Secara teoritik, pilkada merupakan bagian dari kajian pemilihan umum (electoral field) yang menjadi salah satu penampakan penting presensi sebuah demokrasi di tataran  lokal. Layaknya pemahaman dan logika dari sebuah pemilihan umum, maka pilkada juga memiliki dua sisi fungsional utama yang harus saling mengisi, baik dalam tataran idealitas, legal-konstitusionalitas, maupun realitas.
Pertama, pilkada akan menjadi salah satu ajang utama bagi rakyat pemilih untuk menempatkan pilihan terbaiknya pada kursi kepemimpinan daerah (jabatan publik) yang pada giliranya diharapkan akan menjadi wakil dari kepentingan pemilih dalam setiap kebijakan-kebijakan daerah di masa depan, representasi dalam perspektif eksekutif tentunya.
Kedua, pilkada juga akan menjadi ajang untuk “membuang” pilihan-pilihan pemilih sebelumnya yang ternyata tidak fungsional sebagaimana yang diharapkan, bahkan mungkin membelot dari janji-janji semula serta mengkhianati amanat yang pernah diberikan pemilih. Dengan kata lain, dalam bahasa Prof. Pippa Noris, pilkada harus bisa menjadi ajang “to kick the rascals out” alias untuk menendang para bajingan politik keluar dari arena pengambil kebijakan publik.
Di sini jelas terlihat bahwa ada dua logika fungsional dari sebuah pemilihan, yakni “penempatan†dan “pembongkaran†yang sejatinya harus berjalan seiring tapi tidak terpisah. Dan dalam konteks pilkada calon tunggal, kedua sisi fungsional ini dikemas dalam satu produk dan rasanya agak susah diterima karena yang paling dirugikan adalah pemilih, bukan sang calon. Jika dipilih, maka dapat hasil yang sama. Dan jika tidak dipilih, maka situasinya juga tak jauh berbeda, karena sisi “penempatannya†tidak ada, berganti dengan sisi “pembongkaranâ€.
Selain itu, ada logika kompetisi yang sangat kental terlahir dari dua sisi fungsional tadi. Ada arena pertarungan yang dikemas sebebas-bebasnya, sesuai ketentuan ajaran hak-hak asasi manusia atau ajaran “free will” misalnya, ditambah dengan ajaran “fair play” dan lain-lain, yang menjadi roh filosofis dan teoritis dari  tatanan demokrasi, sehingga melahirkan “ground battle” yang dianggap layak secara etika politik, secara legal-konstitusional dan secara moral.
Di negara-negara di mana sistem single non transfferable vote (SNTV) atau sistem distrik diberlakukan, kemunculan dua kubu dalam persaingan final sudah menjadi kebiasaan yang terinstitusionalisasi dengan sangat mapan, baik secara kultural, politik, maupun secara legal konstitusional. Sehingga pada sistem ini, kompetesi level pertama kerap kali berlangsung di arena tanding yang secara teoritik disebut dengan istilah intra party democracy atau kerap dikenal dengan sebutan konvensi internal partai.
Jadi kompetisi tidak serta merta menancap di lapangan kompetisi utama (main battle), tapi juga berlangsung secara sengit di lapangan masing-masing partai, untuk meyakinkan pemilih bahwa tokoh yang dikirim ke lapangan pertandingan utama adalah tokoh yang benar-benar legitimate secara politik dan layak dianggap mewakili partai beserta pendukung-pendukungnya.
Sementara itu, dinegara-negara yang menyelengarakan pemilihan umum dengan sistem single transferable vote (SNV) atau sistem proporsional dengan segala varianya, kemunculan kandidat di arena pertandingan sudah terbiasa dalam penampakan yang super jamak, lebih dari dua, bahkan bisa sebanyak kekuatan politik partai yang eksis, misalnya. Dan anehnya, pada pilkada serentak kali ini, anomaly calon tunggal itu muncul ditengah-tengah jamaknya kekuatan politik yang ada.
Selain itu, secara faktual pun bisa dibuktikan bahwa competitiveness level di dalam partai-partai pun boleh dibilang  sangat rendah. Meski dalam beberapa kasus ada konvensi partai, tapi umumnya tingkat dan kualitas “intra party democracy” boleh dibilang rendah. Hal ini terjadi akibat tingginya kadar  oligarki partai politik, rendahnya kinerja partai politik dalam hal rekruitmen politik dan kaderisasi politik.
Itu memandulkan daya regeneratif partai politik dalam melahirkan calon-calon pemimpin pengganti, atau karena  terpeliharanya kepentingan ekonomi para investor politik yang sangat dominan di tangan tokoh-tokoh yang itu-itu saja, dan terakhir karena putusan MK yang mengatur pencalonan anggota legislatif di dalam pilkada. Akibatnya, banyak politisi yang kadung duduk di legislatif justru “ciut nyali†untuk meneruskan pencalonan karena takut kehilangan posisi yang sudah dengan susah payah diraih pada pileg lalu.
Nah dalam cara pandang ini, sejatinya legitimasi konstitusional atas calon tunggal dalam pilkada serentak akhir tahun ini terasa sangat dipaksakan, walaupun secara teknis putusan tersebut bersifat solutif alias memberi jalan di saat kebuntuan melanda. Mengemas proses seleksi elektoral kepala daerah layaknya sebuah referendum banyak mengandung kesalahan logis yang akan mendegradasi tujuan akhir dari sebuah pesta demokrasi.
Pilihan tunggal adalah pilihan tanpa pilihan, memilih di antara ketiadaan opsi alternatif. Artinya, pemilihan bukan sebagai ajang untuk mencoblos opsi pasangan calon A-B atau pasangan B-C, dst, tapi opsi setuju atau tidak setuju. Maka dalam perspektif kompetisi demokratik, ini tentu dua hal yang berbeda, bahkan sangat berbeda.
Dan saya yakin hampir seratus persen bahwa sang calon tunggal akan melenggang kangkung ke atas kursi kepemimpinan daerah karena ada pertarungan yang tidak berimbang alias ada kompetisi antara politisi dan rakyat yang mana hasil akhirnya berkemunginan akan sangat bersifat zero sume game. Sebagai contoh teknis sebut saja misalnya soal bobot kekuasaan dan resources antara pendukung dan bukan pendukung (antara yang setuju dan yang menolak). Sudah bisa dipastikan akan terdapat tim pemenangan yang solid untuk si calon tunggal beserta financing power yang sudah tak diragukan lagi keberlimpahanya.
Kemudian pertanyaan sebaliknya adalah siapa yang akan berkampanye dan merebut hati pemilih atas opsi “tidak setuju? Dari mana asal anggarannya? Relatif seimbangkah tingkat keterorganisasianya? Apakah lawannya civil Society local? Mahasiswa daerah? Masyarakat Adat? Jika iya, bagaimana ini bisa dianggap sebagai sebuah kompetisi jika umpamanya sebuah klub ternyata bertanding dengan pengawas, penonton, atau fans dan haters-nya sendiri?
Masalah calon tunggal ini tentu tidak saja menjadi cacat politik para penggiat parpol, tapi juga menjadi bukti dangkalnya proses pendalaman demokrasi yang konon sudah berlangsung sejak digulirkanya reformasi 17 tahun lalu. Gagalnya institusionalisasi demokrasi memunculkan pendangkalan bentuk-bentuk teknis dari demokrasi, sehingga pemaknaan lapangan yang muncul lebih cendrung bersifat reaktif dan hanya berlandaskan pada kebutuhan penyelesaian masalah secepatnya, bukan berlandaskan idealitas demokrasi dan kebutuhan teknis penampakan kedaulatan rakyat secara utuh di kemudian hari.
Di satu sisi, apa yang telah diputuskan MK terkait solusi kongkret dan cepat atas ancaman penundaan pilkada serendak akibat munculnya calon tunggal di beberapa daerah, bagaimanapun, adalah sebuah putusan yang cukup berani dan cukup responsif untuk menjawab kekhawatiran sesaat. Tapi sebaiknya ke depan tidak dijadikan instrument konstitusional karena jelas-jelas akan merugikan rakyat pemilih.
Solusi sejenak ini akan  memberi peluang besar terbentuknya kekuatan tunggal yang bertensi “status quo” tingkat tinggi lima tahun mendatang. Selain itu, keputusan ini juga akan menjadi solusi konstitusional yang justru “memberi ampun” kepada begitu banyak partai politik yang gagal melahirkan “democratic battle zone” di daerah. Ditakutkan, lima tahun dari sekarang, semua penguasa baru daerah, dengan segala resource dan power yang mereka kantongi, akan menyediakan lahan untuk lahirnya calon tunggal kembali, agar status quo bisa dipertahankan. []
RONNY P. SASMITA
Analis Ekonomi Politik Financeroll Indonesia