Pada 17 April 2019, para pemilih begitu antusias menyalurkan hak politiknya pada Pemilu 2019 dengan mendatangi tempat pemungutan suara. Lantas bagaimana suara itu bisa mewujud menjadi calon terpilih?
Antusiasme publik yang begitu besar pada Pemilu 2019 terlihat dari partisipasi pemilih yang terbilang tinggi. Hasil hitung cepat Litbang Kompas, misalnya, partisipasi pemilih pada pemilihan presiden dan wakil presiden mencapai 81,79 persen dengan sampel masuk 99,5 persen. Sementara partisipasi pemilih di pemilihan anggota legislatif 77,7 persen (sampel masuk 93,9 persen). Persentase itu melampaui target Komisi Pemilihan Umum yang sebesar 77,5 persen.
Mereka mendatangi bilik suara untuk memilih presiden-wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota.
Penentuan pemenang pemilu untuk pemilihan presiden-wakil presiden dan DPD relatif lebih sederhana dibandingkan DPR dan DPRD. Selain itu, pada dua jenis pemilihan yang awal disebut, pengaturannya relatif sama dengan pemilu terdahulu.
Namun, pada Pemilu 2019 ada perbedaan konversi suara DPR dan DPRD. Pada Pemilu 2019, untuk pertama kalinya Indonesia akan menerapkan metode dari rumpun divisor, yakni Sainte Lague. Pada pemilu-pemilu terdahulu, Indonesia menerapkan metode konversi suara dari rumpun kuota, yakni Kuota Hare.
”Sejak Pemilu 1955 sampai 2014, kita menggunakan Kuota Hare. Diskursus mengubah metode menjadi Sainte Lague ini muncul jelang Pemilu 2009, tetapi belum mengemuka. Baru pada Pemilu 2019 bisa diakomodasi,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini awal pekan lalu.
Karena kebaruan itu, Titi menilai, sangat penting ada diseminasi informasi terkait perubahan metode konversi suara ini kepada peserta pemilu, termasuk para calon anggota legislatif, terutama di daerah. Sebab, dikhawatirkan akan timbul kegaduhan apabila penyelenggara pemilu mengonversi suara dengan metode baru, sedangkan parpol dan caleg di daerah masih berpatokan pada metode lama.
Cara menghitung
Penghitungan suara DPR dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, penentuan partai politik yang lolos ambang batas parlemen, yakni 4 persen. Kedua, penentuan kursi per parpol. Ketiga, penentuan calon anggota legislatif yang beroleh kursi. Karena Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar terbuka, kursi yang didapat parpol di daerah pemilihan diberikan kepada caleg dengan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan itu.
Pada tahap penghitungan kursi, parpol yang tak lolos ambang batas parlemen tak akan diikutkan dalam penghitungan perolehan kursi DPR. Namun, ketentuan ini tak berlaku bagi penghitungan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebab, di daerah tidak berlaku ambang batas parlemen. Dengan demikian, untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, hanya ada dua tahapan, yakni menentukan perolehan kursi parpol, lalu menentukan caleg yang mendapat kursi itu.
Pada Kouta Hare, pertama-tama akan dicari bilangan pembagi pemilih (BPP) yang menjadi ”harga” kursi di suatu dapil. BPP didapat dari suara sah di daerah pemilihan dibagi jumlah kursi tersedia. Penghitungan dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, kursi diberikan kepada parpol yang mendapat suara sama atau melebihi BPP. Baru pada tahap kedua, sisa kursi yang belum terbagi dibagi habis ke parpol yang memiliki sisa suara terbanyak (PKPU 29/2013).
Berbeda dengan Kuota Hare, metode Sainte Lague membagi suara dengan menggunakan pembagi tetap. Pada metode divisor Sainte Lague, bilangan pembagi yang diterapkan ialah 1,3,5,7, dan seterusnya. Perolehan suara tiap parpol lalu dibagi bilangan pembagi tersebut, dengan hasil pembagian pecahan hingga dua desimal. Setelah itu, hasil pembagian diurutkan dari yang tertinggi untuk diberikan alokasi kursi hingga jumlah kursi tersedia habis terbagi (PKPU 5/2019).
Sebagai ilustrasi, pada perolehan suara Pemilu 2014 di daerah pemilihan Gorontalo, ada 12 parpol yang berkontestasi memperebutkan tiga kursi DPR. Dari hasil rekapitulasi, Nasdem mendapat 20.930 suara, PKB (13.285 suara), PKS (26.499), PDI-P (40.606), Golkar (310.790), Gerindra (49.342), Demokrat (47.662), PAN (41.222), PPP (31.114), Hanura (36.640), PBB (16.172), dan PKPI (2.392).
Apabila dihitung menggunakan Sainte Lague, perolehan suara tiap parpol dibagi 1, dibagi 3, dibagi 5, dan seterusnya. Setelah hasil pembagian itu diurutkan dari angka terbesar, didapati tiga terbesar ialah nilai 310.790 dari Partai Golkar hasil pembagian 1, lalu 103.596,67 dari hasil pembagian 3 Golkar, dan 62.158 dari hasil pembagian 5 Golkar. Perolehan suara parpol lain, baik dari hasil pembagian 1, 3, maupun 5, tidak ada yang lebih tinggi dari Golkar. Dengan demikian, ketiga kursi di dapil ini dikuasai Golkar.
Ilustrasi ini berbeda dari penetapan hasil Pemilu 2014 yang menggunakan Kuota Hare. Dengan metode itu, di dapil Gorontalo, Golkar mendapat 1 kursi di tahap 1 dan 1 kursi di tahap kedua, sedangkan Gerindra mendapat 1 kursi di tahap kedua. Dengan demikian, Golkar mendapat 2 kursi dan Gerindra mendapat 1 kursi DPR.
Apakah ilustrasi ini menandakan perubahan metode konversi mengubah raihan parpol di tiap dapil? Tidak selalu. Di dapil Papua yang punya 10 kursi, misalnya, tak ada perubahan perolehan kursi parpol saat Sainte Lague diterapkan pada hasil Pemilu 2014.
Hasil simulasi Pemilu 2014 dengan menggunakan Kuota Hare dan Sainte Lague yang dilakukan beberapa lembaga, seperti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), juga menunjukkan perbedaan raihan kursi tak signifikan. Dari 560 kursi DPR, berdasar simulasi SPD, perubahan konfigurasi kursi karena perubahan metode hanya terjadi tak sampai 1 persen suara. (ANTONY LEE)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 24 April 2019 di halaman 3 dengan judul “Sainte Lague, Usai Suara Disalurkan”. https://kompas.id/baca/utama/2019/04/24/sainte-lague-usai-suara-disalurkan/