October 15, 2024

Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tidak Menyelesaikan Masalah

Mekanisme pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinilai melompat dari persoalan yang sesungguhnya. Pembatasan dana kampanye diiringi pengawasan dan penegakan hukum yang ketat dapat menjadi salah satu solusi untuk menangani politik uang.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh DPRD adalah pemilihan yang juga terdapat banyak masalah. Salah satu persoalan itu adalah biaya politik yang tinggi.

“Persoalan uang di sana (Pilkada oleh DPRD) juga besar, untuk ‘membeli’ suara satu kursi anggota DPRD tentu tidak murah. Apalagi harus ada laporan pertanggungjawaban kerja setiap tahun yang juga akan menjadi arena politik permainan uang,” ujar Komisioner Komisi Pemilihan Umum 2012-2017, Hadar Nafis Gumay dalam diskusi media bertajuk Quo Vadis Pilkada Langsung yang digelar Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), di Jakarta, Minggu (24/11/2019).

Hadir pula sebagai pembicara, yakni anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Zulfikar Arse Sadikin; Peneliti Formappi, Lucius Karus; Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan versi Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat; Direktur Eksekutif Nation and Character Building Institute, Juliaman Saragih; serta Direktur Indopolling, Wempy Hadir sebagai moderator.

Perubahan mekanisme Pilkada diusulkan dengan mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Usulan yang awalnya disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjadi salah satu yang diusulkan Komisi II ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Kalau kepala daerah dipilih oleh DPRD, kata Hadar, ini jelas akan berbahaya. Sebab, pertanggungjawaban kepala daerah akan lebih kepada DPRD dibandingkan rakyat. Dengan begitu, konflik kepentingan antarpartai politik pun akan berpeluang terjadi.

Humphrey Djemat pun menyampaikan demikian. Menurutnya, sistem Pilkada oleh DPRD sama saja dengan menggunakan “barang busuk” yang sebelumnya pernah dirasakan. Untuk itu, pembenahan di partai politik (parpol) seharusnya menjadi yang utama.

“Persoalan yang krusial itu di parpol karena memang semua muncul dari parpol, mulai dari soal mahar hingga transaksional yang sudah menjadi rahasia umum. Sebaiknya memang yang dibenahi itu terutama kekurangan di penegakan hukum (terhadap calon kepala daerah yang bermain ‘uang’),” katanya.

Senada dengan itu, Juliaman Saragih mengatakan, menjadikan Pilkada oleh DPRD sama saja mempertaruhkan kedaulatan rakyat pada kekuasaan elite politik. Padahal, agenda utama menuju negara kebangsaan yang berkedaulatan dan berkarakter adalah melalui Pilkada langsung. “Untuk itu, yang seharusnya dilakukan adalah reformasi parpol. Perlu ada pembenahan dari sistem rekrutmen kader bahwa uang bukan solusi,” ujar Juliaman.

Pembatasan dana kampanye

Dalam membicarakan persoalan biaya politik tinggi, dugaan Hadar, banyak calon kepala daerah yang didukung parpol ingin cara gampang sehingga menggunakan uang besar untuk memperlancar dan membeli suara pemilih. Terlebih, pembatasan dana kampanye belum diatur secara ketat.

“Pembatasan dana kampanye yang diatur sendiri oleh peserta itu perlu batas yang jelas, didampingi oleh pengawasan dan penegakan hukumnya. Dengan begitu, pengeluaran calon hanya memang yang betul dibutuhkan bukan untuk membeli suara, atau sumbangan dalam rangka mendapatkan simpati dari daerah setempat,” ujar Hadar.

Aturan ketat, misalnya harus ada pelarangan bagi seorang calon kepala daerah yang membangun jalan, sarana olahraga, dan tempat ibadah di daerah pemilihannya. Jika terbukti melanggar, sanksi berupa diskualifikasi seharusnya dapat membuat jera.

Selain itu, biaya dana kampanye di media massa pun semestinya bisa berasal dari negara untuk membatasi dan mencegah adanya konflik kepentingan. Sementara untuk biaya saksi yang juga menelan biaya besar, dapat didorong dengan penggunaan teknologi.

“Penyelenggara kita bisa dorong untuk menggunakan TI guna memastikan perhitungan suara lebih terjamin. Selain itu juga lebih cepat diumumkan secara akurat. Ide-ide seperti itu yang harus dibenahi bukan pada sistem pemilihannya,” tutur Hadar.

Dukungan masyarakat

Zulfikar Arse Sadikin menyatakan sebagian kecil bangsa kita memiliki penyakit, yaitu ketika memilih sesuatu kemudian ada maslah maka ingin kembali ke sistem yang lama. Mekanisme Pilkada langsung seharusnya tetap dilakukan karena dengan rakyat berdaulat penuh.

“Pilkada langsung membuat pasangan calon tertuntut untuk bertanggung jawab kepada rakyat, untuk merespon terhadap apa yang menjadi kehendak rakyat, dan rakyat bisa ikut menentukan masa depan melalui pempimpin yang mereka pilih,” ucapnya.

Meski begitu, Lucius Karus tetap menekankan, masyarakat harus lebih cepat merespon segala persoalan, termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh DPRD. Sebab, hingga saat ini hanya ada satu partai politik yang secara jelas menyatakan posisi sebagai oposisi pemerintah, yaitu Partai Keadilan Sejahtera.

“Ada bahaya ketika koalisi pemerintah menguasai DPR. Ide gila bisa dengan mudah diterima dan diputuskan bahkan tanpa berkontak dengan publik untuk memutuskan sesuatu. Kalau publik tidak keras menyuarakan, ini akan menjadi jalan mudah bagi DPR,” ujarnya. (SHARON PATRICIA)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/11/24/pilkada-oleh-dewan-perwakilan-rakyat-daerah-tidak-menyelesaikan-masalah/