August 8, 2024

Menakar Konstitusionalitas Keserentakan Pemilu

Konstitusionalitas keserentakan pemilu kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan keserentakan pemilu ini tidak dapat dilepaskan dari desain pemilu yang diatur di dalam konstitusi. Mahkamah dalam beberapa kali putusan juga telah memberikan tafsirnya atas konstitusi terkait dengan keserentakan pemilu.

Uji materi kali ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh direktur eksekutifnya Titi Anggraini. Pemohon mengajukan uji materi terhadap konstitusionalitas Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1)  UU Pemilu, dan Pasal 3 Ayat (1), Pasal 201 Ayat (7), dan Pasal 201 Ayat (2) UU No 10/2016 tentang Pilkada.

Pemohon menyoal tentang pemilu serentak lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) yang dinilai perlu ditafsirkan kembali oleh MK konstiusionalitasnya. Pelaksanaan pemilu lima kotak secara serentak ternyata belu mampu memenuhi asas-asas pemilu yang ditur di dalam konstitusi, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Di dalam praktiknya, penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak juga menimbulkan sejumlah kesulitan, antara lain banyaknya surat suara tidak sah, lamanya pemberian suara di dalam bilik suara, kebingungan pemilih dalam menyalurkan suaranya lantaran banyanya nama-nama calon anggota legislatif yang dipasang bersamaan dalam surat suara, tenggelamnya isu-isu daerah dalam pergulatan isu nasional yang gaungnya lebih besar, hingga keterlambatan logistik, dan kelelahan serta kematian ratusan petugas.

Pemohon merujuk sejumlah kesulitan praktikal yang ditemui penyelenggara dalam pemilu serentak sebagai contoh dari kurang efektifnya pemilu serentak lima kotak. Waktu pencoblosan di dalam bilik suara yang lebih lama, serta tingginya suara tidak sah menjadikan pemilu serentak itu justru jauh dari tujuan pemilu. Banyaknya suara tidak sah mengindikasikan suara rakyat tidak optimal tersalurkan melalui pemilu.

Dalam hasil rekapitulasi nasional yang ditetapkan KPU, 21 Mei 2019, jumlah suara sah dan tidak sah dalam Pemilu Presiden (pilpres) 2019 ialah 158.012.506 suara. Jumlah suara tidak sah mencapai 3.754.905 suara, atau 2,37 persen dari total suara dah dan tidak sah. Jumlah suara tidak sah itu bahkan lebih besar untuk Pemilu Legislatif (pileg) 2019, yakni 17.503.953 suara, dari total 157.475213 suara sah dan tidak sah.

Kuasa hukum pemohon, Fadli Ramadhanil meyakini MK akan memutus dengan bijaksana terkait dengan permohonan tersebut. Empat orang ahli bahkan dihadirkan oleh MK untuk memberikan pandangan dan argumentasi tambahan yang diperlukan mahkamah dalam memutus perkara ini.

Empat ahli yang dimintai keterangan oleh MK ialah pengajar ilmu politik di Universitas Paramadina Djayadi Hanan, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Ramlan surbakti, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso. Adapun pemohon mengajukan dua ahli, yakni pengajar hukum tata negara Khairul Fahmi, dan pendiri Perludem Didik Supriyanto.

“Dalam rangkaian persidangan, kami mengapresiasi MK, karena MK dengan sangat elaboratif dan terbuka memberikan keleluasaan waktu bagi pemohon menyampaikan gagasan, dan mengungkap banyak hal terkait dengan sistem pemilu serentak,” kata Fadli.

Para ahli dalam keterangannya cenderung mendukung ide pemisahan pemilu serentak nasional (presiden, DPR, dan DPD), dan pemilu serentak lokal (pilkada dan DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota). Hal itu, menurut Fadli, sejalan dengan argumentasi yang dikemukakan oleh pemohon yang melihat keserentakan pemilu nasional sesuai dengan tujuan perkuatan sistem presidensial, sebab ada keterkaitan antara presiden sebagai pemegang tampuk pemerintahan dengan legislatif sebagai lembaga pengawas, sehingga terjadi proses check and balances.

Namun, bila pemilihan pilpres dan pileg nasional itu dicampurkan dengan pileg lokal (DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota), tidak ditemui relevansinya dalam penguatan sistem presidensial, lantaran DPRD tidak secara langsung memiliki kaitan tugas dengan presiden di dalam wilayah pemerintahan pusat. DPRD justru memiliki kaitan tugas dengan kepala daerah di dalam wilayah pemerintahan daerah.

Selain itu, para ahli juga melihat tenggelamnya isu-isu daerah yang diudung oleh caleg DPRD bila pemilu lima kotak diserentakkan. Isu nasional lebih mendapatkan perhatian dari media, publik, dan pemilih, karena dinilai lebih menarik. Di satu sisi, isu-isu daerah yang terkait langsung dengan kehidupan warga pemilih di lapangan tidak terdengar gaungnya, tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilihan presiden.

Sikap Mahkamah

Hakim MK dalam beberapa kali sidang juga mempertanyakan argumentasi pemohon. Hakim Enny Nurbaningsih, misalnya, mneyebut desain pemilu merupakan problem kompleks. “Problematika teknis ini muncul, mulai dari KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang tidak berkualitas, atau petugas yang itu-itu saja, kondisi fisik yang tidak memungkinkan, serta pola sistem penentuan caleg dengan sistem proporsional terbuka. Jadi ini aspek teknis yang melekat pada parpol, dan sistem kepemiluan kita. Semuanya ini harus dipikir sedemikian rupa, sebab ini bersinggungan dengan banyak putusan MK,” katanya.

Menarik pula untuk mengkaji beberapa putusan MK yang “berbeda” soal tafsir keserentakan pemilu. Sebelum memutus soal pemilu serentak lima kotak di dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK menyatakan pemilu yang terpisah antara pilpres dan pileg juga konstitusional.

Pemilu serentak antara lain disinggung dalam Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008. Permohonan ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, dan Partai Republika Nusantara. Mereka memohon pengujian Pasal 9 UU Pilpres terkait ambang batas presiden, dan Pasal 3 Ayat (5) terkait pelaksanan pilpres yang dilaksanakan setelah pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD).

Dalam putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, MK menolak permohonan pemohon. MK antara lain menilai penyelenggaraan pileg yang tidak bersamaan pilpres, adalah bentuk dari konvensi ketatanegaraan. Penyelenggaraan pileg yang terpisah atau lebih dulu dari pilpres ketika itu dimaknai tidak bertentangan dengan konstitusi.

Namun, tiga hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar. Ketiganya berpendapat MK seharusnya mengabulkan permohonan, karena bila konsisten mengikuti original intent dari penyusun atau pengubah konstitusi, Pasal 22 E secara eksplisit menerangkan penyelenggaraan pemilu serentak, yakni antara pemilu presiden, DPR, DPD, dan DPRD.

Dari pendapat tiga hakim itu, disinggung pula adanya pendapat yang berkembang di masyarakat untuk penyederhanaan pemilu. Usulan itu termasuk agar pemilu serentak dapat digelar di tingkat nasional yakni DPR, DPD dan dan Presiden serta Wakil Presiden. Sedangkan, pemilu serentak tingkat daerah untuk memilih calon anggota DPRD dan kepala daerah.

Perbedaan pendapat tiga hakim itu dengan enam hakim lainnya juga menunjukkan variasi penafsiran hakim terhadap konstitusi terkait dengan keserentakan pemilu.

Pada putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, pendapat MK “bergeser,” karena MK mengatakan pemilu yang konstitusional itu ialah pemilu serentak dengan pemilu lima kotak.

Titi mengatakan, perdebatan sejak lama mengenai makna keserentakan pemilu itu menunjukkan tafsir MK terhadap konstitusi dapat bergeser atau berubah. Faktor-faktor praktikal, dan tidak semata-mata normatif dalam melihat suatu pelaksanaan UU, pada dasarnya juga dilihat dan dipertimbangkan oleh MK. Dengan demikian, permohonannya agar MK memberikan tafsir pemisahan pemilu lokal dan pemilu nasional, bukan sesuatu yang tidak mungkin dikabulkan.

Apakah kali ini MK juga akan berubah pandangan setelah mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019? Publik kini menunggu putusan keserentakan pemilu di tangan MK. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2020/01/22/menakar-konstitusionalitas-keserentakan-pemilu/