August 8, 2024

Formula Koalisi Jadi Salah Satu Harapan

Formasi koalisi berpotensi menjadi solusi untuk memperkuat sistem presidensial di tengah sistem multipartai ekstrem dalam pemilu. Faktor nonsistemik yang disebut format koalisi itu menjadi penting untuk mencari keseimbangan dan penguatan pada sistem presidensial serta aspek penguatan pada pemerintahan. Sistem pemilu dinilai tidak bisa diharapkan untuk mewujudkan hal-hal tersebut.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochammad Nurhasim, mengatakan, stabilitas pemerintahan dan kekuatan politik parlemen ada pada presiden. Sistem pemilu dinilai tidak bisa diharapkan untuk mewujudkan penguatan sistem presidensial. Hal ini termasuk sejumlah modifikasi dalam sistem proporsional terbuka yang berhubungan dengan proses keserentakan, konversi suara partai jadi kursi, dan formula besaran daerah pemilihan.

”Jangan-jangan yang memperkuat sistem presidensial adalah formula koalisi,” ujar Nurhasim dalam diskusi peluncuran buku berjudul Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem ke Manajemen Pemilu yang diselenggarakan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Minggu (2/2/2020), di Jakarta.

Selain Nurhasim, hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini serta peneliti Perludem, Herok M Pratama dan Usep Hasan Sadikin. Menurut Nurhasim, faktor-faktor lain di luar sistem yang bagus dapat diperbanyak jumlahnya. Salah satu contohnya, koalisi partai politik pada Pemilu 2019 yang dibangun berdasarkan koalisi pencalonan, alih-alih koalisi pemerintahan. Walaupun ada dampak lain berupa kecenderungan adanya politik dagang sapi, formula-formula seperti format koalisi tersebut perlu didiskusikan.

Ia membandingkan dengan kondisi parlemen seusai Pemilu 2014. Ketika itu, pada awal-awal pemerintahan, Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Joko Widodo berhadapan dengan Koalisi Merah Putih di parlemen sehingga sempat memicu kegaduhan. Namun, belakangan kondisinya berbalik dan kegaduhan pun mereda.

Berkaitan dengan hal itu, Nurhasim tak setuju dengan model koalisi permanen. Sebab, jika koalisi dilakukan permanen setelah pemilu usai, dapat dibayangkan potensi dan dampak polarisasinya di tengah masyarakat.

Revisi UU

Titi mengatakan, pihaknya saat ini terus mendorong proses legislative review atau perubahan undang-undang pemilu. Hal ini dilakukan seiring dengan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, khususnya untuk menentukan desain keserentakan pemilihan antara pemilu lokal dan pemilu nasional.

Titi menjelaskan, saat ini koherensi antara desain sistem pemilu, kelembagaan pemilu, dan keadilan pemilu kacau balau. Terkait desain sistem pemilu, ada persoalan dalam penataan jadwal pilkada dan rekrutmen penyelenggara pemilihan yang bersifat permanen. Hal ini membuat ada sebagian waktu selama masa jabatan penyelenggara pemilu yang relatif tidak berisikan tahapan pemilihan.

Sementara, menurut Titi, desain kelembagaan pemilu meninggalkan desain sistem. Pada sisi lain, penegakan hukum berbeda-beda antara pemilu dan pilkada. Hal lain yang juga penting adalah proses pembentukan undang-undang yang inklusif, terbuka, partisipatoris, dan tidak mengeksklusifkan penyelenggara pemilu. Hal ini untuk menghindari adanya perbedaan antara hukum dalam teks dan praktik di lapangan. (INK)

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas. https://kompas.id/baca/polhuk/2020/02/03/formula-koalisi-jadi-salah-satu-harapan/