September 13, 2024

Pemilu 2019 Menjadi Bahan Evaluasi

Pemilihan model pemilu serentak yang akan diterapkan mulai Pemilu 2024 perlu dilakukan dengan meminimalkan dampak negatif yang pernah terjadi pada Pemilu 2019, yang menelan ratusan jiwa. Fenomena tersebut menjadi pelajaran berharga bagi perumus undang-undang dalam menentukan regulasi pemilu.

Ketua DPR Puan Maharani seusai Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan II Tahun 2019-2020, di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis (27/2/2020), mengatakan, fenomena pilu di Pemilu 2019 harus menjadi pembelajaran di dalam perumusan kebijakan RUU Pemilu agar penyelenggaraan Pemilu 2024 bisa lebih baik.

Sebelumnya, Rabu kemarin, Mahkamah Konstitusi memutuskan, ada enam alternatif keserentakan lain yang konstitusional, antara lain pemilu serentak DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPR; pemilu serentak DPR, DPD, presiden/wakil presiden, gubernur dan bupati/wali kota, serta lainnya.

Pemilihan model pemilu serentak tidak boleh sampai merugikan masyarakat.

”Ada varian-varian yang menjadi alternatif sehingga hal-hal yang kemarin terjadi secara negatif, seperti ada korban, petugas bekerja terus-menerus hingga kelelahan, tidak terulang pada 2024. Mana yang terbaik dan apa yang akan dipilih, tentu nanti ada pembahasan mendalam antara pemerintah dan DPR,” ujar Puan.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, lebih dari 400 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal selama Pemilu 2019. Sebagai pembanding, pada Pemilu 2014, Ketua KPU 2012-2016 (alm) Husni Kamil Manik menyatakan, ada 157 korban jiwa selama penyelenggaraan pileg dan pilpres.

Puan menambahkan, dalam pembahasan nanti, setiap partai politik akan dimintai pendapat terkait model pemilu serentak yang paling ideal. Namun, yang terpenting, kata dia, pemilihan model pemilu serentak tidak boleh sampai merugikan masyarakat.

Pembelajaran

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad berharap, apa pun model pemilu serentak yang dipilih, penyelenggara pemilu dan pemerintah harus lebih cermat dan hati-hati agar dampak negatif tidak terulang.

”Pengalaman-pengalaman kemarin menjadi warning  bagi penyelenggara, pemerintah, agar lebih memaksimalkan kehati-hatian, kecermatan, serta keakuratan dalam penyelenggaraan pemilihan,” katanya.

Secara terpisah, peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi memberikan fondasi dan batasan yang sangat kuat terhadap sistem penyelenggaraan pemilu serentak ke depan. Di dalam pertimbangan hukumnya, hal-hal penting yang sangat prinsip dalam sistem penyelenggaraan pemilu serentak adalah bahwa sistem pemilu serentak lima kotak bukanlah satu-satunya gagasan yang berkembang ketika perubahan UUD 1945.

Pilkada harus dijadikan bagian dari sistem pemilihan serentak.

”Putusan MK menghentikan pemisahan rezim pemilu dan rezim pilkada. Buktinya apa? Dalam varian keempat model pemilu yang diberikan MK, pilpres dapat dilaksanakan berbarengan dengan pilkada. Pilkada harus dijadikan bagian dari sistem pemilihan serentak,” papar Fadli.

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi, Perludem juga berharap, pembuat undang-undang tidak memilih opsi pemilu serentak tujuh kotak, yaitu pemilu serentak pemilihan anggota legislatif DPR, DPD, presiden dan wapres, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota. Sebab, berkaca dari pengalaman pemilu lima kotak pada 2019, ada dampak buruk terjadi, yaitu banyak petugas penyelenggara pemilu kelelahan hingga meninggal rata-rata karena penyakit kardiovaskular.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/02/28/pemilu-2019-menjadi-bahan-evaluasi/