Uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan sebagian partai politik untuk menentukan bakal calon kepala daerah dalam pilkada serentak 2020 didorong bersifat terbuka. Hal ini untuk memastikan kualitas hasil dan pelaksanaan pilkada yang berlangsung.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, Selasa (11/2/2020), mengatakan, harus ada uji publik yang dilakukan terkait hal itu. Mekanisme itu menjadi bentuk keterbukaan uji kelayakan dan kepatutan yang tidak dimaksudkan untuk membatalkan pencalonan. ”Kalau itu (pencalonan), kan, sudah urusan partai,” kata Robert.
Akan tetapi, dengan uji publik atau uji kelayakan dan kepatutan yang bersifat terbuka, masyarakat bisa mengetahui kualitas bakal calon kepala daerah, termasuk rekam jejaknya. Misalnya, apakah bakal calon kepala daerah itu pernah terlibat dalam kasus korupsi atau penyalahgunaan narkoba.
Dengan uji publik atau uji kelayakan dan kepatutan yang bersifat terbuka, masyarakat bisa mengetahui kualitas bakal calon kepala daerah, termasuk rekam jejaknya.
Robert menambahkan, yang terjadi saat ini seakan-akan pencalonan menjadi urusan internal partai. Hal inilah yang idealnya diarahkan menjadi urusan publik. Di dalamnya termasuk memastikan kehadiran panel ahli yang kompeten dan independen saat uji publik.
Karena proses pencalonan yang cenderung tidak terbuka kepada publik, sejumlah masalah terjadi setelah calon yang diusung terpilih. Hal itu sebagaimana terjadi di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada 2016, kepala daerah yang terpilih ternyata pengguna narkoba. ”Kalau ada uji publik, masyarakat terbantu tidak memilih dia,” ucap Robert.
Pada Senin (10/2/2020), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap bakal calon wali kota Solo, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Achmad Purnomo, serta Teguh Prakosa sebagai bakal calon wakil wali kota. Proses internal tersebut berlangsung tertutup untuk publik.
Tidak dirumuskan
Robert menyebutkan, selama ini hasil pilkada dan dampak pilkada memang tidak pernah dirumuskan dalam mekanisme terstruktur dalam undang-undang. Padahal, mestinya, pilkada bisa menghasilkan kepala daerah yang berkinerja bagus dan memunculkan inovasi.
Menurut Robert, dari sudut pandang otonomi daerah, kebutuhan dari proses pilkada ialah menghasilkan kepala daerah yang bisa bekerja dan memiliki integritas. Sementara saat ini praktis hanya sebagian daerah yang proses pilkadanya menghasilkan kepala daerah dengan kualitas tersebut, misalnya di Kota Surabaya dan Kabupaten Banyuwangi.
Revisi undang-undang terkait atau rencana kodifikasi undang-undang bidang politik dan pemerintahan dipandang sebagai salah satu proses untuk mengadopsi dimensi hasil dan dampak pilkada. Di dalamnya termasuk pengaturan untuk memastikan sumber pembiayaan partai lebih ditanggung negara.
Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya pada hari yang sama menyampaikan bahwa pihaknya juga melakukan mekanisme perekrutan terbuka. Namun, dalam penyampaian atau pemaparan visi dan misi, tidak semua daerah melakukannya secara terbuka.
Willy mengatakan, untuk sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, dilakukan perekrutan secara terbuka, bahkan menjalin kerja sama dengan sejumlah media televisi lokal dan stasiun RRI setempat. Sementara di beberapa daerah lain tengah digagas dilakukan konvensi.
Sekalipun visi misi yang dimiliki dinilai baik, tetapi jika dari sisi elektabilitas tidak memenuhi syarat, hal itu akan menjadi kendala bagi partai.
Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif partai, ujar Willy, elektabilitas seorang bakal calon benar-benar menjadi indikator utama. Ini berarti, sekalipun visi misi yang dimiliki dinilai baik, tetapi jika dari sisi elektabilitas tidak memenuhi syarat, hal itu akan menjadi kendala bagi partai.
Willy menyebutkan, hal ini memaksa partai, suka atau tidak, cenderung menentukan pilihan berdasarkan elektabilitas. Dalam kaitan tersebut, Willy menyebutkan Partai Nasdem memberikan insentif kepada petahana terkait proses kontestasi berikutnya. Selain itu, perolehan cukup baik dalam Pemilu Legislatif 2019 konsekuensinya berupa insentif kepada partai dalam menentukan bakal calon yang akan diusung kelak.
Barang privat
Pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Wahyu Prasetyawan, saat dihubungi pada Selasa menyebutkan partai politik di Indonesia cenderung menjadi barang privat alih-alih barang publik. Perumpamaannya seperti perusahaan terbuka dan perusahaan tertutup.
Dalam perusahaan terbuka atau publik, ada tiga hal pokok, yakni transparansi, partisipasi, dan tata kelola. Sementara dalam perusahaan tertutup atau privat, ketiga hal pokok itu tidak diperlukan atau bahkan diabaikan. Dalam hal ini, keputusan sangat bergantung hanya kepada pemilik.
Akan tetapi, yang mesti menjadi perhatian adalah partai politik di DPR menerima dana APBN. Menurut Wahyu, hal ini membuat partai politik harus akuntabel dan transparan.
Pada model ini partai politik dipaksa untuk hanya beroleh dana dari pemerintah. Dengan demikian, ada akuntabilitas yang bisa diminta.
Lebih jauh Wahyu menyampaikan ada dua model intervensi untuk membuat partai politik dapat berperilaku sebagai institusi publik dan menjadikan entitasnya sebagai barang publik. Pertama, partai politik dibiayai APBN. Pada model ini partai politik dipaksa untuk hanya beroleh dana dari pemerintah. Dengan demikian, ada akuntabilitas yang bisa diminta.
Model kedua ialah evolutif. Proses ini butuh waktu lama dan, menurut Wahyu, kemungkinan besar terjadi setelah tokoh karismatis atau pendiri dalam partai politik sudah tidak ada lagi. Kondisi ini membuat berbagai faksi yang ada bertarung. Proses ini membuat adanya kondisi buka-bukaan atau transparansi yang dipaksakan. Menurut Wahyu, pertarungan antarfaksi akan mendorong partai politik lebih terbuka. (INGKI RINALDI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/polhuk/2020/02/11/pilkada-2020-uji-kepatutan-di-partai-didorong-terbuka/