August 8, 2024

Demokrasi dan Hak Asasi Perempuan

JAKARTA, KOMPAS — Semangat reformasi 1998 tidak sebatas melawan kediktatoran Soeharto, tetapi juga membangun budaya politik baru yang berdasarkan etika kepedulian, empati, dan solidaritas agar seluruh masyarakat bisa tumbuh bersama secara egaliter. Setelah 20 tahun menerapkan sistem demokrasi, kondisi Indonesia kini dihadapkan pada ideologi patriarki, intoleransi, ketidaksetaraan, dan kelompok radikal.

”Dua puluh tahun tahun setelah reformasi, demokrasi memang ada, tetapi demokrasi yang direduksi sebagai demokrasi elektoral (pilkada, pilpres, dan pileg). Padahal, demokrasi itu tentang value dan gagasan. Itu belum ada di Indonesia,” kata Ani Sucipto, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, di kantor Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jakarta Pusat, Minggu (20/5/2018).

Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia mengatakan, indeks demokrasi di Indonesia terus menurun sejak 2007. Menurut dia, salah satu faktor yang mengakibatkan penurunan itu adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan di semua sektor birokrasi, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.

”Prinsip kesetaraan jender, seperti yang diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional, belum diterapkan,” kata Musdah.

Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik, misalnya, belum mencapai 12 persen, menurut pengamatan Musdah. Padahal, berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menuntut keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di lembaga perwakilan Indonesia.

Mengenai kebebasan beragama, pelayanan negara masih terbatas pada enam agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu. Selain itu, Musdah mencatat ada 12 peraturan daerah yang mengatur tata cara beribadah.

”Sejak reformasi, upaya melawan ideologi patriarki tidak berjalan dengan baik. Paradigma egaliter belum tercapai secara signifikan. Sejumlah warga belum merasakan kebebasan dalam melaksanakan kepercayaanya, seperti yang dijamin Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Musdah.

Perjuangan perempuan

Dalam keterangan persnya, Minggu (29/5/2018), Komnas Perempuan mengingatkan peran gerakan perempuan dalam Reformasi 1998 dan perjuangannya dalam melawan kekerasan, ketidakadilan, dan membela sesamanya yang diperkosa serta korban lain yang gugur dalam aksi penembakan dan pembakaran.

”Gerakan perempuan membangun etika kepedulian untuk melawan otoritarianisme yang patriarkis-militeristik. Ketika terjadi krisis ekonomi, ’Suara Ibu Peduli’ memobilisasi empati massa dan membangun solidaritas terhadap ibu yang tidak sanggup membelikan anaknya susu. Ketika berjatuhan korban akibat penyerangan rezim, gerakan perempuan membentuk crisis center untuk pemulihan, baik bagi korban maupun keluarga korban yang mengalami trauma.”

Komisioner Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, mengatakan, perjuangan perempuan itu masih berlangsung sampai sekarang dan ditemukan di berbagai kelompok masyarakat.

”Gerakan perempuan mengakar hingga ke bawah. Ada gerakan petani perempuan, masyarakat perempuan, PRT (pembantu rumah tangga) perempuan, dan sebagainya. Ke depan, gerakan yang heterogen itu harus saling melihat satu sama lain untuk menjalin kerja sama,” ucap Yuniyanti. (AYU PRATIWI)

Dikliping dari artikel yang terbit di kompas.id edisi 21 Mei 2018 dengan judul “Demokrasi dan Hak Asasi Perempuan”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/05/20/demokrasi-dan-hak-asasi-perempuan/