August 8, 2024

Tanpa Oposisi, Indonesia Akan Menjadi Negara ”Kekeluargaan”

Penambahan anggota koalisi pemerintah yang akan terjadi dalam pemerintahan mendatang berpotensi membawa Indonesia masuk dalam konsep negara integralistik atau kekeluargaan. Jika benar ini yang terjadi, ancaman Indonesia menjadi negara otoriter akan menguat.

Hal itu mengemuka dalam diskusi publik bertema ”Mencermati Kabinet Jokowi Jilid II”, di Jakarta, Selasa (22/10/2019). Pembicara dalam diskusi itu adalah Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, dan Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati.

”Jika semua diajak masuk (koalisi) atau katakanlah oposisi tinggal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ini bisa membawa apa yang dicita-citakan Profesor Soepomo pada saat sidang BPUPKI menjelang 17 Agustus 1945, yaitu model negara integralistik atau kekeluargaan, menjadi terwujud. Ini sungguh mengancam demokrasi (karena akan memunculkan kekuasaan besar pada negara),” kata Syamsuddin.

Dalam sidang Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 31 Mei 1945, Soepomo menyampaikan gagasan model negara integralistik dalam pidatonya.

Soepomo mengusung konsep integralistik asli Indonesia, terutama menyangkut hubungan ideal pemimpin dan rakyatnya. Namun, tidak (atau belum) mempersoalkan secara konseptual di mana kekuasaan berada atau diletakkan, bagaimana bekerjanya, dan hubungannya dengan kepentingan lain.

Konsep negara yang integralistik yang diusulkan Soepomo telah runtuh. Sebab, jika konsep integralistik yang dipakai, akan berakibat serius terhadap asas kedaulatan rakyat dan sistem demokrasi berupa totaliterisme dan otoritarianisme sebagai bentuk luarnya (Kompas, 14 Agustus 1994).

Menurut Syamsuddin, bahaya dari konsep negara kekeluargaan adalah ketiadaan oposisi. Hal itu berpotensi menimbulkan penyimpangan oleh kepala keluarga (presiden) dan tidak ada yang mengingatkan. Dengan begitu, dikhawatirkan Indonesia akan menganut sistem otoriter, bahkan totaliter.

”Yang bikin saya kecewa, pendekatannya (Presiden Joko Widodo) ini kompromistis, mengakomodasi semua pihak, termasuk lawan politik. Padahal, sebagai presiden tidak ada yang mengikat dia. Secara personal, saya makin menyadari nyali politiknya (Jokowi) kecil,” kata Syamsuddin.

Yang bikin saya kecewa, pendekatannya (Presiden Joko Widodo) ini kompromistis, mengakomodasi semua pihak termasuk lawan politik.

Adnan menyoroti, apabila tidak ada yang mengawasi dan mengontrol kewenangan pemerintah, bukan tidak mungkin akan ada upaya memonopoli sumber daya publik. Pada akhirnya, korupsi akan semakin merebak.

Menurut dia, negara yang dikelola dengan konsep kekeluargaan akan menimbulkan ancaman korupsi yang semakin besar. Terlebih, dalam konteks saat ini, penyatuan pun datang dari berbagai kepentingan partai politik yang berbeda.

”Konsep negara kekeluargaan itu akhirnya membuat mekanisme pengawasan tidak bisa bekerja karena yang dikedepankan adalah stabilitas, bukan penegakan hukum. Dalam keadaan ini, penting bagi masyarakat sipil untuk mendesain satu upaya pemberantasan korupsi tanpa Jokowi dan tanpa KPK (karena telah dilemahkan),” kata Adnan.

Enny juga mengingatkan agar Jokowi dapat benar-benar memilih para menterinya bukan sekadar berdasarkan kompetensi, melainkan kemampuan mengoordinasi. Khususnya kemampuan ”menjinakkan” elite-elite partai politik yang selama ini menghendaki kekuasaan.

”Ini penting untuk melawan antara eksekutif dan legislatif. Yang harus dimiliki para menteri adalah bagaimana kepiawaian mereka melakukan berbagai macam komunikasi,” kata Enny.

Peran oposisi

Syamsuddin menyoroti posisi Prabowo jika memang benar terpilih sebagai Menteri Pertahanan. Sebab, dalam Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan jika presiden dan wakil presiden (wapres) mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menggelar sidang untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon presiden dan wapres yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wapres meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

”Apakah Jokowi tidak menyadari ini? Saya enggak tahu, tetapi Menhan itu posisi yang sangat strategis. Sebab, hanya tiga kementerian itu yang disebut eksplisit di dalam konstitusi kita. Ini merisaukan,” katanya.

Oleh sebab itu, lanjut Syamsuddin, penting sekali bagi masyarakat untuk meningkatkan pengawasan dalam kondisi minimnya oposisi di pemerintahan. Akan lebih baik jika PKS tetap sebagai oposisi agar bisa menggalang dukungan publik untuk menolak suatu kebijakan yang dianggap tidak sesuai kepentingan umum.

Penting sekali bagi masyarakat untuk meningkatkan pengawasan dalam kondisi minimnya oposisi di pemerintahan.

Kemarin, Senin (21/10/2019), saat keluar dari Istana Kepresidenan, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyatakan, dirinya dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo diminta memperkuat kabinet. Edhy mengatakan, posisi Prabowo di kabinet adalah sebagai Menteri Pertahanan.

”Saya sudah sampaikan keputusan kami dari Partai Gerindra, apabila diminta, kami siap membantu. Hari ini resmi diminta dan kami sudah sanggupi untuk membantu,” tutur Prabowo. Ia menambahkan, dirinya diminta membantu Jokowi di bidang pertahanan.

Secara terpisah, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyampaikan posisinya dalam pemerintahan akan tetap sebagai oposisi. Menurut dia, setiap partai memiliki strategi dan proyeksi sendiri, tetapi masuknya Gerindra dalam koalisi dinilai akan mengancam kualitas demokrasi.

Berdasarkan hasil pemilihan umum 2019, PKS mendapatkan jatah 50 kursi dengan jumlah suara 11.493.663 suara atau 8,21 persen. Mardani mengatakan, ketika suara oposisi berada di bawah 100 suara itu tidak sehat.

”Jika itung-itungan matematis, ya, tidak percaya diri (sebagai satu-satunya oposisi), tetapi, kan, politik tidak matematis. Kami berharap tidak sendirian menjadi oposisi, tetapi saya mencatat belakangan ini ada satu hukum besar, yaitu hukum sentimen publik,” ujarnya.

Mardani pun menyatakan akan membuka komunikasi dan bersinergi dengan masyarakat, media, tak terkecuali mahasiswa dan pelajar. Harapannya, agar energi positif dapat tetap tersalur dalam koridor konstitusional.

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/10/22/tanpa-oposisi-indonesia-akan-menjadi-negara-kekeluargaan/