Jika demokrasi diartikan dari, oleh dan untuk rakyat, maka wujud nyata demokrasi itu adalah pemilu, dan pemilu merupakan salah satu cara terbaik bagi rakyat dalam memilih wakilnya untuk kemudian memimpin menjalankan negara dalam lima tahunan. Pemilu serentak legendaris yang diselenggarakan belum lama ini telah dianggap selesai dengan keluarnya keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon serta penetapan anggota DPR, DPD, maupun DPRD daerah terpilih Pemilu 2019. Mereka telah dilantik, dan Presiden dan Wakil Presiden dilantik pada 20 Oktober 2019.
Ini penanda, tahapan pemilu berakhir sekaligus awal orang-orang tepilih bekerja tunaikan hajad demokrasi. Partisipasi rakyat yang sempat meningkat, itu perlu dirawat dan ditingkatkan dalam upaya mengawal perjalanan penyelenggaraan Negara kedepan. Harapannya, ini menjadi tolak ukur kualitas demokrasi.
Gelombang partisipasi masyarakat yang meningkat pada Pemilu 2019 menyertai gugatan hasil yang tak sedikit. Namun, setelah putusan MK dikeluarkan semua pihak menerima dengan lapang dada. Bisa bandingkan dengan sengketa hasil Pemilu 2014 dan Pemilu 2009 dengan 69 perkara eksekutif diajukan, 615 kasus yang obyeknya PHPU yang mempengaruhi perolehan kursi baik DPR maupun DPD. Artinya pemilu kita masih berjalan konstitusional, bahkan dipuji para pengamat demokrasi di berbagai Negara.
Pemilu 2019 menyentak pengamat demokrasi dunia karena kali ini dilakukan serentak dibawah rezim UU No. 7 Tahun 2017 yang memilih langsung wakilnya. Di samping ekskalasinya cukup tinggi dibanding pemilu sebelumnya, juga memakan korban jiwa yang cukup banyak, 620 orang penyelenggara, dan 32 orang aparat keamanan TNI dan Polri.
Muncul pertanyaan, apakah demokrasi model seperti ini yang kita harapkan? Tentu tidak sama sekali. Jadi, rupanya masih butuh waktu lagi untuk mendongkrak kualitasnya sebagai Negara demokratis.
Menyangkut peningkatan kualitas ke arah demokrasi substantif, beberapa catatan menarik dari jejak pemilu serentak tahun 2019:
Pertama, Kebebasan pemilih, kebebasan adalah hak asasi setiap warga negara, namun yang berkembang bukan lagi kebebasan yang diharapkan demokrasi. Harusnya lahir dari nadir kesadaran untuk diperjuangkan sebagai hak publik tanpa menggerus nilai yang hidup dalam masyarakat, nilai hukum dan nilai demokrasi. Dalam konstitusi, artikulasi dari asas pemilu, tentu orientasinya pada cara pemilih menyampaikan hak suaranya, yaitu secara langsung, berlaku umum bagi semua warga Negara, dilakukan secara bebas tanpa belenggu dan paksa, dan secara rahasia untuk terjaganya kondisi yang aman dan lancar. Sehingga asas ini terus dijaga denyutnya sejak dari ide, sistem dan regulasinya, kelembagaan dan penyelenggaranya, penyelenggaraan dan prosesnya, hingga pengawasan dan hasilnya. Tentu dalam satu tarikan nafas demokrasi yang berkeadilan, berintegritas dan berkualitas. Untuk mengukur itu, membebaskan pikiran paling tidak ada 3 hal penting, yaitu kemampuan mempertimbangkan situasi secara sadar, berpikir rasional, dan kontrol diri.
Kedua, Pembentukan hukum pemilu, dalam upaya penegakan hukum menurut M. Friedman ada beberapa komponen yang diperhatikan yaitu substansi hukum, struktur hukum, kultur hukum, Soerjono Soekanto menambahkan sarana prasarana dan anggaran. UU No. 7 Tahun 2017 jika dibanding aturan sebelumnya tentu lebih baik, namun kenyataannya tak berdaya mengantar pemilu ke arah yang berkualitas. Beberapa persoalan mengemuka seperti tarik ulur pengesahan hukum pemilu. Sehingga ruang antara penyebarluasan dengan tahapan pemilu beririsan, berdampak pada penyelenggara kelabakan dalam pembuatan aturan pelaksananya. Belum lagi aturan pemilu tersebut tidak kompatibel dalam satu sistem pemilu demokratis dengan aturan parpol.
Perpres No. 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah pengundangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan terarah, terpadu, terencana, efektif dan efisien serta akuntabel. Penyebarluasan diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan peraturan perundan-undangan tersebut. Penyelenggara di tingkat bawah dilematis, karena begitu banyak masyarakat tidak tahu dan melabrak aturan lantaran bingung dan tidak tahu isi aturan baru.
Tahap penyebarluasan juga merupakan konsekuensi dari asas hukum “presumptio iures de iure” bahwa setiap orang dianggap tahu hukum atau peraturan perundan-undangan, tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal di pedalaman. Atau “ignorantia jurist non excusat”, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Sesorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hokum itu. Prinsip hukum juga mengajarkan bahwa ketidaktahuan atas suatu hukum tidak bisa menjadi alasan pembelaan terhadap pelanggaran.
Jadi sesungguhnya kritikan keras bagi penyelenggara negara bahwa syarat dari asas tersebut menyampaikan adanya aturan hukum adalah kewajiban. Kalau warga yang tak melek pemilu lantas diseret untuk diadili padahal ia benar-benar tak tahu, lantaran tidak cukup waktu, maka penyelenggara negara mestinya ikut merasa bersalah. Jangan sampai penyelenggara negara menjebak atau membiarkan rakyatnya dengan sengaja dan legal.
Penegakan hukum pemilu juga harus humanis dan rasional, peran moral individu dikedepankan, karenanya manusia butuh waktu cukup untuk mengetahui aturan baru, karena ketaatan dalam negara demokrasi harus dasarnya pengetahuan bukan tekanan dan paksaan, baru akan tiba pada kesadaran hukum. Proses ini tidak ditemukan hampir disetiap pemilu, selalu terburu-buru, berkejaran diakhir waktu. Ini kebiasaan yang perlu dirubah.
Ketiga, Penegakan hukum pemilu, Bawaslu sebagai penegak hukum pemilu melalui UU No. 7 Tahun 2017 ditambah kewenangannya yaitu dapat mendiskualifikasi langsung paslon melalui putusannya jika terbukti TSM, Bawaslu Kabupaten menjadi permanen, termasuk standarisasi gaji/honorarium. Ancaman pidana pemilu lebih berat, serta persoalan teknis lainnya. Teori kadang tidak sama dengan praktek, kewenangan TSM itu problematik, bagai singa ompong, Bawaslu sulit menerapkannya, membuktikan TSM sangat berat dilakukan, apalagi Bawaslu itu pasif, tidak ada kewenangan upaya paksa, hanya administrasi secara layak dan patut. Jika yang bersangkutan tidak dapat hadir memberikan keterangan, Bawaslu hanya melanjutkan proses yang ada. Dan masih ada lagi sejumal kelemahan lainnya.
Keempat, Penyelenggara profesional, penyelenggara di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kecamatan cukup baik diperhatikan melalui aturan, anggaran, pembinaan SDM, fasilitas dan lainnya, sementara di tingkat kecamatan, desa/lurah dan TPS yang langsung berjibaku dengan ragam persoalan luput diperhatikan, pada akhirnya tragedi demokrasi meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Dan ini sesungguhnya bukan cita-cita Negara hukum dan demokrasi yang diimpikan. []
WARDIN
Pemerhati Hukum dan Demokrasi