JAKARTA, KOMPAS – Kesadaran masyarakat di pilkada esok hari untuk memilih kandidat yang mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat amat dibutuhkan. Jika yang terpilih kandidat yang tidak mampu mewujudkan hal itu, yang dikorbankan tak hanya kesejahteraan daerah tersebut, tetapi juga mengancam demokrasi.
Hasil kajian Kondisi Demokrasi Global 2017 oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) menunjukkan keterkaitan antara demokrasi dan pembangunan serta pelayanan publik.
Masyarakat melihat relasi nyata mereka dengan negara melalui kemampuan pemerintah memberikan pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, serta keamanan dan keadilan. Kemampuan pemerintah memberikan layanan itu penting dalam menjaga ketahanan demokrasi.
Di era otonomi daerah saat ini, kualitas pemerintahan daerah sangat memengaruhi persepsi warga terhadap kehadiran negara.
Terkait hal itu, penting bagi daerah untuk dipimpin oleh sosok yang mampu memenuhi harapan masyarakat. Pasalnya, banyak daerah yang tidak berkembang karena pemimpinnya tidak inovatif, tak berpihak kepada rakyat, dan hanya memikirkan kepentingan diri atau kelompoknya sendiri selama menjabat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2017, masih ada 19 provinsi yang masuk kategori sedang dan rendah. Semakin rendah IPM, ada kecenderungan tingkat kerawanan daerah itu di pilkada makin tinggi.
Pada saat yang sama, menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (25/6/2018), ada 356 kepala/wakil kepala daerah yang berurusan dengan hukum sejak era otonomi daerah dimulai 18 tahun lalu.
Kondisi ini mesti menjadi pelajaran bagi para calon pemilih agar lebih cermat. ” Pilihan jangan dijatuhkan berdasarkan pikiran yang pragmatis. Hanya karena tergoda oleh politik uang, sentimen berbasis suku, agama, atau ras,” kata Robert.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Subang, Jawa Barat, Sumasna mengatakan, citra pemerintah akan turun jika kepala daerahnya korupsi.
Dalam 10 tahun terakhir, empat kepala daerah di Subang terlibat kasus korupsi. Di sisi lain, menurut Sumasna, hasil survei Bappeda Subang menunjukkan kinerja Pemerintah Kabupaten Subang menurun dari 3,29 pada 2017 menjadi 3,19 pada 2018. Sementara jika tahun 2015 hanya 42 persen responden yang percaya pemerintah daerah tidak bersih dari korupsi dan suap, angka ini naik menjadi 73 persen pada 2018.
Masih dilirik
Beberapa saat sebelum Pilkada 2018, sejumlah kandidatnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga terlibat kasus korupsi. Di Jawa Timur, misalnya, empat petahana peserta pilkada kali ini berstatus tersangka dan ditahan oleh KPK.
Namun, menurut Airlangga Pribadi, pengajar Universitas Airlangga, Surabaya, ada kemungkinan kandidat yang berstatus tersangka ini masih bisa mendulang suara. ”Semua bisa memperoleh suara, bahkan kemungkinan unggul, jika kapasitas kekuasaan dari kandidat itu tetap merawat patronase politik dan jejaring kekuasaan di wilayahnya,” katanya.
Di saat yang sama, tindakan partai politik terhadap kadernya yang terjerat korupsi cenderung masih bersifat normatif dan permisif, seperti hanya pemecatan dari posisi kepengurusan atau jabatan strategis di partai.
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Mulfachri Harahap mengatakan, aturan internal di partai politik cenderung permisif karena undang-undang juga permisif terhadap para pelaku atau bekas pelaku korupsi.
Sebagai contoh, polemik tentang boleh tidaknya eks narapidana korupsi mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Partai cenderung tidak melarang bekas napi untuk menjadi caleg karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga membolehkan hal itu.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, menuturkan, saat ini di sejumlah daerah muncul kepala daerah yang berkualitas serta mampu memenuhi harapan publik terhadap pelayanan dan pembangunan. Guna memperbanyak hadirnya pemimpin seperti itu, pendidikan politik ke masyarakat perlu dioptimalkan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meyakini, dengan semakin meningkatnya kualitas pilkada, pemimpin yang dihasilkan juga akan lebih baik. (AGE/EDN/RTG/KRN/EGI/RWN/SEM/ ETA/GAL/APA/INA/NDY/NTA)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 26 Juni 2018 di halaman 1 dengan judul “Sikap Rasional Pemilih Ditunggu”. https://kompas.id/baca/utama/2018/06/26/sikap-rasional-pemilih-ditunggu/