Pemilu Serentak 2024 akan berjalan tanpa revisi Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pemilihan Kepala Daerah. Sama seperti Pemilu Serentak 2019 dan Pemilu Serentak 2020, Pemilu Serentak 2024 akan menggunakan dasar hukum UU No.7/2017 tentang Pemilu, dan Pilkada Serentak 2024 menggunakan UU No.10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tanjung pada webinar “Mencari Solusi Problem Pemilu dan Pilkada 2024 Tanpa Revisi Undang-Undang”, Kamis (26/8).
“Secara politik, sebetulnya upaya revisi itu sudah selesai. Kita akan tetap menggunakan UU No.7/2017 dan UU No.10/2016. Hari ini, kita merevisi regulasi di tingkat yang lebih teknis, PKPU (Peraturan KPU) dan Perbawaslu (Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum),” tandas Doli.
Namun, Doli sempat pula mengatakan bahwa Tim Kerja Bersama akan menyusun desain Pemilu Serentak 2024 yang ideal. Jika berdasarkan kajian akademis dan empirik diperlukan revisi UU Pemilu, kebutuhan itu akan dibicarakan selanjutnya.
“Kita coba simpan dulu urusan regulasi. Kalau konsep itu sudah didesain dan memang membutuhkan perubahan regulasi, dan butuh revisi, nanti akan dibicarakan berikutnya,” ucap Doli.
Banyak aturan di UU Pemilu yang tidak menjamin kepastian hukum
Menurut anggota KPU RI, Hasyim Asyarie, banyak aturan di dalam UU Pemilu No.7/2017 dan UU Pilkada No.10/2016 yang belum menjamin kepastian hukum. Masih ada aturan yang tidak konsisten satu sama lain. Sebagai contoh, istilah untuk daftar pemilih pindahan. Di UU Pemilu, istilah yang digunakan ialah Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Namun di dalam UU Pilkada, digunakan istilah Daftar Pemilih Pindahan (DPPh). Begitu pula istilah untuk pemilih yang memenuhi syarat namun belum masuk di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). UU Pemilu menggunakan istilah Daftar Pemilih Khusus (DPK), sementara istilahnya di UU Pilkada yakni DPTb.
“Ini kan jadi problem. Untuk menyebut kondisi yang sama, namun istilahnya berbeda. Ini problematik kalau Pemilu dan Pilkadanya berhimpitan sebagaimana waktu Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, termasuk nanti di Pemilu dan Pilkada 2024,” jelas Hasyim.
Selain itu, ada juga kekosongan hukum di UU Pemilu yang menyebabkan terjadinya bias tafsir terhadap norma di UU Pemilu. Hasyim menjelaskan problematika verifikasi administrasi anggota partai politik. Putusan MK No.55/PUU-XVIII/2020 memerintahkan agar partai politik yang telah lolos ambang batas parlemen di pemilu sebelumnya tak perlu dilakukan verifikasi faktual terhadap dokumen-dokumen persyaratan. Hal tersebut berpotensi menyebabkan ketidakadilan bagi partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2019 dan partai politik baru. Pasalnya, anggota partai politik lolos ambang batas tak dapat diverifikasi faktual sehingga apabila terjadi kegandaan anggota di partai yang lolos dan tidak lolos ambang batas parlemen, maka nama anggota di partai yang tidak lolos ambang batas parlemen lah yang akan dinyatakan tidak memenuhi syarat.
“Di Pemilu 2019, supaya adil, verifikasi faktual, kita tanya, Anda anggota partai atau bukan. Kalau iya, Partai A atau B. Itu lebih fair. Tetapi nanti, kalau partai yang lolos PT tidak ada verifikasi faktual, maka dalam hal terjadi nama Anda ada kegandaan, itu gimana cara memverifikasinya. Jadi, ada kemungkinan, kalau ada kegandaan seperti itu, yang diutamakan ya nama di partai yang sudah lolos PT (parliamentary threshold), karena dianggap fiks. Nah, ada kekosongan hukum di situ,” ujar Hasyim.
Upaya uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) diduga akan meningkat
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memprediksi upaya uji materi ke MK akan meningkat. Tak berubahnya UU Pemilu dan UU Pilkada, mendorong para pihak yang merasa keadilan di dalam UU Pemilu dan UU Pilkada tak cukup untuk melakukan uji materi ke MK.
“Makin kuat kebutuhan dan ketergantungan pada hakim dan pengadilan untuk melakukan reformasi pengaturan pemilu atau judicialization of politics. Mahkamah Konstitusi menjadi the last resort,” pungkas Titi.
Uji materi di MK, menurut Titi, dapat menambah kompleksitas penyelenggaraan pemilu dengan lima jenis pemilihan sekaligus, apabila putusan MK keluar menjelang pemungutan suara atau tahapan-tahapan pemilu lainnya. Hal ini mengurangi kepastian hukum dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Doli menyadari bahwa Pemilu Serentak 2024 merupakan pemilu yang kompleks dengan ragam masalah yang berpotensi terjadi, jika melihat kembali pelaksanaan Pemilu Serentak lima kotak pada 2019. Ia mendorong para pihak untuk mengurai permasalahan pemilu satu per satu, dan mencari jalan penyelesaian guna mengurangi beban pemilu.
“Soal daftar pemilih ya misalnya. Ada dua tahun masa persiapan. Ini harus bisa dipastikan oleh pemerintah untuk menyelesaikan data kependudukan, yang tidak hanya dibutuhkan untuk persiapan penyelenggaraan pemilu, tapi juga jadi masalah lain seperti bencana dan bansos (bantuan sosial). Kalau dalam satu tahun pemerintah punya data kependudukan yang terintegrasi, tidak lagi sektoral antar instansi, solid, dan valid, akan sangat membantu,” tutur Doli.
Doli dan Titi sama-sama mendorong KPU untuk melakukan terobosan-terobosan dan memaksimalkan penggunaan teknologi sistem informasi untuk memudahkan penyelenggaraan pemilu dan meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu yang bisa jadi masih diselenggarakan di masa pandemi. Namun, catatannya, kata Titi, terobosan tersebut tak diberlakukan secara tergesa-gesa.
“Apapun terobosan hukum yang dibuat, penyederhanaan surat suara, rekap elektronik, metode kampanye yang lebih murah dan ramah terhadap situasi pandemi, kami di Perludem mendukung upaya itu. Tetapi hal yang harus diingat, tidak boleh diberlakukan mepet waktu atau tergesa-gesa, sebab setiap kebijakan baru pasti mengandung risiko jika tidak dilakukan persiapan dan sosialisasi dalam waktu yang memadai,” tutup Titi.