Maret 19, 2024
iden

Tunda Pilkada di Daerah Risiko Penularan Covid-19 Tinggi

Penundaan Pilkada 2020 secara parsial di daerah-daerah dengan risiko penularan Covid-19 tinggi dapat dilakukan untuk mencegah hajatan itu menjadi pemicu penyebaran Covid-19. Di daerah dengan laju penularan tinggi, pengetatan protokol kesehatan Covid-19 dan sanksi bagi pelanggarnya tidak lagi memadai.

Undang-Undang Pilkada memungkinkan kebijakan menunda tahapan pilkada secara parsial tersebut diambil Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono saat dihubungi, Senin (14/9/2020), mengatakan, opsi penundaan pilkada di daerah zonasi merah harus dibuka. Perlu ada indikator rinci dan komprehensif sebagai dasar pengambilan keputusan terkait pilkada. Jumlah penyelenggara pemilu yang positif Covid-19 setelah tahap pendaftaran dapat menjadi salah satu indikator.

Menurut Pandu, data zonasi penularan dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 tak bisa menjadi patokan. Alasannya, data zonasi bergantung kapasitas tes massal suatu daerah.

Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19 pada 9 September, dari 309 kabupaten/kota yang terlibat dalam 9 pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota, 14,5 persen masuk kategori risiko tinggi penularan Covid-19. Adapun 49,19 persen masuk risiko penularan sedang, dan sisanya risiko rendah atau tidak terdampak (Kompas, 13/9).

Pada tahapan pendaftaran, 4-6 September, Badan Pengawas Pemilu menemukan banyak pasangan calon melanggar protokol kesehatan dengan arak-arakan dan pengumpulan massa. Kampanye pilkada akan dimulai 26 September.

Berdasar data KPU RI, per 11 September, ada 62 bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang positif Covid-19.

Komnas HAM merekomendasikan penundaan pilkada di tengah ancaman Covid-19 yang tinggi. Hal ini dinilai berpotensi melanggar hak untuk hidup, rasa aman, dan kesehatan.

Sikap Komisi II DPR terbelah terkait usulan penundaan parsial itu. Sebagian menilai penundaan parsial mungkin dilakukan. Sebagian lagi memilih pilkada dilanjutkan tetapi dengan pengetatan protokol kesehatan dan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggarnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, pemerintah akan tetap mengadakan pilkada meskipun telah ada usulan untuk menunda dari sejumlah pihak.

UU membuka peluang

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, mengatakan, selain memikirkan rumusan sanksi lebih tegas terhadap pelanggaran protokol kesehatan, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu mempertimbangkan menunda pilkada secara parsial.

Hal itu diatur di Pasal 122 UU 1/2015 tentang Pilkada yang telah diubah menjadi UU 10/2016. Penetapan penundaan pemilihan dapat dilakukan KPU tanpa harus meminta pendapat pemerintah dan DPR. ”KPU harus jujur melihat kondisi daerah dan tak membiarkan warga menghadapi risiko,” kata Titi.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, pemerintah tak perlu khawatir menunda pilkada dengan alasan akan terjadi kekosongan pemerintahan. Pemerintah bisa menunjuk aparatur sipil negara sebagai penjabat kepala daerah. “Penjabat juga bisa menandatangani peraturan daerah, APBD,” ucapnya.

Data komprehensif

Direktur Eksekutif Netgrit Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, opsi penundaan pilkada secara parsial dapat diambil ketika ada data komprehensif mengenai penularan Covid-19 di daerah. Basis data komprehensif ini harus diupayakan oleh penyelenggara pemilu. Data dapat diperoleh dengan berkoordinasi lintas instansi seperti Satgas Penanganan Covid-19. Ketika hasilnya menunjukkan banyak daerah masuk zona merah, tidak ada alasan untuk tidak menunda pilkada.

“Lakukan pemeriksaan dulu secara massal, buka data secara transparan kepada masyarakat. Kalau memang banyak daerah masuk kategori merah, ya harus ditunda dulu. Kecuali daerah hijau, saya pikir bisa diupayakan untuk lanjut,” kata Ferry.

Mantan komisioner KPU periode 2012-2017 itu juga mengatakan, data komprehensif penularan Covid-19 jangan hanya dilihat dari tingkat kabupaten. Tetapi, seharusnya dapat dilihat hingga ke tingkat kelurahan. Sebab, dia berasumsi, ketika kabupaten atau kota dinyatakan hijau, bisa jadi kecamatan yang dibawahnya berstatus merah. Sehingga harus ada mekanisme lebih rinci lagi untuk menentukan status zonasi di suatu daerah.

“Jangan paksakan diri soal kelanjutan pilkada karena berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan warga. Buat dulu assessment yang komprehensif, baru ambil keputusan,” kata Ferry.

Belum ada indikator

Pandu Riono mengatakan, pihaknya sudah beberapa kali diminta masukan dalam diskusi mengenai pelaksanaan pilkada di masa pandemi. Namun, berbagai pihak yang berkepentingan justru ribut dan tidak menghasilkan solusi berarti. Baik dari sisi aturan, maupun mekanisme sanksi yang tegas, selalu mendapat penolakan dari berbagai pihak.

Terkait desakan agar ada penundaan pilkada parsial, Anggota KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, KPU belum memutuskan apapun soal penundaan pilkada. Sampai saat ini, KPU tetap melanjutkan tahapan pilkada yang ada. KPU juga berupaya menyosialisasikan agar kandidat, parpol, dan para pendukung di pilkada 2020 dapat tertib menaati protokol kesehatan.

“Semua masukan dari masyarakat akan ditampung, tetapi KPU belum ada keputusan resmi soal itu. KPU tetap melaksanakan tahapan sesuai PKPU 5/2020. Sembari merumuskan bagaimana upaya antisipasi dan pencegahan agar pilkada bisa berjalan dengan sehat,” kata Dewa Raka.

Terkait dengan sanksi yang tegas, menurut Dewa Raka, KPU harus melihat sesuai aturan yang ada. KPU tidak mau mengambil keputusan sepihak yang justru membuat pilkada menjadi ajang represif. Karena itu, kata dia, sanksi diskualifikasi bagi paslon yang melanggar protokol kesehatan sulit dilakukan. Sebab, hal itu tidak diatur dalam regulasi pemilu.

“Soal sanksi diskualifikasi dari mana sumber hukumnya? Ini harus dilihat secara utuh,” kata Dewa Raka.

Penundaan penetapan DCS

Anggota Bawaslu Jawa Timur Aang Kunaifi mengatakan, belum ada rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu Jatim terkait penundaan pilkada karena dampak Covid-19. Meski 19 kabupaten/kota yang mengikuti pilkada di Jatim masuk zonasi merah dan oranye, Bawaslu tetap melanjutkan tahapan.

Rekomendasi penundaan hanya dilakukan untuk tahapan penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) karena ada kendala teknis yang harus ditindaklanjuti.

“Kemarin ada rekomendasi penundaan tetapi hanya untuk tahapan penetapan DPS saja. Ada sejumlah persoalan yang harus ditindaklanjuti yang membutuhkan koordinasi lebih lanjut antara KPU dan pengawas pemilu,” katanya.

Terkait ketaatan pada protokol kesehatan, Bawaslu Jatim terus berkoordinasi dengan kepolisian agar pelanggar dapat dijerat UU Kekarantinaan Kesehatan. Kepolisian dan Satpol PP yang memiliki kewenangan itu didorong untuk dapat memproses pelanggar secara pidana. (ELSA EMIRIA LEBA/DIAN DEWI PURNAMASARI/RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 15 September 2020 di halaman 1 dengan judul “Tunda Pilkada di Daerah Risiko Penularan Tinggi”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/15/buka-opsi-penundaan-pilkada-secara-parsial/