August 8, 2024

Keterwakilan Perempuan Jadi Soal

JAKARTA, KOMPAS –  Pendaftaran calon anggota legislatif telah dibuka   pada Rabu (4/7/2018) dan akan berlangsung hingga 17 Juli 2018. Namun, sejumlah partai politik masih kesulitan memenuhi syarat keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar calon anggota legislatif.

Syarat keterwakilan perempuan ini diatur dalam Pasal 245 dan Pasal 246 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan ketentuan itu,   setiap tiga bakal calon anggota legislatif (caleg), paling sedikit satu di antaranya adalah perempuan.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan mengatakan, partainya masih kesulitan dalam memenuhi syarat keterwakilan perempuan di beberapa daerah. ”Di beberapa tempat, (keterwakilan) perempuan masih masalah, rata-rata kurang satu orang. Daerah pemilihan (dapil) saya juga kurang satu,” katanya, kemarin di Jakarta.

Saat ini, sejumlah parpol masih berupaya mencari bakal caleg perempuan di ormas ataupun organisasi sayap yang berafiliasi dengan parpol, termasuk mengimbau perempuan yang kini jadi anggota DPR untuk kembali maju di Pemilu 2019. ”Kami masih berusaha mendorong beberapa perempuan kader kami untuk bersedia maju jadi caleg DPR. Kami ingin menjaga semangat keterwakilan 30 persen, tetapi tentu harus sesuai realitas. Jika modal sosial dan finansial terbatas, tentu tidak bisa dipaksa,” kata Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani.

Kiprah di DPR

Kesulitan yang dialami sejumlah parpol dalam mencari bakal caleg perempuan berjalan seiring dengan masih sedikitnya perempuan yang memegang posisi penting di DPR. Dari enam unsur pimpinan DPR dan 11 ketua komisi yang ada di DPR, saat ini tak ada yang perempuan.

Pada saat yang sama, dari 10 fraksi yang ada di DPR, juga tak ada yang dipimpin perempuan. Sebelumnya, Reni Marlinawati pernah menjadi Ketua Fraksi PPP dan Ida Fauziyah menjadi Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di DPR. Namun, kini posisi mereka telah diganti orang lain.

Masih terbatasnya peran perempuan di politik ini tecermin dari laporan Global Gender Gap dari World Economic Forum. Menurut laporan itu, pada tahun 2017, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 144 negara dalam hal mengurangi kesenjangan jender di bidang politik. Indonesia belum mampu menurunkan gap jender dalam beberapa aspek, termasuk kesempatan berpolitik bagi perempuan di berbagai sektor.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Ammy Amalia Fatma Surya, mengatakan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan rendahnya minat perempuan terjun ke politik. Hal itu, antara lain, budaya patriarki yang masih ditemukan di sejumlah parpol, kemampuan perempuan dalam berpolitik praktis, serta terbatasnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk terlibat dalam urusan politik parpol.

”Dari kompetensi, keilmuan, dan wawasan, perempuan belum tentu kalah. Akan tetapi, kemampuan dalam berpolitik praktis juga perlu pengetahuan tersendiri, jaringan yang luas,” katanya.

Untuk meningkatkan kualitas perempuan dalam politik, parpol harus melakukan kaderisasi yang serius. Ini karena, menurut pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Ani Soetjipto, masalah keterwakilan perempuan di parlemen menyangkut persoalan hak asasi manusia dan keadilan demokrasi. (IAN/AGE/REK/BOW)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 5 Juli 2018 di halaman 2 dengan judul “Keterwakilan Perempuan Jadi Soal”. https://kompas.id/baca/utama/2018/07/05/keterwakilan-perempuan-jadi-soal/