September 13, 2024

Anak Muda Sulit Berpolitik Praktis

JAKARTA, KOMPAS — Anak muda kesulitan memasuki ranah politik praktis. Mereka cenderung dijadikan obyek politik oleh partai politik dalam pemilihan umum. Anak muda diharapkan terlibat politik praktis dengan ide-ide progresifnya untuk menyegarkan iklim politik Indonesia yang terus dipanaskan dengan kasus-kasus korupsi.

Pada 2016, Badan Parlemen Dunia (Inter-Parliamentary Union) mencatat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya memiliki 2,9 persen anggota parlemen yang berusia kurang dari 30 tahun. Untuk kategori jumlah anggota parlemen yang berusia di bawah 40 tahun juga masih sedikit, yaitu 17,6 persen. Padahal, total anggota parlemen itu berjumlah 560 orang.

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai pemuda adalah mereka yang berusia 16-30 tahun. Dari peraturan itu, dapat dikatakan bahwa jumlah anggota parlemen berusia muda itu sangat sedikit.

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Maharddhika mengatakan, sedikitnya jumlah anak muda yang terlibat oleh politik praktis itu disebabkan dikuasainya partai politik oleh para elite dan tidak adanya kejelasan jenjang karier dalam berpolitik.

”Partai politik masih dikuasai oleh elite. Selain itu, jenjang karier juga tidak jelas. Jabatan-jabatan strategis juga hanya bisa diduduki orang-orang yang memiliki kedekatan dengan elite politik,” kata Maharddhika di Jakarta, Sabtu (24/3).

”Untuk punya posisi penting, dia harus mendekati elite yang punya kekuasaan di partai politik itu.”

Sementara itu, pada 2016, Centre for Strategic and International Studies menemukan, partai politik (parpol) adalah lembaga yang paling tidak dipercaya publik. Dalam riset itu, parpol hanya dipercaya oleh 22,6 persen responden. Parpol dilihat sebagai institusi yang menjadi tempat bagi korupsi untuk tumbuh subur (Kompas, 13/8/2016).

Dari 2004-2017, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan 670 kasus korupsi yang terjadi di berbagai tingkat pemerintahan. Dari jumlah tersebut, ada 134 anggota parlemen, baik DPR maupun DPRD, yang terjerat kasus itu.

Maharddhika mengatakan, ketidakpercayaan publik terhadap partai politik pun memengaruhi keengganan anak muda untuk berpolitik praktis. ”Akhirnya, mereka (anak muda) hanya sebatas menggunakan hak pilih. Maunya berpartisipasi saja menyumbangkan suara. Mereka pun jadi sekadar dijadikan obyek politik, sebagai penyumbang suara parpol,” kata Maharddhika.

Padahal, Maharddhika menilai anak muda membawa nilai-nilai politik yang lebih segar, yaitu tentang pemerintahan yang bersih. ”Satu-satunya jalan untuk mengubah itu memang hanya menjadi subyek politik. Tetapi, melihat partai politik yang tidak dipercaya, sulit rasanya melakukan itu. Untuk membuat partai, syaratnya juga berat,” kata Maharddhika.

Adapun keberatan yang dimaksud itu adalah adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dalam UU itu disebutkan, apabila membuat partai, suatu kelompok harus memiliki syarat kepengurusan paling sedikit 75 persen dari jumlah kabupaten atau kota pada provinsi dan 50 persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten atau kota tempat pemilu. Partai juga harus memiliki kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota hingga tahapan akhir pemilu.

Dengan demikian, anak-anak muda harus bergabung dengan partai politik yang sudah ada dan mapan untuk terlibat dalam politik praktis. Menanggapi hal itu, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengatakan, ada biaya-biaya politik yang harus dipenuhi dan membuat proses politik ini sangat transaksional apabila mengikuti sistem yang sudah ada.

”Sistem politik masih berbasis mahar. Kampanye membuat politik ini menjadi mahal. Kompetisinya masih berbasis uang, anak muda yang kompeten tidak akan bisa terlibat politik kecuali dia menjadi bagian dari dinasti politik,” ujar Ade.

Ade menambahkan, jika pendekatan dinasti politik itu yang terjadi dalam demokrasi kita selama ini, korupsi pasti langgeng. Penyebabnya adalah terdapat transaksi politik dalam pendekatan itu karena ada yang harus saling membayar utang.

”Sumbangan dana kampanye ini menjadi pintu masuk. Ini jadi sistem oligarki yang menyandera. Akhirnya, kalau tidak punya modal, tidak bisa maju,” kata Ade.

Tidak ada contoh baik

Antusiasme anak muda dalam berpolitik sebenarnya cukup tinggi. Mereka sadar akan hak pilihnya dan mau menggunakannya. Namun, untuk terjun langsung dalam politik praktis mereka masih enggan.

Menurut data Litbang Kompas, dalam jajak pendapat yang dilakukan terhadap calon pemilih yang berusia di bawah 30 tahun, 58,2 persen responden menyatakan akan menggunakan hak pilihnya sebagai bentuk partisipasi dalam Pemilu 2019. Sebesar 36,3 persen responden menyatakan akan menggunakan hak pilihnya dan mengikuti perkembangan politik. Namun, hanya 3,3 persen yang menyatakan akan menggunakan hak pilih dan aktif dalam parpol (Kompas, 19/3/2018).

Terkait hal itu, pendiri Generasi Muda Melek Politik, Neildeva Despendya, mengatakan, anak-anak muda tidak punya contoh elite politik yang baik dan dijadikan panutan. Hal itu menambah keengganan mereka untuk ikut berpolitik praktis.

”Tidak ada role model yang baik bagi anak muda. Pemahaman politik juga tidak cukup bersahabat bagi anak muda,” ujar Neildeva. ”Isu-isu yang diangkat juga terkesan terlalu berat dan tidak dekat dengan anak muda. Jadi politik itu seolah tidak dekat dengan mereka.”

”Padahal, anak muda itu secara tidak sadar melakukan sikap-sikap yang cukup politis. Mereka sering juga membuat gerakan lewat media sosial dan menandatangani petisi untuk mendorong suatu kebijakan,” kata Neildeva.

Dikliping dari https://kompas.id/baca/utama/2018/03/24/anak-muda-sulit-berpolitik-praktis/