November 28, 2024

Menakar Calon Tunggal

Kemelut soal pemberitaan pencalonan kepala daerah selalu menjadi topik hangat di setiap mendekati hari H perhelatan pilkada. Pemberitaan soal tokoh siapa, partai pengusung mana hingga bakal calon perseorangan siapa yang akan bertarung merebut mahkota kepala daerah menjadi diskursus yang tidak berkesudahan dengan melihat cairnya langgam proses politik daerah itu sendiri.

Pada pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 muncul fenomena baru, di mana beberapa daerah yang melaksanakan pilkada hanya mempunyai satu pasangan calon (baca; calon tunggal). Potensi kebuntuan demokrasi lokal inilah yang melandasi lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 100/PUU-XIII/2015 yang membuka kran pilkada dapat dilaksanakan kendati hanya ada calon tunggal yang bertarung melawan kolom kosong. Tentu saja putusan MK tersebut harus dibaca dalam konteks sebagai bentuk upaya MK untuk melindungi dan menjamin hak konstitusional warga daerah, khususnya hak untuk di pilih dan hak untuk memilih warga daerah dibidang politik yang tidak boleh diabaikan apabila ditiadakan hanya karena ketiadaan dua pasangan calon yang bertarung.

Paska munculnya putusan MK tersebut, fenomena calon tunggal di setiap perhelatan pilkada menunjukan tren peningkatan jumlah calon tunggal terus merangkak naik. Dari data yang penulis himpun, terlihat adanya peningkatan jumlah yakni dari angka 3 pada tahun 2015, 9 pada tahun 2017 dan 16 pada tahun 2018. Jika mencermati tren tersebut, maka tidak menutup kemungkinan pada pilkada serentak 2020 tren pilkada hanya dengan calon tunggal juga mengalami peningkatan jumlah, terlebih pelaksanaan pilkada 2020 yang dilaksanakan ditengah perkembangan covid-19 menjadi pertimbangan sulit bagi bakal calon dalam melawan sang petahana yang diuntungkan melalui program bansos.

Faktor pendorong calon tunggal

Jika dicermati, secara garis besar setidaknya terdapat dua faktor yang mendorong munculnya calon tunggal. Pertama calon tunggal muncul sebelum adanya penetapan pasangan calon oleh KPU/KIP Provinsi, Kabupaten atau Kota (baca; KPU) dan kedua calon tunggal muncul sesudah adanya penetapan pasangan calon oleh KPU. Terkait faktor pertama; fenomena borongan partai politik atau koalisi gemuk untuk mengusung bakal pasangan calon menjadi penyebab utama munculnya calon tunggal yang didukung kekuatan finansial baik dari si pasangan calon maupun faktor orang kuat lokal (local strong men) yang menjadi pemerintah bayangan yang dapat mengkonsilidasikan partai politik untuk mendapatkan kursi dukungan penuh, khususnya memiliki koneksi di elit partai politik di tingkat pusat untuk mendapatkan rekomendasi (baca; surat sakti).

Gejala borongan partai politik atau koalisi gemuk yang ditopang oleh kekuatan finansial si pasangan calon dan faktor orang kuat lokal (local strong men) juga dibarengi dengan praktik mahar politik yang sudah menjadi pengetahuan umum, untuk mendapatkan dukungan partai politik. Tentu saja praktik-praktik seperti ini akan sulit bagi calon yang tidak memiliki modal finansial yang cukup untuk mendapatkan dukungan partai politik tanpa kemampuan membayar mahar politik. Oleh karenanya, ungkapan lama tentang mahalnya biaya demokrasi selalu relevan hingga hari ini.

Berkenaan dengan praktik borongan partai politik atau koalisi gemuk serta mahar politik, secara bersamaan juga menunjukkan gagalnya partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai saran rekrutmen politik (Miriam Budiardjo, 2007). Fenomena borongan partai politik atau koalisi gemuk memunculkan pertanyaan mendasar, apakah partai politik tidak memiliki kader-kader terbaik partai yang dapat diajukan sebagai calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan daerah ? ataukah partai politik lebih memilih tindakan pragmatis dengan mendukung calon yang memiliki kekuatan finansial dan didukung oleh orang kuat lokal (local strong men) agar mendapatkan akses kekuasaan di daerah ?

Bahkan tidak hanya fenomena borongan partai politik atau koalisi gemuk serta praktik mahar politik yang mendorong lahirnya calon tunggal. Turut andil dalam melahirkan calon tunggal adalah beratnya syarat yang harus dipenuhi oleh bakal pasangan calon untuk maju menjadi calon kepala daerah. Pasal 40 ayat (1) UU 10 tahun 2016 menyebutkan bahwa syarat menjadi calon kepala daerah dari jalur partai politik harus memperoleh  20% jumlah kursi partai politik di DPRD atau 25% perolehan suara partai politik.

Sementara itu, dalam pasal 41 syarat berat juga dialami warga daerah yang ingin maju melalui jalur calon perseorangan (indenpenden). Seorang bakal calon kepala daerah harus mampu mengumpulkan salinan E-KTP 6,5% sampai 10% dari total jumlah penduduk. Syarat yang tentu tidak mudah untuk maju melalui jalur perseorangan melawan pasangan calon dari partai politik. Padahal pada prinsipnya, munculnya aturan hukum yang mengakomodir alternatif untuk menjadi kepala daerah melalui jalur calon perseorangan sebagaimana putusan MK No. 05/PUU-V/2007 merupakan jalan tengah untuk mengimbangi eksis partai politik sebagai infrastruktur politik yang sebelumnya menjadi satu-satunya saluran untuk menjadi kepala daerah.

Fakta empirik pilkada 2018 menunjukan dari 16 penyelenggaraan pilkada pasangan calon tunggal, hanya 1 bakal calon dari jalur perseorangan yang berhasil mengumpulkan dukungan salinan E-KTP yakni calon walikota Makassar, itupun karena didukung latar belakangnya sebagai petahana Walikota. Dengan kata lain, mayoritas calon perseorangan pada pilkada 2018 banyak dinyatakan tidak memenuhi syarat ketika dilakukan verifikasi faktual dan berdasarkan hasil penetapan KPU.

Sedangkan faktor kedua sesudah adanya penetapan pasangan calon adalah; fenomena terjadinya pelanggaran pilkada. Munculnya calon tunggal justru juga terjadi karena terbukti melakukan pelanggaran penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 71 UU 10 tahun 2016 dengan mendapatkan sanksi diskuasifikasi sebagai pasangan calon, seperti yang terjadi pada pilkada Makassar 2018 didiskualifikasi dari pencalonan oleh Mahkamah Agung. Lebih dari itu, tren calon tunggal juga muncul dengan berakhirnya melalui sengketa proses di Bawaslu Provinsi, Kabupaten maupun Kota (baca; Bawaslu).

Dengan demikian potensi munculnya calon tunggal tidak hanya sebelum adanya penetapan pasangan calon oleh KPU, akan tetapi munculnya calon tunggal juga dapat terjadi setelah adanya penetapan pasangan oleh KPU yang berakhir melalui terbukti melakukan pelanggaran pasal 71 UU 10 tahun 2016 maupun melalui sengketa proses di Bawaslu.

Aspek keadilan tahapan pilkada

Dalam konteks pilkada dengan calon tunggal, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana memastikan terlaksananya prinsip keadilan pada tahapan kampanye, khususnya kampanye yang difasilitasi oleh KPU. Misalnya penyebaran bahan kampanye kepada umum ? pemasangan alat peraga kampanye (APK) ? hingga pengiklanan media massa cetak dan media massa elektronik ? tentu saja kampanye yang difasilitasi oleh KPU ini agak sukar dalam memberikan hak yang sama bagi calon tunggal dan kolom kosong secara berkeadilan. Sehingga menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi Bawaslu dalam pengawasi hal ini, terlebih agar keadilan dapat tercemin baik bagi calon tunggal maupun kolom kosong itu sendiri.

Bahkan yang paling krusial adalah tidak dilaksanakannya debat kandidat. Metode kampanye melalui debat kandidat merupakan bagian terpenting dalam memberikan pendidikan politik terhadap warga daerah serta menjadi ajang pertukaran ide, gagasan dan dialog antar pasangan calon untuk meyakinkan pemilih. Oleh sebab itu, pilkada dengan calon tunggal ini tentu tidak mencerminkan esensi demokrasi modern yang syarat akan kompetisi. Terlebih lagi jika menggunakan aspek internasional untuk mengukur kadar pilkada demokrastis, dimana 1 dari 15 aspek tersebut adalah kampanye yang demokratis (Internasional IDEA, 2004). Pertanyaannya bagaimana mungkin kampanye yang difasilitasi oleh KPU dapat benar-benar berjalan demokratis bagi kolom kosong ?

Di samping keadilan pada tahapan kampanye, juga pada tahapan pencoblosan. Kendati lembaga pemantau diberikan akses sebagai pemantau, akan tetapi fakta empirik 2018 tidak semua daerah yang terdapat calon tunggal dipantau oleh lembaga pemantau, sehingga tidak ada yang melakukan pemantauan pada saat pencoblosan dan penghitungan suara bagi kolom kosong.

Meminimalisir (potensi) calon tunggal

Kendati calon tunggal memiliki landasan hukum yang konstitusional paska putusan MK dan diakomodir dalam pasal 54 huruf C ayat (1) UU 10 tahun 2016. Pilkada dengan calon tunggal harus ditempatkan sebagai upaya terakhir ketika upaya untuk menghadirkan pasangan calon lainnya memang tidak ada atau terjadi diskualifikasi karena melanggar peraturan perundang-undangan. Paling tidak dengan berkaca pada pilkada tahun 2015 hingga 2018, tren peningkatan calon tunggal mesti harus diminimalisir dengan menurunkan persentase syarat calon baik melalui jalur partai politik maupun jalur perseorangan.

Terkait penurunan persentase syarat calon melalui jalur partai politik pada saat bersamaan juga perlu diatur dalam UU yang mewajibkan bagi partai politik yang memenuhi syarat persentase agar wajib mencalonkan kader-kader terbaiknya serta memberikan sanksi bagi partai politik yang memenuhi persentase tetapi tidak mengajukan calon dari kader sendiri, misalnya sanksi tidak dapat ikut pilkada pada tahun selanjutnya. Jika hal tersebut diatur maka, akan dapat meminimalisir potensi munculnya calon tunggal melalui borongan partai politik atau koalisi gemuk yang secara bersamaan juga fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik dapat berjalan melalui proses kaderisasi. Jika calon yang diusung merupakan kader partai maka secara alamiah juga dapat meminimalisir praktik mahar politik.

Sedangkan dari segi pencalonan dari jalur perseorangan, penurunan persentase jumlah dukungan E-KTP yang harus dikumpulkan juga memunculkan alternatif banyaknya pilihan kepada warga daerah sebagai pemegang kedaulatan dalam memilih kepala daerah. Sehingga semakin banyak calon secara bersamaan terjadi kompetisi yang sehat dalam aras demokrasi lokal, agar demokrasi lokal benar-benar memberikan pendidikan politik yang substansial terhadap warga daerah. Oleh karena itu, momentum pembahasan RUU Pemilu yang menggabungkan UU Pemilu dan UU Pilkada yang hari ini sedang dibahas di Parlemen (baca; Komisi 2 DPR) harus di dorong untuk mengatur hal tersebut. []

REZKY HABIBI R.

Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Lambung Mangkurat

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi) Banjarmasin