Bawaslu dan KPU sama-sama menyodorkan pakta integritas untuk ditandatangani pimpinan parpol. Kendati isinya tak sama, ada pesan yang serupa, yaitu agar parpol tidak mencalonkan bekas napi korupsi.
Hampir sepekan sejak dimulainya pendaftaran calon anggota legislatif pada 4 Juli lalu, hingga Senin (9/7/2018) ruangan pendaftaran di lantai dua gedung Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, masih sepi. Belum ada partai politik yang menyerahkan daftar calon anggota legislatif untuk DPR. Di ruangan itu, hanya ada beberapa petugas KPU yang duduk menghadap layar komputer atau bercengkerama dengan sesama petugas.
Oleh karena masih sepi, tidak semua petugas berjaga di 16 meja yang disiapkan KPU, sesuai dengan jumlah parpol di tingkat nasional yang menjadi peserta Pemilu 2019. Seperti halnya pendaftaran parpol peserta Pemilu 2019, beberapa bulan lalu, tampaknya parpol baru akan mulai ”riuh” mendatangi kantor KPU pada pertengahan pekan kedua. Sesuai jadwal, pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) di semua tingkatan berlangsung hingga 17 Juli pukul 24.00.
Beberapa parpol sudah mengonfirmasi ke KPU akan mendaftar beberapa hari mendatang, menyesuaikan dengan nomor urut parpolnya. Pengurus parpol juga sibuk mengisi data kandidat dalam Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU. Selain itu, parpol tampaknya juga sibuk menyiapkan syarat tambahan yang baru muncul setelah penetapan dan pengundangan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif pada 3 Juli 2018.
Dalam PKPU 20/2018 itu, pimpinan parpol di semua tingkatan harus menandatangani pakta integritas per daerah pemilihan (dapil) yang berisi tiga pernyataan. Pertama, komitmen parpol dalam seleksi caleg dengan memilih orang yang berintegritas serta tidak akan terlibat korupsi, kolusi, nepotisme, dan melanggar hukum. Kedua, nama yang diusulkan bukan bekas napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba. Poin ketiga berisi sanksi pembatalan jika calon yang diajukan parpol diketahui merupakan bekas napi tiga jenis kejahatan tersebut.
Pakta integritas itu harus dibawa pengurus parpol saat menyerahkan berkas pendaftaran caleg ke KPU. Proses menuju pelarangan bekas napi tiga jenis kejahatan tersebut lewat pakta integritas melalui jalan yang berliku-liku. Melalui aturan itu, penyelenggara ingin menyodorkan kepada pemilih para calon yang belum pernah ”gagal” menjaga integritas.
Ada banyak mekanisme untuk menghasilkan wakil rakyat yang mumpuni dan berintegritas, seperti seleksi ketat di parpol, mekanisme regulasi, atau menyerahkan pada pilihan parpol. Seleksi di parpol sudah sejak dahulu diterapkan, begitu pula dengan menyerahkan keputusan pada pilihan rakyat. Namun, masih ada calon bekas koruptor, bahkan tersangka yang masuk surat suara, kemudian dipilih oleh pemilih.
Selain jalan ”keras” yang diinisiasi KPU, kemudian disetujui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui mekanisme pengundangan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga menawarkan jalan yang lebih ”lembut”. Mereka menyambangi pimpinan parpol di tingkat pusat. Dibungkus dengan ”judul” sosialisasi pengawasan, salah satu tujuan Bawaslu ialah menyodorkan pakta integritas untuk ditandatangani petinggi parpol.
Isi pakta integritas yang disodorkan Bawaslu lebih luas dari pembatasan bekas napi tiga jenis kejahatan. Pasalnya, pakta integritas itu juga berisi komitmen, antara lain, untuk tidak melakukan politik uang, meminta ”mahar” pencalonan, dan kampanye hitam.
Selain itu, juga ada poin yang ”mirip” dengan pakta integritas versi PKPU, yakni ”tidak mencalonkan anggota DPR, DPRD, atau Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan atau terlibat tindak pidana korupsi, obat-obatan terlarang, terorisme, dan kejahatan seksual.
Berdasarkan informasi Bawaslu, hampir semua parpol yang mereka sambangi sudah menandatangani pakta integritas tersebut. Pakta integritas itu memang tidak diikuti ancaman pemberian sanksi, tetapi berupa komitmen etis parpol. Jalan ini tampaknya diambil Bawaslu untuk menghindari ”benturan” dengan KPU.
Jika tidak ada parpol yang mengusung bekas napi tiga kejahatan itu jadi caleg, tidak akan ada sengketa pencalonan yang dipicu oleh pencoretan nama bekas napi tiga kejahatan itu oleh KPU dari daftar caleg.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat pembahasan PKPU Pencalonan Legislatif, Bawaslu menyatakan tidak setuju terhadap larangan bagi bekas napi tiga jenis kejahatan itu untuk mencalonkan diri. Alasan Bawaslu, seperti juga Kementerian Dalam Negeri, dan Komisi II DPR, pengaturan itu tak sesuai dengan UU Pemilu.
Lantas bagaimana jika parpol menandatangani dua pakta integritas, tetapi tetap mencalonkan bekas napi kasus korupsi? ”Kalau parpol melakukan hal itu, itu bisa ditangkap publik sebagai kebohongan, tindakan parpol yang menunjukkan tidak ada komitmen mengusung calon berintegritas,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Uji materi
Jalur ketidaksetujuan terhadap konten PKPU itu ialah melalui uji materi di Mahkamah Agung. Namun, MA menyatakan, akan menunda pemeriksaan uji materi yang terkait dengan peraturan teknis penyelenggaraan pemilu yang menggunakan UU Pemilu sebagai batu uji. Langkah ini sesuai dengan putusan MK. MK menyatakan setiap pemeriksaan uji materi di MA harus menunggu putusan MK bilamana UU yang dijadikan batu uji dalam uji materi di MA itu sedang diuji di MK.
”Kami harus menunggu hasil putusan MK, baru bisa memeriksa apakah peraturan teknis itu bertentangan dengan UU ataukah tidak,” kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah.
Akhirnya, beberapa permohonan uji materi terkait isi PKPU Pencalonan itu akhirnya dicabut pemohon karena pemeriksaan belum bisa dilakukan sepanjang belum ada putusan MK. Penangguhan pemeriksaan itu tidak diberi batasan waktu dan amat tergantung pada cepat atau lambatnya MK memberikan putusan.
Sampai saat ini, sedikitnya ada lima permohonan uji materi terhadap UU Pemilu. Satu permohonan terbaru datang dari Effendi Gazali, pemerhati komunikasi politik, yang menguji Pasal 222 UU Pemilu. Pasal itu mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Namun, jika parpol nekat, bukan tidak mungkin mereka menempuh jalur sengketa ke Bawaslu untuk membatalkan pelarangan yang dibuat KPU di PKPU No 20/2018. Namun, hal ini sama saja dengan ”mengadu” dua lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu. Benturan antarinstitusi ini bisa memperburuk citra institusi negara, sekaligus menggerus kepercayaan kepada parpol yang menjadi jantung demokrasi.
Sebab, hal itu bisa dibaca publik bahwa parpol menggunakan semua cara, termasuk membenturkan dua penyelenggara pemilu, demi meloloskan caleg yang dianggap publik sudah pernah ”bermasalah”. Hal ini bisa berdampak negatif terhadap konsolidasi demokrasi Indonesia. Beberapa riset mengenai demokrasi menunjukkan bahwa di berbagai belahan dunia, demokrasi tengah menghadapi tekanan dan ujian, terutama di tengah semakin lebarnya jurang kesenjangan di masyarakat. Demokrasi yang kemudian dianggap semakin kurang relevan bagi masyarakat mengalami kemunduran di beberapa negara. Apalagi jika elitenya tak bisa memahami ”suasana hati” publik. Jika demokrasi dirasa kurang relevan dan menyebabkan kemunduran, jalan bagi konservatisme politik dan politik populis menjadi lebih mulus.
Mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, juga mengingatkan, jangan sampai Pemilu 2019 menjadi ajang pertengkaran dua penyelenggara pemilu. ”Jika pertentangan antarlembaga penyelenggara pemilu terjadi, tanpa terasa caleg yang tidak memenuhi syarat ketentuan itu yang diuntungkan. Mirisnya, tanpa terasa mereka diselamatkan penyelenggara pemilu sendiri,” ujar Hadar.
Pertanyaannya, layakkah kepercayaan yang menjadi modal dasar bagi berjalannya demokrasi itu dipertaruhkan parpol, demi meloloskan caleg yang pernah terbukti gagal menjaga kepercayaan, bahkan melukai kepercayaan rakyat? (ANTONY LEE/ RINI KUSTIASIH)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 10 Juli 2018 di halaman 5 dengan judul “Pakta Integritas dan Komitmen Parpol”. https://kompas.id/baca/utama/2018/07/10/pakta-integritas-dan-komitmen-parpol/