September 13, 2024

Merintis Jalan Konsistensi Aturan Pemilu

Sejak reformasi, undang-undang pemilu berganti hampir setiap lima tahun sekali. Sejalan dengan konsolidasi demokrasi yang terus melangkah menuju demokrasi yang stabil, Indonesia pun menatap pemilu ke pemilu dengan mekanisme yang dinamis dan terus berubah. Namun, akankah jalan perwujudan kedaulatan rakyat itu akan terus berubah dari pemilu ke pemilu?

Dewan Perwakilan Rakyat memiliki tekad baru untuk membuat sebuah aturan pemilu yang lebih ajeg, konsisten, dan koprehensif, sehingga negeri ini tidak perlu berganti-ganti aturan setiap kali menghadapi pemilu. Di satu sisi perubahan itu menyiratkan sisi positif dari dinamisasi demokrasi, dan bentuk natural dari transisi demokrasi. Namun, di sisi lain, ketika konsolidasi demokrasi yang berjalan lebih dari dua dekade ini seakan tidak menemukan ujungnya, dan aturan demi aturan membuat demokrasi jatuh menjadi terlalu prosedural, keinginan untuk ajeg dan konsisten pada satu pilihan tertentu pun muncul sebagai satu wacana.

Konsistensi aturan pemilu dipandang tidak hanya akan memudahkan penyelenggara pemilu, tetapi juga memberi kesempatan kepada rakyat atau publik pemilih untuk menghayati satu prosedural tertentu, demikian pula peserta pemilu. Dalam perkembangannya kemudian, aturan itu pun boleh saja dievaluasi, tetapi tidak dalam waktu dekat atau bukan diubah setiap kali pemilu.

Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, Selasa (25/2/2020) di Jakarta, mengemukakan adanya kebutuhan akan aturan pemilu yang ajeg dan konsisten ini. “Selama ini, kita selalu mengubah aturan pemilu dari pemilu ke pemilu. Kenapa sih kita tidak membuat saja aturan yang konsisten, sehingga tidak harus diubah setiap kali pemilu,” katanya.

Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu juga telah menjadi salah satu dari 50 program legislasi nasional (prolegnas). RUU Pemilu itu pun menjadi RUU inisiatif DPR. Oleh karenanya, Aziz berharap RUU yang dihasilkan bisa komprehensif dan sedikit banyak memehuhi harapan menjadi UU Pemilu yang konsisten, dan tidak terus beralih aturan dari pemilu ke pemilu.

Adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di satu sisi akan sangat mewarnai arah dan substansi RUU Pemilu yang digagas DPR. Menurut jadwal, MK akan memberikan putusan terhadap pengujian konstitusionalitas keserentakan pemilu yang diatur di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Rabu ini. Pemohon, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta MK agar memisahkan dua jenis pemilu, yakni pemilu lokal dan pemilu nasional. Pemilu lokal meliputi pemilihan kepala daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota/kabupaten, maupun DPRD provinsi. Adapun pemilu nasional meliputi pemilihan presiden, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Pemohon meminta pemisahan dua jenis pemilu setelah berkaca dari penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak, tahun 2019. Pemilu 2019 diselenggarakan untuk memilih dalam waktu bersamaan calon presiden-wakil presiden, DPR, DPRD kota/kabupaten, DPRD provinsi, dan DPD. Pemilihan serentak lima kotak itu dinilai menyulitkan penyelenggara dan membawa dampak kerugian konstitusional pemilih, yang antara lain ditandai dengan banyaknya suara rakyat tidak sah, lantaran pemilih kebingungan dengan surat suara yang banyak di bilik suara. Di sisi lain, ada ekses buruk dengan kematian lebih dari 400 petugas pemilu di lapangan karena penyakit kardiovaskuler, yang antara lain dipicu oleh faktor kelelahan.

Aziz mengatakan, apapun putusan MK, Rabu ini, akan bersifat final dan mengikat, sehingga memengaruhi substansi RUU Pemilu. Penyusunan RUU Pemilu dengan demikian akan sangat diwarnai apapun putusan MK.

“Kita tidak bisa bicara RUU Pemilu, sebelum kita tahu putusan MK yang final dan binding (mengikat),” ujarnya.

Di sisi lain, Komisi II DPR yang membawahkan pembahasan RUU Pemilu, menargetkan untuk menuntaskan pembahasan RUU Pemilu di awal 2021. Saat ini, tenaga ahli Komisi II DPR sedang berkoordinasi dengan Badan Keahlian Dewan (BKD) untuk mengkaji dan menyusun outline kasar dari draf RUU tersebut sebelum disajikan dalam pembahasan bersama mini fraksi di Komisi II DPR. Pembahasan itu pun baru bisa dilakukan di masa sidang ketiga, tahun 2020, yakni setelah masa sidang ketiga dibuka 23 Maret 2020. Pada 28 Februari 2020, anggota DPR memasuki masa reses.

Pintu kodifikasi?

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan, RUU Pemilu bahkan memiliki nilai lebih jauh dari sekadar menjadi UU Pemilu yang ajeg dan konsisten. RUU itu bahkan diharapkan menjadi pembuka bagi terwujudnya RUU Pembangunan Politik, yang merupakan kodifikasi dari sedikitnya tujuh UU yang terkait dengan politik lokal maupun nasional. Tujuh UU itu ialah UU Pemilu; UU Pilkada; UU Pemerintahan Daerah; UU Pemerintahan Desa; UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; UU Parpol; dan UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPD (MD2). Pada tahap awal, usulan yang dibahas ialah menggabungkan UU Pilkada dengan UU Pemilu menjadi satu di dalam RUU Pemilu.

Doli mengatakan, sudah ada kesepakatan internal di Komisi II mengenai hal itu. Namun, hal itu akan dinegosiasikan kembali di dalam rapat komisi. Bahkan, ada wacana juga untuk memasukkan UU Parpol di dalam pembahasan ini (RUU Pemilu). “UU itu saya namai UU Pembangunan Politik. Nanti akan kami lihat perkembangannya seperti apa, karena seperti di Australia, UU Pemilu menyangkut juga masalah parpol,” kata Doli.

Untuk mematangkan pembahasan Paket UU Pembangunan Politik, Doli mengatakan, Komisi II akan melakukan FGD (focussed groud discussion) dengan para ahli dan kalangan masyarakat sipil. Hal lainnya, Komisi II juga menginginkan RUU Pemilu kali ini bisa didesain lebih komprehensif dan sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia, sehingga bisa kompatibel dengan sistem politik dalam jangka waktu yang panjang.

“Sudah cukuplah, kita 21 tahun Reformasi seharusnya memiliki sistem atau UU Politik yang mapan. Kalau pun nanti mau diubah, ya evaluasi 20-25 tahun lagi,” kata Doli.

Mengenai kodifikasi aturan Pemilu, termasuk menggabungkan aturan rezim pemilu dengan pilkada, anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P Johan Budi, mengatakan, usulan itu bagus, karena bisa menyelaraskan aturan pemilihan. “Usulan itu saya kira bagus, karena bisa mengurangi terjadinya aturan pemilihan yang berbeda atau bertabrakan antara pilkada dan pemilu. Sekalipun demikian, saya belum mendengar usulan kodifikasi itu, karena belum ada pembahasan. Sebagai sebuah wacana, usulan penggabungan itu bagus,” katanya, Selasa di Jakarta.

Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, harapan untuk membentuk sebuah aturan pemilu yang ajeg dan konsisten itu boleh saja, dan memang pada saatnya Indonesia akan menuju ke sana. “Itu kan proses, dan akan ada satu titik di mana kita akan menuju sebuah aturan pemilu yang ajeg dan tidak berganti-ganti. Sebab sebuah aturan pemilu itu kan dinamis dan disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pada saatnya, ketika sudah pada titik tertentu, konsistensi itu akan ditemukan,” kata Arif.

Arif menghindari target waktu tertentu untuk membentuk sebuah UU Pemilu yang ajeg dan konsisten, karena semua itu tergantung pada dinamika masyarakat di lapangan, dan proses politik yang terus berkembang. Namun, ia tak menutup kemungkinan bahwa hal itu mungkin dicapai.

Pernah dikaji

Cita-cita kodifikasi UU Pemilu pun menjadi salah satu tema yang pernah dikaji oleh sejumlah pakar pemilu di Tanah Air. Guru Besar Ilmu Perbandingan Politik Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Ramlan Surbakti dibantu dengan beberapa ahli lainnya, pernah menyusun maskah akademik dan draf RUU Kitab Hukum Pemilu, tahun 2015. Usulan masyarakat sipil itu diterbitkan oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership).

Di dalam draf yang diusulkan oleh masyarakat sipil itu diatur mengenai sistem pemilu anggota DPR, DPRD kota/kabupaten, DPRD provinsi, DPD, dan presiden, serta UU Parpol. Artinya, draf itu tidak hanya mencakup pengaturan tentang pemilu lima kotak, tetapi juga dengan pilkada, dan UU Parpol.

Ramlan menyebutkan ada tiga alasan mengapa tiga atau empat UU itu perlu digabungkan. Pertama, keempat UU itu tidak menjamin kepastian hukum, lantaran terjadi kontradiksi antar UU, duplikasi antar UU, dan belum adanya standar dalam aspek pemilu. Kedua, pengaturan proses penyelenggaraan pemilu itu belum sepenuhnya berdasarkan parameter pemilu demokratik. Ketiga, sistem pemilu dari semua UU itu terlalu kompleks untuk dipahami pemilih, dan secara teknis mengandung banyak kelemahan dalam penerapannya.

Bilamana kodifikasi UU Pemilu itu ingin dirintis oleh DPR, masukan dari para ahli, dan naskah akademik dari sejumlah ahli sebelumnya kiranya menarik untuk ditinjau kembali. Harapannya, cita-cita kodifikasi UU Pemilu yang ajeg dan konsisten itu menghasilkan pemilu yang demokratis dan proses demokrasi yang lebih substantif. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/02/26/merintis-jalan-konsistensi-aturan-pemilu/