September 13, 2024

UU Pilkada Perlu Direvisi

Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu diminta segera duduk bersama membahas perbedaan pengaturan mengenai kewenangan pengawas pemilihan atau Bawaslu.

Perbedaan regulasi antara Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada, khususnya mengenai kewenangan Badan Pengawas Pemilu, perlu dicarikan solusi secepatnya. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu perlu duduk bersama untuk membahas hal tersebut.

Hal itu penting mengingat waktu yang kian dekat sebelum pelaksanaan pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 23 September 2020.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Alwan Ola Riantoby, Selasa (3/9/2019), mengatakan, ada perbedaan mendasar terkait dengan kewenangan Bawaslu. Mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu berwenang melakukan sidang ajudikasi dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap serta mengikat untuk setiap pelanggaran administrasi pemilu yang disidangkan.

Di dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada, Bawaslu hanya berwenang memberikan rekomendasi terkait dengan dugaan pelanggaran yang ada. Alwan mengatakan, hal itu berpotensi menimbulkan konflik di sebagian kelompok masyarakat yang selama ini telanjur menganggap sejumlah dugaan pelanggaran bisa diputuskan sanksinya oleh Bawaslu.

Selain itu, terkait dengan nomenklatur Bawaslu, Alwan melihat ada perbedaan eksistensi kelembagaan yang mendasar. Apabila pada pemilu anggota Bawaslu hingga tingkat kabupaten/kota diangkat secara tetap untuk masa lima tahun, maka pada pilkada sifatnya menjadi ad hoc dengan nama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Menurut Alwan, hal ini juga cenderung berdampak pada penganggaran lembaga.

”Jumlah (anggota Panwaslu) juga menjadi tiga orang,” kata Alwan. Padahal, anggota Bawaslu di sebagian tingkat kabupaten/kota berjumlah lebih dari tiga orang.

Alwan mengatakan, hingga sejauh ini belum ada mekanisme yang bisa dipastikan untuk menentukan tiga anggota Panwaslu di wilayah kabupaten/kota untuk kepentingan pilkada serentak.

Mendesak

Perbedaan pengaturan itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Alwan, salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan itu melalui pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi atau penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

”Karena (anggota) DPR periode ini baru dilantik bulan Oktober, tidak mungkin langsung bisa membahas UU Pilkada,” ujar Alwan.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta. ”Kita harus cari jalan keluar, apa yang bisa dilakukan. Mau tidak mau dalam waktu yang sangat pendek ini,” kata Kaka.

Menanggapi hal itu, anggota KPU, Wahyu Setiawan, mengatakan, perbedaan yang ada lebih cenderung pada aspek-aspek kewenangan penyelenggara pemilu.
Akan tetapi, dalam perspektif pengawasan, ujar Wahyu, KPU berpandangan, jika peran pengawasan Bawaslu terjadi secara optimal, maka pilkada akan menjadi lebih berkualitas. ”Dengan demikian, kita berharap memang fungsi-fungsi pengawasan Bawaslu juga (bisa) efektif dalam Pilkada (serentak) 2020,” kata Wahyu.

Wahyu membenarkan bahwa salah satu tantangan yang saat ini dihadapi adalah aspek sosialisasi mengenai sejumlah perbedaan mendasar dalam pelaksanaan pilkada serentak 2020 dibandingkan dengan pemilu serentak 2019. Namun, Wahyu melihat hal itu tidak terlalu menjadi persoalan di tengah masyarakat mengingat tahapan, tata laksana, dan pengadministrasian pilkada dan pemilu yang relatif sama.

 

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 4 September 2019 di halaman 2 dengan judul “UU Pilkada Perlu Direvisi”. https://kompas.id/baca/utama/2019/09/04/uu-pilkada-perlu-direvisi/