August 8, 2024

Buka Ruang bagi Calon Saat Pilpres

Besaran ambang batas pencalonan presiden diusulkan untuk dikaji ulang. Dari pendapat fraksi-fraksi di DPR, sikap fraksi terbelah terkait ambang batas tersebut.

Pemberlakuan kembali besaran ambang batas pencalonan presiden seperti pada Pemilu Presiden 2019 dinilai hanya akan membuka ruang bagi para elite partai politik untuk maju sebagai calon presiden/wakil presiden. Jumlah calon yang dihadirkan ke publik pun terbatas dan imbasnya dapat kembali memicu polarisasi di masyarakat.

Karena itu, sejumlah akademisi dan masyarakat sipil pemerhati pemilu mengusulkan agar rencana pemberlakuan besaran ambang batas presiden tersebut pada pemilu selanjutnya dikaji ulang.

Pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, persyaratan pencalonan presiden/wakil presiden diusulkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi syarat perolehan kursi minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Ini seperti berlaku pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Besaran ambang batas pencalonan presiden yang sama tertuang dalam draf Rancangan UU (RUU) Pemilu yang disusun oleh tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR. Draf RUU Pemilu tersebut dijadikan bahan pembahasan bagi Komisi II dan fraksi-fraksi di DPR dalam merumuskan payung hukum untuk pemilu selanjutnya.

Namun, pengamat politik di Universitas Paramadina, Hendri Satrio, melihat, dengan besaran ambang batas itu, tidak akan banyak calon presiden/wakil presiden yang dihadirkan ke publik untuk dipilih. Bahkan, ia khawatir, hanya elite-elite parpol yang akan dicalonkan parpol.

”Jadi, akan terjebak dengan elite-elite partai saja yang memiliki suara langsung ke partai karena dia ketua partai. Orang-orangnya akan terbatas, itu-itu saja,” katanya.

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia Kaka Suminta berpendapat sama. Selain itu, imbas dari besaran ambang batas presiden tersebut, hanya dua pasang calon presiden/wakil presiden yang diusung gabungan parpol pada Pilpres 2019 dan Pilpres 2014. Hal itu memicu terjadinya polarisasi di masyarakat.

”Turunkan ambang batas presiden supaya tidak terjadi dua calon lagi agar tidak membuat bangsa terbelah. Kalau tak ada opsi pasangan calon ketiga, jadi yang tercipta polarisasi sosial dan politik yang tajam,” ujarnya. Bahkan, keterbelahan tak hanya terjadi selama pemilu, tetapi berlangsung terus setelah pemilu.

Catatan Kompas, pasal ambang batas presiden dalam regulasi pemilu telah berulang kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan terakhir MK pada 2018 menyatakan, besaran ambang batas presiden termasuk kebijakan hukum terbuka yang dapat ditentukan oleh pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah bersama DPR.

Dua sikap

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa menyampaikan, dari pendapat fraksi-fraksi di DPR terhadap draf RUU Pemilu, ada dua sikap terkait ambang batas presiden. Pertama, meminta besaran ambang batas presiden dipertahankan. Namun, ada pula yang ingin agar besaran tersebut dikurangi.

Namun, menurut dia, lebih baik besaran ambang batas dipertahankan. Ambang batas itu dinilai dapat menjadi proses seleksi bagi mereka yang ingin maju dalam pilpres.

Sebaliknya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, lebih baik ambang batas diturunkan. Dengan demikian, terbuka ruang lebih banyak calon yang dihadirkan ke publik.

Sementara itu, dari hasil Rapat Pimpinan Nasional Gerindra, beberapa waktu lalu, nama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto kembali diusulkan maju pada Pilpres 2024. Hal itu disampaikan Ketua DPD Gerindra Sumatera Barat Andre Rosiade. Namun, keputusan itu belum final.

Wakil Ketua Umum Gerindra Sugiono mengatakan, saat ini, partai lebih fokus menyiapkan kongres untuk mengukuhkan Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra periode 2020-2025. (NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/11/buka-ruang-bagi-calon-saat-pilpres/