JAKARTA – Pembahasan revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu kembali memunculkan isu kontroversial. Dewan Perwakilan Rakyat menggagas mekanisme pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh panitia seleksi, yang di dalamnya diisi anggota DPRD dan gubernur.
Sejumlah kelompok pemantau demokrasi menilai usul tersebut justru melanggar konstitusi. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan model pemilihan seperti itu bisa menodai Komisi Pemilihan Umum sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pemilu yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. “Munculnya pansel ini sudah mengganggu otoritas KPU dan keluar dari desain lembaga penyelenggaraan pemilu,” kata Titi, kemarin.
Titi khawatir pemilihan anggota DPD lewat pansel akan melahirkan praktik transaksi politik. Sebab, DPRD yang akan terlibat dalam fit and proper test adalah representasi partai politik di daerah. “Bukan tidak mungkin akan ada kolusi, bahkan hingga korupsi dalam tahapannya,” ujarnya.
Zainal Arifin Mochtar dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara pun sependapat. “Sangat mungkin akan membuat partisan politik lebih masuk ke DPD,” kata dia. Menurut Zainal, tanda-tanda DPD yang partisan telah terlihat sekarang dengan masuknya 27 senator dalam kepengurusan partai politik. “Ini mencederai marwah DPD sebagai representasi daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat.”
Pada sisi lain, Zainal menilai pemilihan lewat pansel belum tentu akan menghasilkan anggota DPD yang berkualitas. Penilaian pansel, kata dia, cenderung subyektif. “Sering kali ukuran kualitas dipaksakan diubah menjadi kuantitatif. Itu tak bisa membuktikan apa-apa,” kata dia lagi.
Gagasan pemilihan anggota DPD lewat pansel ini muncul di tengah pembahasan revisi UU Penyelenggaraan Pemilu. Panitia khusus (pansus) menyebut usul ini muncul dari pemerintah untuk mengurangi jumlah calon anggota DPD.
Selama ini, pemilihan anggota DPD dilakukan lewat pengumpulan KTP di daerah pemilihan yang akan diwakili anggota bersangkutan. Wakil Ketua Pansus revisi UU Penyelenggaraan Pemilu, Ahmad Riza Patria, menilai mekanisme yang selama ini berlaku bisa memunculkan lebih dari 50 calon anggota DPD. “Jumlahnya banyak sekali. Prosesnya dipertanyakan,” kata dia.
Dia mencontohkan, selama ini ada dugaan KTP yang dikumpulkan oleh calon diperoleh dengan cara tak benar, termasuk hasil dari politik uang. Apalagi verifikasi yang dilakukan KPU masih terbatas dan dilakukan manual.
Karena itu, Riza mengatakan, usul pemilihan melalui pansel merupakan jalan tengah. Pansel akan memilih 40 bakal calon anggota DPD yang akan diseleksi menjadi 20 calon berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, DPRD akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Bakal calon anggota yang lolos akan menjadi calon anggota DPD yang penetapannya tetap dilakukan oleh KPU.
Menurut Riza, pansus sudah menyepakati mekanisme ini. Tapi hingga kini pembahasan teknis serta redaksional masih belum final. “Kami targetkan pada masa sidang selanjutnya bisa disepakati,” ujarnya.
Anggota DPD asal Bali, Gede Pasek Suadika, menolak rencana tersebut. Menurut dia, anggota DPD seharusnya dipilih oleh masyarakat di daerah secara independen. “Dasar argumentasinya melanggar konstitusi,” ujarnya. Menurut Pasek, DPRD dan gubernur juga tak berwenang menyeleksi calon senator. “DPD diatur dalam pemilu, sedangkan DPRD dan gubernur diatur dalam peraturan pemda.” NINIS CHAIRUNNISA
https://koran.tempo.co/konten/2017/05/10/416556/Usul-Seleksi-Calon-Anggota-DPD-Dikritik