August 8, 2024

Jalan Terjal Merintis Sistem Hitung Suara

Ruang publik pascapemungutan suara, 17 April 2019, diisi oleh beragam informasi mengenai perolehan suara sementara berdasarkan metodologi hitung cepat atau quick count dari berbagai lembaga survei. Medis sosial pun ramai dengan tanggapan atas hasil hitung cepat. Ada pihak yang memercayai hasil hitung cepat yang sebagian besar menunjukkan keunggulan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Namun, ada pula pihak yang mempertanyakan kesahihan metodologi yang dipakai lembaga survei, berikut kesangsian pada independensi dan netralitas mereka.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sisi lain menegaskan, hitung cepat bukanlah hasil resmi pemilu. Peserta pemilu diharap bersabar menunggu rekapitulasi berjenjang yang dilakukan oleh KPU secara manual. Penghitungan manual dilakukan dengan rekapitulasi dari tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK), KPU kota/kabupaten, KPU provinsi, dan KPU RI. Rekapitulasi berlangsung sejak penghitungan di TPS, 17 April, hingga 22 Mei.

Untuk memenuhi kebutuhan informasi publik akan tahap perhitungan suara, KPU juga menyelenggarakan penghitungan suara secara real count dengan menggunakan aplikasi sistem informasi penghitungan suara (Situng), yang sejak Pemilu 2014 telah diujicoba. Sistem yang sama juga diterapkan dalam Pilkada 2015, 2017, dan 2018.

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, penghitungan dengan situng ini merupakan salah satu mekanisme pemilu di Indonesia yang banyak mendapatkan sorotan dan apresiasi dari pemantau pemilu internasional. Mekanisme situng memungkinkan data dari lapangan, yakni hasil penghitungan suara yang disalin ke dalam formulir C1 dari TPS untuk bisa langsung diinput atau dimasukkan ke dalam sistem hitung suara secara riil.

Secara teknis, formulir C1 yang merekap jumlah raihan suara peserta pemilu dari TPS dikirimkan ke PPK. Dari PPK, kumpulan formulir C1 dari wilayahnya itu dibawa ke KPU kota/kabupaten untuk dipindai menggunakan mesin scanner.

“C1 yang discan itu langsung bisa dimasukkan data-datanya ke dalam sistem. Jumlah raihan suara yang diinput sama dengan yang ditulis di dalam formulir C1 itu. Dengan demikian, hasilnya lebih valid, karena itu langsung dari hasil hitung suara di TPS,” kata Arief.

C1 yang discan itu langsung bisa dimasukkan data-datanya ke dalam sistem. Jumlah raihan suara yang diinput sama dengan yang ditulis di dalam formulir C1 itu. Dengan demikian, hasilnya lebih valid, karena itu langsung dari hasil hitung suara di TPS

Berbeda dengan rekapitulasi suara manual dengan melibatkan penghitungan dari PPK, KPU kota/kabupaten, KPU provinsi, dan KPU RI, situng sepenuhnya mengandalkan formulir C1 dan alat pindai serta operator input data ke dalam sistem. Adapun untuk rekapitulasi manual dilakukan dengan melibatkan pengawas pemilu, saksi-saksi, dan perwakilan peserta pemilu. Artinya, mekanisme rekapitulasi manual melibatkan pengawasan dari banyak pihak, dan setiap revisi atau perbaikan data harus sepengetahuan atau sepertujuan saksi-saksi.

Arief mengatakan, kendati real count dilakukan KPU dengan mekanisme situng, hasil pemilu tetap berpedoman pada hasil hitung manual. Rekapitulasi manual secara berjenjang adalah hasil resmi satu-satunya yang dijadikan panduan peserta pemilu.

Pada praktiknya, mekanisme yang dijalankan situng bisa menjadi jalan keluar dari sejumlah persoalan yang timbul dari hitung manual. Penghitungan melalui situng bisa dilakukan dengan lebih cepat, efisien, dan tidak harus melibatkan banyak pihak secara berjenjang. Hasil dari TPS bisa langsung dikirim, diunggah datanya, dan dipindai. Tampilan situng yang bisa dilihat di https://pemilu2019.kpu.go.id bisa diakses publik dengan melihat hasil scan atau pindai formulir C1 asli dan dibandingkan dengan data yang diinput ke dalam sistem.

Dengan tampilan itu, publik bisa mengetahui langsung apakah hasil pindai sesuai atau tidak dengan data yang diinput. Dalam prosesnya, tiga operator sistem bekerja untuk menghasilkan tampilan situng tersebut. Mereka adalah operator pindai, operator input data, dan verifikator.

Sesuai C1

Kinerja tiga operator situng itu seperti terlihat di Hotel Merlynn, Jakarta Pusat, Kamis (18/4/2019). Anak-anak muda yang umumnya adalah mahasiswa masing-masing menghadap komputer. Operator scanner memiliki satu alat pindai yang berada di sisi kirinya. Adapun operator input data menerima formulir C1 setelah diperiksa oleh bagian penyortiran di luar ruangan operator.

Sedikitnya 200 anak-anak muda dilibatkan dalam real count KPU tersebut. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, situng dipusatkan di Hotel Merlynn, kecuali untuk Kepulauan Seribu, karena jumlah TPS yang relatif kecil sehingga dipusatkan di kantor KPU setempat.

Hingga pukul 15.00, para operator itu lebih banyak menunggu formulir C1 dari lapangan. Data yang masuk ke operator masih kurang dari 1 persen, dan angka itu belum cukup signifikan untuk menentukan siapa yang unggul dari peserta pemilu yang berkontestasi.

“Situng memang sepenuhnya bergantung pada suplai data C1 dari TPS yang dikumpulkan oleh PPK. Kami hanya memasukkan data dan memindai formulir C1. Hasil pindai dan input data yang dimasukkan harus sama persis,” kata Nurdin, anggota KPU DKI Jakarta.

Sepintas, kesesuaian data antara input data dan hasil pemindaian menjamin validitas data yang masuk. Namun, di sinilah sisi lemah situng. Sebab, sebagai suatu mekanisme pemindaian, operator tidak bisa melakukan koreksi atas penulisan data di formulir C1 yang didapati keliru. Misalnya, petugas KPPS seharusnya menuliskan angka 4, tetapi keliru dengan angka 9. Sekalipun operator situng menyadari hal ini, revisi atau perubahan tidak bisa dilakukan terhadap formulir C1.

“Formulir C1 harus dipindai sebagaimana aslinya, dan data dimasukkan sebagaimana tertulis di hasil pindaian itu. Jadi sekalipun operator mengetahui ada kekeliruan hitung atau salah tulis, itu tidak bisa dikoreksi. Hal ini menjadi salah satu kelemahan mekanisme situng,” kata Afrizal Djamaludin, petugas teknis KPU Jakarta Selatan, yang bertugas menjadi verifikator situng.

Dengan mekanisme ini, validitas situng di satu sisi juga masih bersifat sangat teknis, belum aktual atau riil. Nurdin mengatakan, perubahan atau revisi terhadap C1 hanya bisa dilakukan di depan saksi dan pengawas pemilu. Dengan demikian, perubahan angka apapun terhadap hasil yang ditulis di dalam formulir C1 tidak bisa dilakukan oleh operator situng.

“Kami hanya memindai dan memasukkan data sesuai C1. Tidak bisa mengubah data yang dimasukkan, sebab perubahan data apapun dari C1 harus dilakukan secara terbuka dalam rekapitulasi manual berjenjang yang dihadiri para saksi,” kata Nurdin.

Maraknya beredar foto formulir C1 yang keliru hitung di media sosial, dan dimasukkan apa adanya dalam situng menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Mekanisme situng tidak memungkinkan dilakukannya koreksi terhadap C1. Kesesuaian C1 dengan input data yang dimasukkan menjadi mutlak, terlepas benar atau tidaknya hasil hitung yang ditulis di dalam C1.

Untuk memastikan kesesuaian data C1 dengan data yang dimasukkan ke dalam sistem, peran verifikator menjadi penting. Setelah operator input data dan operator pindai menyelesaikan tugasnya, verifikator bertugas memastikan kesesuaian data itu.

“Kalau data yang dimasukkan tidak sesuai, kami harus mengembalikan ke operator input data. Sebab bila lolos sampai masuk ke dalam sistem, kami harus mengurusnya ke KPU RI,” kata Afrizal.

Data terlambat

Problem lain dalam aplikasi situng ialah keterlambatan dokumen masuk. Sebagai contoh, hingga Sabtu, pukul 20.00, baru 44.215 data C1 yang masuk dari total 813.350 TPS atau baru sekitar 5,4 persen.

Afrizal mengatakan, selain harus mengurusi situng, pada saat bersamaan petugas PPK menyiapkan hitung manual berjenjang. Beban kerja ganda di dalam Pemilu 2019 menambah kesibukan PPK. Acap kali PPK terlambat memasukkan data ke KPU kota/kabupaten.

Hal itu sebagaimana terlihat dari kesibukan PPK di Aula Gelanggang Olahrga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis lalu. Aula ramai dengan petugas yang hilir mudik menumpuk ribuan kotak suara. Satu per satu, kardus-kardus putih itu berdatangan dari 434 TPS di Mampang dan memadati aula GOR yang dijadikan ‘markas’ sementara PPK Mampang Prapatan.

Setelah ribuan kotak suara tiba di GOR, Zulfahmi bersama petugas lain harus menyortir salinan formulir C1 kuarto yang berisi rekap laporan perolehan suara dari setiap TPS di Mampang. Formulir C1 itu selanjutnya harus dibawa dan diserahkan ke KPU DKI Jakarta yang bermarkas di Hotel Merlynn, Jakarta Pusat.

Saat mengirimkan formulir C1 itu, Zulfahmi terkejut. Kecamatannya ternyata menjadi yang paling pertama dari Jakarta Selatan untuk menyerahkan salinan C1 untuk Situng.

“Saya kira kecamatan saya sudah paling terlambat, ternyata justru jadi kecamatan pertama yang nyetor data untuk Situng. Saya tanya, kok bisa begini, ternyata yang lain kecapaian, banyak yang izin mau tidur dulu,” kata Zulfahmi.

Akibat keterlambatan masuknya salinan formulir C1 dari PPK, proses situng untuk KPU DKI Jakarta akhirnya sedikit tertunda. Di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, salinan formulir C1 baru dibawa ke Hotel Merlynn pada Kamis (28/4) pukul 11.00. TPS terakhir menyetor kotak suara, termasuk salinan formulir C1, pada pukul 10.00, karena lalu lintas di Tanah Abang yang macet.

Ketua PPK Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ahmad Syahrizal, mengatakan, banyak PPS yang tidak langsung membawa salinan C1 ke PPK dengan alasan ingin beristirahat. Akhirnya, pengiriman salinan C1 untuk proses Situng pun ikut tertunda. “Situasinya memang tidak bisa kalau dipaksakan, semua lelah dan kurang tidur, jadi tetap harus kami perhatikan,” kata Syahrizal.

Masa depan

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, dengan segala kekurangan yang ada saat ini, situng bisa menjadi masa depan bagi mekanisme penghitungan suara pemilu. Sebab, sistem ini bisa lebih cepat dan mengurangi risiko perbedaan pendapat mengenai hasil pemilu.

Sebagaimana yang terjadi saat ini, belum adanya hasil resmi dari KPU membuat peserta pemilu berspekulasi tentang hasil pemilu. Masing-masing pihak mengklaim raihan suara dan kemenangan. Dengan hasil hitung suara yang lebih cepat mampu ditampilkan KPU, menurut Hadar, celah untuk munculnya klaim-klaim dan spekulasi bisa diantisipasi.

“Saya melihat situng bisa menjadi solusi atas munculnya spekulasi terhadap hasil pemilu, karena banyak pihak yang sekarang menanti. Waktu yang diperlukan untuk rekapitulasi berjenjang yang hampir sebulan akan membuat sepekulasi itu terus berkembang,” katanya.

Saya melihat situng bisa menjadi solusi atas munculnya spekulasi terhadap hasil pemilu, karena banyak pihak yang sekarang menanti. Waktu yang diperlukan untuk rekapitulasi berjenjang yang hampir sebulan akan membuat sepekulasi itu terus berkembang

Ke depan, persoalan yang ditemui dari situng perlu digarap lebih serius dan diantisipasi. Misalnya, keterlambatan dokumen masuk yang dipicu beban kerja berat dari PPK. Selain itu, persoalan server internet yang masih kurang optimal penting untuk diperbaiki bila serius menjadikan situng masa depan mekanisme penghitungan suara pemilu.

Kesalahan yang timbul dari hasil hitung C1 yang muncul di lapangan pun seharusnya bisa diperbaiki di tingkat TPS, tidak dibiarkan jadi persoalan hingga ke PPK dan KPU kota/kabupaten.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, agar hasil pungut-hitung dapat lebih cepat tersaji ke publik, ke depan perlu dipertimbangkan penerapan rekapitulasi elektronik sejak di tingkat TPS. Selain membuat hasil lebih cepat diketahui, proses itu juga mempermudah tugas panitia di lapangan, sehingga tidak perlu bolak-balik mengantarkan salinan C1 secara manual.

Metode foto-lalu-unggah seperti yang diterapkan oleh kelompok sukarelawan Kawal Pemilu dapat menjadi cikal-bakal teknologi rekapitulasi elektronik.

Metode foto-lalu-unggah seperti yang diterapkan oleh kelompok sukarelawan Kawal Pemilu dapat menjadi cikal-bakal teknologi rekapitulasi elektronik. Petugas KPPS di setiap TPS cukup memfoto formulir C1 plano lalu mengunggahnya secara langsung ke Situng secara daring. Titi meyakini, masyarakat Indonesia sudah terbiasa mengoperasikan teknologi sederhana itu.

Namun, perencanaannya perlu dibuat secara serius sejak sekarang. Perlu waktu yang cukup untuk melatih para petugas di lapangan. Aspek ketersediaan peralatan serta desain keamanan teknologi juga perlu disiapkan secara baik dan diaudit secara berkala.

“Teknologi ini mulai perlu dipikirkan untuk penyelenggaraan pemilu berikutnya. Tidak usah tergesa-gesa, kita evaluasi, lakukan pembekalan secara serius, lalu uji coba secara optimal dan menyeluruh,” ujarnya. (RINI KUSTIASIH DAN AGNES THEODORA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 April 2019 di halaman 2 dengan judul “Sulitnya Merintis Sistem Hitung Suara “. https://kompas.id/baca/utama/2019/04/22/jalan-terjal-merintis-sistem-hitung-suara/