September 13, 2024

Jawaban KPU dan Bawaslu Perlu Dipertimbangkan

JAKARTA, KOMPAS – Jawaban atau keterangan Komisi Pemilihan Umum di tingkat provinsi atau kabupaten/kota dan Panitia Pengawas Pemilu atau Badan Pengawas Pemilu semestinya dioptimalkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai sarana verifikasi fakta-fakta kecurangan pilkada. Mampu atau tidaknya KPU daerah dan Panwaslu untuk menjawab dalil-dalil yang diutarakan pemohon yang merasa dirugikan dalam pilkada bisa menjadi salah satu tolok ukur MK dalam menentukan ada atau tidaknya kecurangan di dalam pilkada.

Dalam dua hari terakhir persidangan di MK dengan agenda mendengarkan keterangan termohon (KPU atau KPU daerah), dan pihak terkait, serta Panwaslu, belum semuanya secara gamblang menjawab dalil-dalil kerugian yang diutarakan oleh pemohon. KPU lebih banyak berargumen tentang permohonan pemohon yang tidak memenuhi syarat Pasal 158 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu mengatur ambang batas hasil pilkada yang bisa dibawa ke MK sebesar 0,5 persen-2 persen tergantung pada jumlah penduduk.

“Keterangan dari dua lembaga itu menjadi sarana penyeimbang bagi mahkamah untuk melihat apakah yang disampaikan oleh pemohon itu terverifikasi ataukah tidak dengan keterangan KPU dan Bawaslu. Kalau memang ada kesalahan, dan apa yang didalilkan oleh pemohon tidak bisa dijelaskan oleh termohon (KPU) dan Panwaslu, dan terlebih lagi ada indikasi pelanggaran, MK mestinya tidak hanya berpatokan pada Pasal 158,” kata Fadli Ramadhanil, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kamis (2/8/2018) di Jakarta.

Kamis kemarin merupakan hari terakhir bagi MK untuk memeriksa permohonan pemohon, serta mendengarkan keterangan dari semua pihak, baik pemohon, termohon, dan pihak terkait. Berbeda dengan pemeriksaan sengketa selisih hasil pilkada pada tahun 2015 dan 2017, tahun ini MK meminta pihak termohon, serta Panwaslu dan Bawaslu untuk memberikan keterangan di awal persidangan, sebelum perkara itu masuk ke dalam pemeriksaan saksi dan ahli atau pembuktian.

Sesuai jadwal, sejak Jumat ini hingga Kamis pekan depan, 9 Agustus 2018, hakim konstitusi akan melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) secara maraton guna membahas 70 perkara yang telah diperiksa oleh mejelih hakim panel. Tiga majelis panel akan menjelaskan masing-masing perkara yang ditanganinya di dalam RPH. Hasil dari RPH itu akan menentukan apakah perkara bersangkutan diteruskan ke tahap pembuktian ataukah tidak.

Fadli mengatakan, dengan mencermati keterangan KPU daerah, Panwaslu atau Bawaslu, MK setidaknya mendapatkan gambaran yang lebih lengkap atas suatu perkara, sehingga tidak serta-merta suatu perkara dinilai hanya dari selisih hasil suaranya. “Kalau pun nanti misalnya dalil-dalil pemohon itu tidak terbukti, Pasal 158 itu sebaiknya dipertimbangkan di dalam putusan akhir mahkamah,” ujarnya.

Bantahan KPU

Kemarin, MK mendengarkan jawaban atau eksepsi dari termohon, serta keterangan dari Panwaslu/Bawaslu dan pihak terkait dari 15 perkara, antara lain Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Manggarai Timur. Senada dengan perkara lainnya yang diperiksa, Rabu, umumnya KPU daerah berpatokan pada ambang batas selisih hasil pilkada, dan menilai permohonan pemohon kabur, sehingga tidak dapat diterima.

Dalam perkara sengketa Kabupaten Puncak, Papua, yang diajukan oleh Lembaga Masyarakat Adat Kerukunan Masyarakat Pegunungan Tengah Lapago, KPU setempat membantah ada dukungan kepada pemenang pilkada yang merupakan pasangan calon tunggal, yakni Willem Wandik-Pelinus Balinal. Pasangan itu unggul melawan kotak kosong. Pasangan calon tunggal meraih 143.539 suara, sedangkan kotak kosong 14.813 suara.

“Selisih suara antara pasangan pemenang pilkada dengan kotak kosong di atas 7 persen, padahal untuk mengajukan sengketa hasil ke MK, minimal ada selisih suara 2 persen. Menurut Pasal 158 UU Pilkada, pemohon ini tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing,” kata Melkianus Ndaomanu, kuasa hukum KPU Kabupaten Puncak.

Di dalam sidang yang dipimpin ketua majelis panel Arief Hidayat, KPU Kabupaten Puncak juga membantah dalil pemohon yang menyebutkan adanya penggelembungan suara dan kekacauan daftar pemilih tetap (DPT).

MK kemarin juga menerima satu lagi permohonan sengketa pilkada dari Kabupaten Paniai, Papua. Total, kini ada 70 perkara telah selesai diperiksa, dan 1 perkara baru yang dalam tahap penyerahan kelengkapan berkas permohonan.

Juru bicara MK Fajar Laksono Soeroso menuturkan, ada kesempatan 7 hari bagi hakim MK untuk menggelar RPH. Pada 9-15 Agustus, MK mengagendakan sidang pengucapan putusan dismissal. Sejumlah perkara yang dinilai tidak memenuhi ketentuan UU tidak akan dilanjutkan ke tahap pembuktian, antara lain perkara yang pengajuan permohonannya ke MK melebihi batas waktu tiga hari setelah penetapan oleh KPU daerah, tidak memenuhi ambang batas selisih hasil pilkada, dan yang tidak memiliki kedudukan hukum karena bukan pasangan calon. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2018 di halaman 4 dengan judul “MK Bisa Verifikasi KPU dan Bawaslu”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/08/03/jawaban-kpu-dan-bawaslu-perlu-dipertimbangkan/