August 8, 2024

Evaluasi Sistem Elektoral Dibutuhkan

Pemilu 2019 telah berakhir dengan sejumlah catatan penting. Maraknya politik uang, persaingan ketat antarcalon anggota legislatif di internal partai, polarisasi masyarakat, serta penggunaan isu sensitif terkait dengan identitas suku, ras, agama, dan antargolongan dalam kampanye memerlukan kajian lebih jauh untuk mencegah hal itu terulang dalam pemilu selanjutnya.

Tema-tema itu menjadi topik bahasan oleh para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi, lembaga riset, dan organisasi non-pemerintahan dalam konferensi atau seminar terbatas yang berlangsung dua hari di kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, 25-26 Juni 2019. Konferensi ini diselenggarakan CSIS bekerja sama dengan Australian National University (ANU).

Deputi Direktur Eksekutif CSIS Medelina Hendytio, dalam pembukaan konferensi, mengatakan, pemilu kali ini merupakan salah satu pemilu paling kompleks yang dialami oleh Indonesia. Berita bohong (hoaks) dan informasi palsu menjadi fenomena yang perlu diwaspadai, berikut dengan menguatnya politik berbasis SARA yang rupanya tetap menjadi sarana atau alat untuk memobilisasi pemilih.

”Bahkan, penggunaan isu SARA dalam pemilu mencapai level baru di dalam perpolitikan di Indonesia. Terkait dengan itu, kita semua menyaksikan terjadinya kerusuhan terburuk sejak 1998 telah terjadi di sejumlah wilayah jalanan di Jakarta, yang menolak penetapan hasil Pemilu 2019 oleh KPU, bulan lalu,” kata Medelina, Selasa (25/6/2019), di Jakarta.

Rangkaian peristiwa itu membuat sejumlah pihak mempertanyakan keadaan demokrasi di Indonesia, mengalami kemunduran ataukah stagnasi. Ataukah, hal itu justru menunjukkan satu bentuk demokrasi yang unik atau khas Indonesia.
Dalam pemilu legislatif, sejumlah persoalan kembali terulang. Contohnya, penggunaan strategi pembelian suara (vote buying).

Medelina mengatakan, karena Indonesia mengadopsi sistem pemilu proporsional terbuka, hal itu diyakini turut berkontribusi pada sistem politik yang makin personal. Pada tataran tertentu, sistem itu membuat politik menjadi berbiaya tinggi.

Salah satu pemateri, Edward Aspinall, profesor riset ANU, mengatakan, maraknya pembelian suara ialah konsekuensi yang tidak diinginkan dari persaingan ketat caleg dalam satu partai. Untuk membedakan satu caleg dengan caleg lainnya, mereka tidak bisa lagi menggunakan platform parpol atau ideologi parpol. ”Karena itulah, mereka menggunakan vote buying untuk meraih suara,” katanya.

Untuk mengatasi hal ini, menurut Edward, Indonesia harus mengkaji benar-benar kekurangan dan kekuatan setiap sistem pemilu. ”Dalam sistem proporsional terbuka, misalnya, ada akuntabilitas yang baik karena koneksi yang langsung antara kandidat dan pemilih.

Sebaliknya, akuntabilitas itu tidak ditemui dalam sistem pemilu yang tertutup,” kata Edward, yang mengusulkan sistem pemilu campuran sebagai alternatif sistem pemilu di Indonesia. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 26 Juni 2019 di halaman 4 dengan judul “Evaluasi Sistem Elektoral Dibutuhkan “. https://kompas.id/baca/utama/2019/06/26/evaluasi-sistem-elektoral-dibutuhkan/