August 8, 2024

Masalah DPT Muncul Lagi di MK

Dalil kecurangan penyusunan daftar pemilih tetap muncul lagi dalam sidang pembuktian di MK. Dalil serupa muncul dalam sengketa Pilpres 2009 dan 2014.

Dalil kecurangan atau kelalaian dalam penyusunan daftar pemilih tetap kembali menjadi hal yang diuji dalam sidang perselisihan hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi. Kecurangan terkait DPT menjadi salah satu dalil yang berusaha dibuktikan pemohon dalam beberapa kali sengketa pemilihan presiden.

Sidang pembuktian perselisihan hasil pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/6/2019), memasuki agenda mendengar keterangan saksi dari pemohon, yakni capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dalam sidang itu, sejumlah saksi mengungkapkan adanya dugaan kecurangan DPT. Saksi Agus Maksum dari Sidoarjo, Jawa Timur, dan Idham dari Makassar, Sulawesi Selatan, mengungkapkan dugaan kecurangan DPT itu dilakukan melalui proses pemutakhiran data yang tidak teliti.

Permohonan sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) ke MK yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014, salah satunya juga mendalilkan adanya kecurangan atau setidak-tidaknya kelalaian dalam penyusunan DPT. Pada Pilpres 2009, dalil yang sama ke MK juga pernah diajukan oleh pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Di persidangan kemarin, saksi Agus Maksum mengatakan, dirinya selaku tim ahli TI Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menemukan nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK) yang tidak sesuai ketentuan serta adanya data pemilih tidak wajar 17,5 juta orang. Data itu berisikan data pemilih dengan tanggal lahir yang sama, yakni pada 1 Juli, 31 Desember, dan 1 Januari. Menurut dia, pemilih yang lahir 1 Juli jumlahnya 9,8 juta, sedangkan 31 Desember 5,3 juta, dan 1 Januari 2,3 juta.

 

”Kami telah datang ke ahli statistik dan mendapatkan keterangan, jumlah yang wajar ialah jumlah pemilih seluruhnya 190 juta jiwa dibagi 365 hari, yakni 520.000 saja,” katanya.

Menurut Agus, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih dengan tepat sehingga pemutakhiran data sebenarnya tidak terjadi sebagaimana mestinya. Terkait data pemilih 17,5 juta itu, Agus mengaku mendapatkan penjelasan dari KPU.

”KPU menjelaskan tanggal lahir yang sama itu kebijakan untuk mencatat mereka yang tidak tahu tanggal lahir. Alasan itu dapat kami terima, tetapi yang tidak dapat kami terima mengapa jumlahnya bisa sebanyak itu,” kata Agus.

Sementara itu, saksi Idham mengatakan mendapatkan data DPT dari Partai Gerindra. Setelah dikaji, ia menemukan ada data yang tidak wajar, di antaranya NIK yang kodenya tidak sesuai dengan kode kecamatan tertentu, pemilih ganda, dan pemilih di bawah umur. Sebagian besar dugaan kecurangan dari analisisnya itu didapati di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

KPU selaku termohon menyangsikan keterangan mengenai dugaan kecurangan DPT itu. Anggota KPU, Viryan Azis, menggali keterangan Agus soal apakah laporan tentang dugaan 17,5 juta DPT invalid itu sudah ditindaklanjuti KPU. Saksi membenarkan sudah ada tindak lanjut KPU, tetapi tindakan KPU yang mengambil sampel uji petik 1.604 orang dari 17,5 juta jiwa dinilai tak memadai.

”Apakah tim BPN dalam penentuan sampel itu menandatangani atau menyetujui?” tanya Viryan kepada saksi Agus.

Agus mengatakan yang disepakati BPN ialah pembagian tugas penentuan lokasi pemeriksaan data DPT 17,5 juta itu. Namun, ia menilai sampel yang diambil KPU terlalu sedikit.

Selalu jadi perhatian

Di luar persidangan, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, DPT pada dasarnya ialah sumber suara. Mereka yang tercatat dalam DPT adalah warga yang akan memberikan suaranya dalam pemilu. Oleh karena itu, ketidakvalidan DPT akan sangat berpengaruh pada raihan suara. Kondisi ini yang menyebabkan isu DPT dari pemilu ke pemilu menjadi sentral perhatian peserta pemilu.

Sekalipun desain pemilu dan pemutakhiran data terus berusaha diperbaiki, kata dia, isu DPT tetap akan jadi perhatian. Masih rendahnya kesadaran publik dan peserta pemilu untuk mengikuti tahapan dan proses pemutakhiran data ini mengakibatkan banyak yang baru tersadar ada persoalan pada saat-saat akhir menjelang pemilu.

Keterangan lain

Saksi-saksi yang memberikan keterangan hingga sekitar pukul 23.40 mengemukakan keterangan terkait dugaan pencoblosan surat suara oleh anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, dugaan kecurangan dalam rekapitulasi perolehan suara di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan, dugaan kecurangan oleh kepala daerah, serta dugaan kecurangan dalam input data sistem informasi penghitungan suara KPU.

Kamis ini, MK akan menggelar sidang pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi dari pihak termohon, yakni KPU. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya telah menyiapkan saksi-saksi yang relevan. Jumlah saksi akan disesuaikan dengan ketentuan MK, yakni 15 saksi fakta dan 2 saksi ahli. ”Saksi berasal dari berbagai unsur, baik masyarakat maupun penyelenggara pemilu,” katanya.

Ketua tim hukum pihak terkait, yakni capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, saksinya akan menjawab atau memberikan keterangan untuk membantah kesaksian dari pihak pemohon. (REK)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2019 di halaman 1 dengan judul “Masalah DPT Muncul Lagi di MK”. https://kompas.id/baca/utama/2019/06/20/masalah-dpt-muncul-lagi-di-mk/