap KPU yang memedomani ketentuan teknis berdasar peraturan yang ada, khususnya Peraturan KPU, nyatanya dikoreksi oleh Putusan MK ini.
Sebagai informasi juga, TPS khusus ini adalah pengaturan di PKPU tentang Mutarlih (Pemutakhiran Daftar Pemilih) dan Tungsura (Pungut Hitung Suara). Khususnya Pasal 85 PKPU No.18/2020. Tidak ada pengaturan TPS khusus di Undang-Undang Pilkada.
MK tidak menegaskan atau memerintahkan agar perusahaan atau pemberi kerja meliburkan pekerjanya pada hari pemungutan suara. MK hanya meminta KPU mendirikan TPS khusus di area kerja. Apa pendapat Anda?
Nah, putusan MK itu juga menegaskan bahwa keputusan untuk melaksanakan hari pemungutan suara pada hari libur atau hari yang diliburkan ternyata tidak sepenuhnya mampu membuat pihak perusahaan patuh dan memberikan keleluasaan pada pegawai untuk menggunakan hak pilihnya. Justru secara teknis, penyelenggara yang diminta untuk melakukan penyesuaian. Padahal, banyak perusahaan yang beroperasi terus-menerus seperti perusahaan tambang, pengeboran minyak lepas pantai, perkebunan, dan lain-lain.
Tambang beroperasi 24 jam. Kepentingan ekonomi lebih diutamakan daripada pemenuhan hak politik warga. Mestinya negara berpikir sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah ini karena ini selalu berulang.
Ingat, ada Pasal 182A di UU Pilkada No.10/2016 yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghalangi seseorang untuk memberikan hak pilih, dipidana dengan penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit 24 juta rupiah dan paling banyak 72 juta rupiah. Nah, negara harus mengambil tindakan untuk memberi sanksi pada perusahaan yang kebijakannya menghalangi pekerja berhak pilih untuk memilih.
Kebijakan yang diambil oleh perusahaan ditujukan untuk mencegah kluster Covid-19 di tempat kerja. Anda melihat bahwa pandemi menciptakan situasi yang semakin sulit bagi pekerja untuk memberikan hak pilih?
Ya, pilkada di masa pandemi terbukti memberi dampak pada fasilitasi hak pilih di mana pemilih makin sulit untuk menggunakan hak pilihnya, terutama bagi para pemilih di area tambang atau perusahaan yang bekerja secara simultan dengan sistem asrama serta menerapkan protokol kesehatan ketat. Sehingga, jika mereka ingin keluar TPS, maka mereka harus melalui prosedur protokol kesehatan yang menyaratkan harus tes Covid-19. Tentu hal itu tidak mudah dan bisa membuat pemilih enggan memilih. Hal-hal seperti itu yang terlewat diantisipasi oleh penyelenggara pemilihan dalam pembuatan aturan maupun pelaksanaan pemenuhan hak pilih di lapangan.
Di kondisi normal saja, ada kebutuhan khusus untuk memfasilitasi pekerja di sektor tambang dan perkebunan. Karena, persoalan mendasarnya adalah adanya limitasi akses pada layanan kependudukan. Nah, lalu pada saat layanan kependudukan sudah diperoleh, mereka rentan terhadap politisasi.
Di Labuhanbatu Selatan, MK memerintahkan PSU juga, tetapi kasusnya beda dengan PT ANA (di Morowali Utara) dan PT NHM di Halmahera Utara. Di Labuhanbatu Selatan, justru paslon yang kalah mendalilkan bahwa ada pemilih yang dilayani di perkebunan, padahal pemilih itu tidak berdomisili di Labuhanbatu Selatan. Jadi, di satu sisi, hak politik mereka dipolitisasi untuk mengejar ketertinggalan suara, di sisi lain, hak pilih mereka juga di-challenge untuk kebutuhan pemenangan paslon.
TPS khusus boleh diadakan di area kerja seperti area tambang dan perkebunan. Apakah hasil pemungutan suara nanti dapat berdampak buruk bagi pekerja di tempat bersangkutan? Sebab, preferensi politik para pekerja terlihat dari hasil pemungutan suara.
Ini yang di masa depan juga harus diantisipasi agar tidak terjadi tekanan dan intimidasi kepada pemilih yang memilih dalam satu klaster tertentu, juga ekses politik pasca proses pemilihan setelahnya. Mereka yang memilih dalam klaster perusahaan, apabila pilihan mayoritas mereka tidak sama dengan calon yang terpilih, jangan sampai mereka lalu mendapat intimidasi dan perlakuan diskriminatif dari calon terpilih dalam perkembangan selanjutnya.
Apalagi di Perkara di Morowali Utara ini, ada klaim bahwa pemilih di PT ANA diasumsikan adalah basis pendukung dari partai-partai tertentu. Gawat juga kalau preferensi politik bisa diketahui. Berarti terlanggar asal luber jurdil (langsung, umu, bebas, rahasia, jujur, dan adil).