September 13, 2024

Menunggu Terobosan KPU

Korupsi yang diduga dilakukan bersama-sama oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota menjadi catatan hitam di awal tahun 2018 ini. Fenomena ini antara lain terlihat dari langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara serta 19 anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka korupsi.

Korupsi yang dilakukan wakil rakyat sejatinya bukan barang baru. Sejak KPK berdiri pada 2002, ada 194 anggota legislatif, baik itu DPR, DPRD, maupun DPD yang telah diproses hukum KPK.

Untuk anggota legislatif periode 2014-2019 dari berbagai tingkatan, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, setidaknya ada 59 orang yang diproses hukum karena korupsi. Sementara Kementerian Dalam Negeri pada 2014 mencatat, ada 3.169 anggota DPRD se-Indonesia yang pernah tersangkut perkara korupsi selama 2004-2014.

Korupsi massal oleh anggota legislatif adalah masalah serius. Usulan dari Komisi Pemilihan Umum untuk melarang mantan terpidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019 menjadi terobosan untuk membenahi kualitas demokrasi.

Namun, usulan yang rencananya dimasukkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif itu terhambat masalah dasar hukum. Pemerintah dan sejumlah partai politik di DPR cenderung menolak usulan tersebut. Alasannya, usulan KPU itu tidak diatur di Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 240 Huruf (g) UU Pemilu hanya menyatakan, syarat caleg adalah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah eks terpidana.

DPR dan pemerintah juga mengacu putusan Mahkamah Konstitusi pada 2015 yang memperbolehkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Akan tetapi, Putusan MK Nomor 80/PUU-XIII/2015 itu sebenarnya diterapkan dalam konteks pilkada, bukan pemilu.

Namun, anggota KPU periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, berpandangan berbeda. Dalam acara bincang Satu Meja di Kompas TV, Senin (9/4/2018), yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, Hadar mengatakan, pembenahan tidak akan kunjung terjadi jika sudut pandang legalistik yang kaku terus menjadi tolak ukur.

Pembicara lain dalam acara ini adalah mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Johan, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, serta Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Celah

Menurut Hadar, ada celah dan preseden yang dapat menjadi landasan KPU untuk memasukkan klausul melarang mantan narapidana perkara korupsi menjadi caleg dalam PKPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Pertama, putusan MK pada 2016 yang menyatakan bahwa rapat konsultasi antara KPU dan DPR dalam penyusunan PKPU adalah wajib, tetapi hasilnya tidak lagi mengikat seperti dulu.

Terkait hal itu, Hadar mendorong KPU berani melakukan terobosan meski minim dukungan dari partai politik dan pemerintah. Konsekuensi PKPU dibawa ke Mahkamah Agung memang terbuka. Namun, setidaknya telah ada upaya menggunakan celah legalistik yang ada.

Hadar mencontohkan sejumlah PKPU yang dikeluarkan saat ia masih menjabat komisioner KPU, yang sebenarnya tak ada di UU. Hal itu misalnya, saat KPU melarang partai politik ikut pemilu jika tidak memenuhi syarat caleg perempuan sebanyak 30 persen. Padahal, UU tak mengatur norma itu. Norma itu baru dimunculkan di PKPU. ”Artinya, ada ruang bagi KPU untuk berimprovisasi lewat PKPU,” katanya.

Celah lain yang bisa dimanfaatkan KPU adalah peraturan tentang syarat calon presiden dan/atau wakil presiden dalam UU Pemilu. Terdapat diskriminasi aturan antara syarat pencalonan anggota legislatif dan capres-cawapres. Pasal 169 Huruf (d) UU Pemilu mencantumkan, salah satu persyaratan menjadi capres atau cawapres adalah tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.

Huruf (p) selanjutnya juga mengatur, capres/cawapres tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Pasal 169 itu dapat dijadikan celah dan preseden untuk memunculkan larangan serupa terhadap caleg. ”Capres saja dilarang jika pernah terpidana, bagaimana dengan caleg?” tanya Hadar.

Djohermansyah Johan menambahkan, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan luar biasa. Maka, seharusnya, tidak ada tempat bagi mantan terpidana korupsi menjadi unsur pimpinan. ”Jadi memang sudah saatnya ada ketegasan. Buat saja PKPU-nya. Kalau ditolak di DPR, ya sudah, biar urusannya di MA,” katanya.

Solusi lain yang dapat ditempuh adalah memperketat aturan tentang pencabutan hak politik terpidana korupsi. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, jaksa belakangan ini mulai gencar meminta ada pencabutan hak politik dalam tuntutan terhadap pejabat publik yang didakwa melakukan korupsi.

”Mereka sudah mengkhianati kepercayaan rakyat, tetapi masih ingin kembali jadi pemimpin. Kita bisa saja berdiskusi panjang soal hak asasi manusia dan proses pemasyarakatan yang sudah berjalan. Namun di atas itu, ada kepentingan rakyat yang harus kita lindungi,” kata Febri.

Menurut Robert Endi Jaweng, terobosan memang dibutuhkan untuk memberi efek jera.

Terkait hal itu, hingga hari ini, KPU tetap berkukuh untuk menerbitkan aturan yang melarang mantan terpidana korupsi menjadi caleg.

Menurut rencana, rapat konsultasi antara KPU dengan pemerintah dan Komisi II DPR pembuatan PKPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif akan diadakan pekan depan. Di rapat itu, adu terjadi adu argumentasi.

Namun, KPU tidak perlu ragu membuat terobosan ketika kualitas demokrasi dan kesejahteraan rakyat menjadi taruhannya. (AGNES THEODORA)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 11 April 2018 di halaman 5 dengan judul “Menunggu Terobosan KPU”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/04/11/menunggu-terobosan-kpu/