November 15, 2024

30% Perempuan di KPU-Bawaslu 2022

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2022-2027 dipilih pada awal Februari 2022. Keanggotaan minimal 30% perempuan di dua lembaga penyelenggara pemilu itu dibutuhkan sebagai bagian dari perbaikan dan capaian demokrasi. Periode ini menjadi momen penting untuk menghilangkan keadaan timpang gender di penyelenggara pemilu tingkat pusat sejak komisi ini punya kelembagaan permanen hingga kabupaten/kota.

Dua periode sebelumnya, KPU dan Bawaslu hanya punya satu perempuan anggota. Pada periode 2012-2017, Ida Budhiati terpilih sebagai satu-satunya perempuan anggota KPU dan Endang Wihdatiningtyas sebagai satu-satunya perempuan anggota Bawaslu. Lalu pada 2017-2022 kehadiran satu orang perempuan anggota baik itu KPU dan Bawaslu terulang kembali, ada Evi Novida Ginting Manik di KPU dan Ratna Dewi Pettalolo di Bawaslu.

Keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu pada dua periode tersebut, tidak mencapai angka kritis 30%. Ada harapan yang sangat besar ketika saat ini sedang ada proses seleksi penyelenggara pemilu. Harapannya, kehadiran perempuan di lembaga penyelenggara pemilu tingkat pusat bisa mencapai angka 30%.

Saat ini tahapan seleksi sudah memasuki tahap akhir. Tim seleksi sudah menyerahkan 14 nama calon anggota KPU dan 10 anggota Bawaslu ke Presiden pada 6 Januari 2022 yang lalu. Tahapan selanjutnya adalah uji kelayakan dan kepatutan di Komisi II DPR RI. Komisi II DPR berencana mengagendakannya pada 7-9 Februari 2022.

Ada empat orang perempuan calon anggota KPU. Urutannya sesuai abjad adalah: Betty Epsilon Idroos, Dhaliah Umar, Iffa Rosita, dan Yessy Momongan.

Lalu ada tiga orang perempuan calon anggota Bawaslu. Urutannya sesuai abjad yaitu: Andi Tenri Sompa, Lolly Suhenti, dan Mardiana Rusli.

Semua perempuan tersebut punya latar belakang dan pengalaman yang sesuai dengan kebutuhan lembaga penyelenggara pemilu. Masing-masing punya pendidikan dan keahlian yang beragam untuk menjalankan banyak fungsi dari KPU atau Bawaslu. Tiap perempuan tersebut pun berpengalaman sebagai anggota KPU atau Bawaslu di provinsi dan kabupaten/kota.

Kebijakan afirmasi dalam penyelenggara pemilu memang tidak sekuat kebijakan afirmasi dalam pemilu legislatif yang memiliki ketentuan sanksi jika tidak terpenuhi. Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) UU 7/2017 menyatakan bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Pasal ini seharusnya dimaknai bahwa kehadiran perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu wajib mencapai 30%. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk berargumentasi bahwa frasa “memperhatikan” dimaknai hanya sebagai bentuk himbauan, bukan kewajiban.

Perempuan, walaupun dari proporsi jumlah hampir setara dengan penduduk laki-laki, tetapi masih mengalami peminggiran dalam proses pemilu. Kehadiran perempuan di lembaga penyelenggara pemilu bukan sekedar menunjukkan perempuan hadir secara fisik pada lembaga tersebut, tetapi dapat memberikan perspektif dalam proses penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu memiliki posisi strategis sebagai pengambil kebijakan, sosialisasi, pendidikan pemilih, dan juga bisa memberikan efek bola salju untuk peningkatan partisipasi perempuan dalam institusi politik yang lainnya. Dengan 30% perempuan menjalankan posisi strategis di KPU dan Bawaslu, amanah adil gender di KPU/Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota, partai politik, bahkan ke parlemen bisa lebih mungkin dipenuhi.

Bahkan dengan hadirnya perempuan dalam penyelenggara pemilu juga bisa menghadirkan ruang keadilan pemilu yang lebih ramah terhadap perempuan. Penyelenggaraan pemilu yang inklusif sangat bergantung dari bagaimana penyelenggara pemilu yang terpilih dapat menghadirkan inklusivitas dalam penyelenggaraan pemilu. Sehingga salah satu pengupayaannya adalah dengan meningkatkan jumlah perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu. Perempuan dengan pengalamannya yang khas akan dapat memberikan perspektif sehingga dapat mendorong penyelenggaraan pemilu yang lebih inklusif.

Dorongan pemenuhan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu merupakan agenda yang sudah lama diperjuangkan bukan hanya oleh gerakan perempuan, organisasi kepemiluan, akademisi, tetapi juga oleh perempuan politisi. Argumentasi mengenai pentingnya kehadiran perempuan dalam penyelenggara pemilu pun tidak lelah-lelahnya disuarakan setiap kali ada upaya merevisi undang-undang pemilu dan juga seleksi anggota penyelenggara pemilu.

Dengan belum adanya kebijakan afirmasi yang lebih kuat, maka dibutuhkan perspektif dari DPR yang nantinya akan memiilih tujuh anggota KPU dan lima anggota Bawaslu. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam memilih anggota KPU dan Bawaslu adalah menggunakan sistem paket, yaitu dalam memilih keanggotaan KPU dan Bawaslu sudah dipastikan adanya keterwakilan perempuan 30%.

Menurut The Global State of Democracy (GSoD) The International IDEA (2019) salah satu faktor yang menyebabkan penurunan nilai demokrasi adalah lambatnya pencapaian gender parity (kesetaraan gender) dalam lembaga politik khususnya di parlemen. Hal ini bukan karena tidak adanya kebijakan afirmasi yang mengupayakan peningkatakan keterwakilan perempuan, tetapi kemajuannya yang belum sesuai dengan harapan.

Bisa dibayangkan, adanya kebijakan afirmasi saja belum tentu dapat menjamin kesetaraan gender, apalagi tidak ada kebijakan sama sekali. Sehingga dibutuhkan niatan memastikan kehadiran keterwakilan 30% perempuan bukan hanya sebagai bentuk politik representasi tetapi juga sebagai upaya merawat demokrasi. []

KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)