August 8, 2024

Mekanisme Pasal, Di antara Pasar dan Partai

Sepekan terakhir, syarat pencalonan anggota legislatif di Pemilu 2019 menjadi salah satu isu yang mencuri perhatian. Pasal 7 Ayat 1 huruf J draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif menyatakan calon anggota legislatif ”bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”. Pelarangan ini persis sama bunyinya dengan Pasal 60 Ayat 1 huruf J PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD, yang diundangkan pada 12 April 2018.

Namun, tak seperti pelarangan bekas narapidana jadi anggota DPD yang prosesnya relatif mulus, penerapan pasal yang sama untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota menghadapi resistensi lebih besar. Dalam rapat konsultasi penyusunan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif itu, Komisi II DPR, pemerintah, dan Badan Pengawas Pemilu menolak pasal 7 ayat 1 huruf J itu masuk di PKPU karena dinilai melanggar Undang-Undang   No 7/2017 tentang Pemilu.

Pekan ini, KPU akan tetap mensahkan draf PKPU yang mengakomodasi pasal itu. Dari mekanisme tiga ”P” yang bisa diterapkan untuk menghasilkan anggota legislatif yang tak pernah tersangkut kasus korupsi, yakni ”pasar” (diserahkan kepada pemilih), ”partai” (melalui saringan di partai), dan ”pasal” (melalui pasal pelarangan bekas napi korupsi), KPU lebih meyakini ”pasal” bisa lebih berdampak.

”Bukan kami tidak percaya (partai). Kalau mau membangun logika yang disampaikan tadi, ada pasar, pasal, dan partai, saya lebih percaya pasal. Sebab, dengan pasal itu, untuk kultur kita sekarang, banyak orang lebih patuh,” kata Ketua KPU Arief Budiman dalam diskusi Satu Meja dengan tema ”Mantan Koruptor Jadi Caleg, Pantaskah?”, Senin (28/5/ 2018) malam, di Kompas TV.

Diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu dihadiri pula tiga pembicara lain, yakni Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M Syarif, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P   Henry Yosodiningrat, dan peneliti senior politik LIPI Siti Zuhro.

Semua partai politik, kata Arief, punya semangat yang sama dalam memberantas korupsi. Pengaturan pasal yang melarang bekas napi korupsi untuk jadi caleg akan memudahkan parpol mengimplementasikan semangatnya.

Parpol merupakan jantung demokrasi. Karena itu, Siti Zuhro menilai parpol harus mengambil peran penting dalam pemberantasan korupsi, dengan menampilkan kader terbaik. Ia juga menilai inisiatif yang didorong KPU punya konteks yang kuat. ”Dalam membasmi korupsi, semua elemen bangsa harus bersatu padu,” katanya.

Problematika korupsi

Korupsi sudah menjadi persoalan kronis bangsa Indonesia; Orde Lama, Orde Baru, serta Reformasi. Berdasarkan data Harian Kompas, sejak harian ini terbit tahun 1965, kata kunci ”korupsi” konstan muncul di tiga rezim itu. Dari tahun 1965 hingga 28 Mei 2018, dari sekitar 2 juta artikel yang diterbitkan, 73.474 artikel di antaranya memuat kata ”korupsi”. Setelah reformasi, kata kunci ini lebih sering muncul. Pada 1965-1967, ada 399 artikel dengan kata ”korupsi”, di masa Orde Baru, ada 12.925 artikel. Sementara dalam kurun 1999- 2018, ada 60.150 artikel.

Diskursus mengenai pentingnya calon bebas dari kasus korupsi juga sudah muncul sejak Orde Baru. Menjelang Pemilu 1992, Wakil Sekretaris Umum Lembaga Pemilihan Umum P Gunardo, dalam artikel Kompas (21/1/1992), mengatakan, masyarakat bisa menyampaikan keberatan terkait keterlibatan dalam PKI, persoalan moral, susila, pidana, dan perdata kepada lembaga pemilu.

”Akan kami kemukakan pada OPP-nya (organisasi peserta pemilu). Bagaimana nih, calon Anda ternyata pernah melakukan korupsi sehingga tidak diterima oleh warga yang akan diewakilkan. Apa diteruskan atau diganti,” kata Gunardo, seperti dikutip Kompas saat itu. Dengan kata lain, imbauan agar parpol ”menyaring” kandidat, sehingga orang yang dicalonkan tidak pernah tersangkut korupsi, sebenarnya sudah sejak lama muncul.

Persoalan kambuhan

Parpol memang berperan penting dalam pengisian jabatan publik. Berdasarkan data KPK pada 2014-2017, setidaknya 31,5 persen dari ”pasien” KPK punya latar belakang parpol. Dari 739 tersangka yang ditangani KPK, sebanyak 233 orang berprofesi sebagai anggota DPR, DPRD, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/wali kota ataupun wakilnya. Jabatan-jabatan publik itu pengisiannya didominasi pencalonan dari parpol.

Henry mengingatkan, parpol sepakat untuk antikorupsi. Namun, KPU perlu mengingat bahwa prinsip hukum pelarangan bekas napi sudah pernah diatur dalam UU, tetapi norma itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), sepanjang tidak dimaknai dikecualikan napi yang terbuka dan jujur mengemukakan ke publik menyampaikan bahwa ia bekas terpidana. Putusan MK, ini lalu diadopsi dalam UU Pemilu.

”Sesuai dengan asas hukum, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. KPU sebagai penyelenggara tidak boleh membuat PKPU yang bertentangan dengan norma UU,” kata Henry.

Namun, Arief menyampaikan, KPU hanya mengisi ruang kosong yang belum diatur di pencalonan anggota legislatif. Dia mencontohkan, pada pilkada serentak, dalam UU Pilkada sudah diatur calon kepala daerah tidak boleh bekas napi bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Sementara itu, dalam UU Pemilu, calon presiden dan wakil presiden dinyatakan tidak pernah terlibat korupsi dan pidana berat lainnya. Pada pengalaman terdahulu, KPU, melalui PKPU, juga bisa mengisi ruang kosong dalam UU.

Laode M Syarif berpandangan, parpol seyogianya tidak mencalonkan orang yang pernah bermasalah hukum, apalagi terpidana kasus korupsi. Sangat penting rakyat disuguhi calon yang   merepresentasikan semangat antikorupsi. Sebab, ketika ”penyaringan” diserahkan kepada mekanisme ”pasar’, ada beberapa bekas napi korupsi yang ikut pilkada, sebagian di antaranya terpilih kembali.

”Setelah menjadi bupati lagi, prestasinya biasa-biasa juga. Bahkan, ada laporan lagi seperti itu. Banyak laporan, katanya, wah ini sudah mulai kambuh lagi,” kata Laode.

Kalau begitu, apa pendapat Anda?

(ANTONY LEE)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2018 di halaman 5 dengan judul “Mekanisme Pasal, Di antara Pasar dan Partai”. https://kompas.id/baca/utama/2018/05/30/mekanisme-pasal-di-antara-pasar-dan-partai/