August 8, 2024

Tiga Ahli Sarankan Pemilu Dipisah

Tiga ahli hukum dan perbandingan politik yang hadir dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi terkait dengan keserentakan pemilu mengajukan bangunan argumentatif perlunya pemilu nasional dan pemilu lokal dipisah. Asas-asas pemilu yang diatur di dalam konstitusi dipandang akan lebih terpenuhi dengan pemisahan dua jenis pemilu itu.

Tiga ahli yang hadir dalam lanjutan persidangan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di MK, Senin (13/1/2020) kemarin di Jakarta, yakni pengajar hukum tata negara Universitas Andalas Khairul Fahmi, pemerhati Pemilu dan pendiri Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto, dan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti. Mereka hadir dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.

Fahmi dan Didik dihadirkan oleh pemohon, yakni Perludem yang diwakili oleh Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, untuk memberikan keterangan terkait uji materi Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1)  UU Pemilu, dan Pasal 3 Ayat (1), Pasal 201 Ayat (7), dan Pasal 201 Ayat (2). Pasal-pasal itu secara umum mengatur tentang keserentakan pemilu antara pemilu presiden, dan pemilu legislatif, baik di tingkat nasional maupun daerah, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Satu ahli lainnya, yakni Ramlan Surbakti, dihadirkan oleh MK.

“Para ahli HTN tidak keberatan dengan substansi putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menegaskan pemilu dilakukan serentak antara pemilu presiden dan pemilu legislatif. Penyelenggaraan pemilu serentak antara pilpres dan pileg itu dipandang sesuai dengan semangat penguatan sistem presidensial. Hanya saja, pandangan itu perlu sedikit digeser terkait dengan tafsir pelaksanaan pemilu serentak yang menyertakan juga pemilihan anggota DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten”

Prinsipnya, tambah Fahmi,  para ahli HTN tidak keberatan dengan substansi putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menegaskan pemilu dilakukan serentak antara pemilu presiden dan pemilu legislatif. Penyelenggaraan pemilu serentak antara pilpres dan pileg itu dipandang sesuai dengan semangat penguatan sistem presidensial. Hanya saja, pandangan itu perlu sedikit digeser terkait dengan tafsir pelaksanaan pemilu serentak yang menyertakan juga pemilihan anggota DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten.

“Keserentakan pilpres dan pileg tingkat nasional, termasuk DPD, seharusnya tetap dipertahankan. Karena itu akan berdampak pada sistem presidensial. Lagipula ada mekanisme check and balance antara presiden dan legislatif. Akan tetapi, keserentakan antara presiden, DPR, dengan DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten tidak berdampak pada penguatan sistem presidensial. Sebab, hubungan antara DPR dan DPRD bukan hubungan vertikal. Oleh karena itu, menyerentakkan pemilu nasional dengan pemilihan anggota DPRD menjadi tidak relevan,” kata Fahmi.

Menutup kontrol bagi pemilih

Ahli lainnya, Didik Supriyanto menilai, pemilu serentak nasional dan lokal akan menutup kesempatan kontrol bagi pemilih. Pemilih hanya memiliki satu kesempatan dalam lima tahun untuk sekaligus menentukan siapa yang akan duduk di jabatan publik, baik legislatif maupun eksekutif di tingkat lokal maupun nasional. Bila ada pemisahan pemilu lokal dan nasional, pemilih bisa memberikan “hukuman” kepada peserta pemilu yang mereka pilih di tingkat nasional bilamana mereka tidak melaksanakan janji-janjinya.

“Pemilih bisa memberikan kontrol dengan tidak lagi memilih peserta pemilu yang tidak melaksanakan janji-janjinya dalam pemilu lokal. Hal ini bisa mengatasi kelemahan sistem presidensial di mana eksekutif berpotensi menyalahgunakan kekuasaaan karena model jabatan yang fixed term (masa jabatan yang pasti),” kata Didik.

Adapun, Ramlan memberikan argumentasi pentingnya memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal karena dalam praktiknya penyelenggaraan pemilu serentak itu memberi beban berat bagi penyelenggara, dan karenanya asas-asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, itu sukar dilaksanakan dengan optimal. Selain itu, pemilu serentak lokal dan nasional akan membuat isu-isu daerah terpinggirkan, atau tidak mendapatkan perhatian yang layak dari peserta pemilu.

Ramlan mendasarkan argumentasinya pada Pasa 18 Ayat (5) UUD 1945. Pasal itu menyebutkan pemerintaherah menjalankan otonomi khusus seluas-luasnya, kecuali untuk urusan-urusan pemerintah yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Berdasarkan pasal itu, urusan pemerintah dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni urusan pemerintahan pusat, dan urusan pemerintahan daerah.

“Kalau ada dua kategori urusan pemerintah, maka pemilu untuk penyelenggara urusan pemerintahan pusat atau nasional harus terpisah dari pemilu untuk memilih penyelenggara urusan pemerintahan daerah”

“Kalau ada dua kategori urusan pemerintah, maka pemilu untuk penyelenggara urusan pemerintahan pusat atau nasional harus terpisah dari pemilu untuk memilih penyelenggara urusan pemerintahan daerah,” katanya. Ramlan mengusulkan agar ada jeda waktu pemilihan antara pemilu nasional dan pemilu lokal selama 30 bulan.

Anwar mengatakan, pendapat para ahli akan dipertimbangkan oleh mahkamah. Karena tidak ada yang akan mengajukan ahli atau saksi lagi, maka MK memberi waktu hingga 21 Januari 2020 kepada pemohon untuk menyerahkan simpulan kepada MK. Selanjutnya, MK akan menjadwalkan pembacaan putusan.

Lebih jauh, Titi mengatakan, pihaknya optimistis MK akan mempertimbangkan permasalahan dan dampak implementasi dari pemilu serentak, khususnya pada aspek sistem politik, sistem pemerintahan, hukum, dan teknis kepemiluan. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID. https://kompas.id/baca/polhuk/2020/01/14/ahli-sarankan-pisahkan-pemilu-kepada-mk/