August 8, 2024

Menunggu Revisi UU Pilkada

Sejumlah persoalan terkait regulasi masih menghantui pelaksanaan Pilkada 2020. Meskipun mendesak, revisi UU Pilkada belum juga diagendakan pemerintah dan DPR. Keduanya sibuk merevisi UU lain yang kini dipersoalkan masyarakat.

Akibatnya, sebagian daerah masih belum memiliki naskah perjanjian hibah daerah atau NPHD sebagai dasar dikucurkannya anggaran pelaksanaan pilkada serentak 2020. Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan, hingga pekan lalu, sekitar 30 persen daerah dari 270 daerah yang bakal menyelenggarakan pilkada serentak 2020 belum menandatangani NPHD untuk kepentingan KPU.

Proses untuk memastikan penandatanganan seluruh NPHD dirampungkan pada akhir September terus dilakukan. Hal ini penting agar tidak perlu dilakukan pinjaman dari anggaran pemerintah daerah untuk menjalankan tahapan awal pilkada serentak 2020 yang diluncurkan Senin (23/9/2019).

Sementara Badan Pengawas Pemilu, pada 12-14 September, melakukan konsolidasi dengan enam Bawaslu tingkat provinsi dan 201 Bawaslu kabupaten/kota. Dari konsolidasi itu, diketahui ada empat persoalan utama yang menghadang dan membuat nyaris belum ada NPHD yang ditandatangani dengan pemda setempat untuk kepentingan pengawasan oleh Bawaslu.

Pertama adalah permasalahan administrasi. Kedua, permasalahan regulasi. Ketiga, permasalahan ketersediaan anggaran pemerintah daerah. Keempat, permasalahan lainnya.

Persoalan

Persoalan administrasi mencakup masih ditunggunya surat persetujuan dari bupati atau wali kota setempat oleh pemda bersangkutan sebelum menandatangani NPHD. Di beberapa wilayah, pemda juga masih menunggu waktu yang tepat untuk melakukan penandatanganan NPHD dengan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota.

Dari sisi regulasi, ada sebagian pemda yang masih menunggu diterbitkannya surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri. Surat edaran itu dinanti untuk menjelaskan Peraturan Mendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang Bersumber dari APBD. Di dalamnya termasuk tahapan pencairan untuk 2019 yang disesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing dan dilakukan dalam tiga tahapan.

Persoalan lainnya adalah terdapat sejumlah pemda yang menghendaki penggunaan standar biaya masing-masing daerah dalam pencairan dana untuk kegiatan pengawasan tahun 2020. Alasan lain belum ditandatangani NPHD adalah ada sebagian pemda yang masih menunggu KPU dalam menetapkan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Masalah ketiga yang terkait dengan anggaran, diketahui sebagian daerah yang pengalokasikan anggaran pengawasannya tidak sesuai usulan Bawaslu dan dengan demikian meminta hal tersebut untuk dirasionalisasi. Permasalahan lainnya terkait dengan permintaan sebagian DPRD kepada Bawaslu dan pemerintah kabupaten/kota yang sudah melakukan pembahasan untuk melakukan pembahasan ulang.

Selain itu terdapat sebagian pemda yang menganggarkan pembiayaan pilkada untuk tahun anggaran 2020. Ini dilakukan tanpa pembahasan dengan Bawaslu kabupaten/kota, sehingga anggaran pilkada itu masih berada di bawah usulan.
Hal lainnya yang juga mengemuka adalah terdapat sebagian pemda yang masih menunggu pelantikan anggota DPRD 2019-2024. Terdapat pula tim anggaran pemda yang belum memanggil Bawaslu kabupaten/kota untuk membahas usulan pengawasan Pilkada serentak 2020.

Kombinasi sejumlah hal itu membuat, hingga pertengahan September 2019, baru Provinsi Kepulauan Riau yang menandatangani NPHD untuk keperluan pengawasan Pilkada serentak 2020.

Regulasi

Persoalan regulasi menjadi dominan menyusul sejumlah perbedaan mendasar antara UU No 10/2016 tentang Pilkada dan UU No 7/2017 tentang Pemilu. Salah satu perbedaan itu terkait dengan lembaga pengawas. Di UU Pilkada, lembaga pengawas bersifat ad hoc bernama Panitia Pengawas (Panwaas). Padahal di UU Pemilu, pengawasan dilakukan Bawaslu, lembaga permanen, yang dibentuk hingga tingkat kabupaten/kota.

Apabila pilkada 2020 mengacu pada UU Pilkada, perlu pembentukan ulang lembaga pengawas.

Pada sisi lain, Permendagri Nomor 54/2019 yang mengatur tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang Bersumber dari APBD mengacu UU Pemilu. Ini berarti, yang dikenali adalah nomenklatur “Bawaslu” kabupaten/kota yang dibentuk secara permanen, alih-alih Panwas kabupaten/kota yang bersifat sementara.

Pada Kamis lalu, Ketua Bawaslu Abhan sempat menyebutkan bahwa tidak ada lagi rekrutmen untuk anggota Panwas kabupaten/kota. Bawaslu kabupaten/kota yang sudah permanen, akan menjalankan tugas pengawasan Pilkada serentak 2020.

Namun, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengingatkan keputusan itu rawan digugat. Oleh karena itu, salah satu usulan yang mengemuka adalan merevisi UU Pilkada.

Revisi UU Pilkada, menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, tidaklah sulit dilakukan bila substansi dan referensi sudah dimiliki. Langkah ini harus diambil oleh pemerintah dan DPR periode 2019-2024, sehingga pada akhir November revisi bisa selesai.

Yang pasti, waktu terus bergulir, revisi UU Pilkada tidak bisa sekadar jadi wacana. Menunggu revisi ini menjadi mirip lakon “Menunggu Godot” (1953) yang ditulis Samuel Beckett.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 24 September 2019 di halaman 3 dengan judul “Menunggu Revisi UU Pilkada “. https://kompas.id/baca/utama/2019/09/24/menunggu-revisi-uu-pilkada/