August 8, 2024

Peran Kaderisasi Parpol Tentukan Kualitas Pilkada

Selain menurunkan ambang batas atau syarat pencalonan dalam pilkada yang diatur di dalam undang-undang, optimalisasi peran dan fungsi partai politk dalam menyiapkan kader dan calon pemimpin juga menentukan kualitas demokrasi dalam Pilkada 2020. Alasannya, dengan hanya menurunkan ambang batas tidak serta-merta menjamin fenomena calon tunggal dan dominasi dinasti politik bisa diminimalisasi sebab kualitas setiap calon juga ditentukan oleh kaderisasi yang dilakukan parpol.

Upaya untuk menurunkan ambang batas atau threshold dalam pencalonan pilkada diasumsikan dapat menurunkan kemungkinan terjadinya calon tunggal ataupun dominasi dinasti politik dalam pilkada. Namun, hal ini tidak menjamin sepenuhnya pilkada akan lebih demokratis dengan munculnya lebih banyak calon alternatif dalam pilkada. Pasalnya, sepanjang kaderisasi parpol tidak optimal dan peran penyiapan calon pemimpin itu tidak dilakukan dengan maksimal, parpol tetap akan kesulitan mengajukan calonnya dalam kontestasi pilkada.

Sepanjang kaderisasi parpol tidak optimal dan peran penyiapan calon pemimpin itu tidak dilakukan dengan maksimal, parpol tetap akan kesulitan mengajukan calonnya dalam kontestasi pilkada.

Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi, yang dihubungi, Selasa (28/7/2020), mengatakan, upaya untuk menurunkan ambang batas pencalonan atau threshold itu memang dapat menjadi opsi untuk meningkatkan kemungkinan bagi parpol-parpol yang tidak dominan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk bisa mengajukan calonnya. Demikian pula bagi hadirnya calon perseorangan. Namun, penurunan ambang batas itu tidak sepenuhnya menjamin calon tunggal dan dinasti politik tidak muncul dalam pilkada.

”Kita tidak bisa menjamin dengan menurunkan threshold lalu akan menutup celah adanya calon tunggal. Karena berapa pun ambang batasnya, kalau parpol tidak mengutamakan fungsi rekrutmen kader untuk menjadi pemimpin, tetapi lebih kepada kompromi politik, atau kerja sama-kerja sama politik dengan parpol lain, yang terjadi lebih banyak calon tunggal itu ke depannya,” kata Arwani.

Konsistensi parpol untuk merekrut kader untuk menjadi pemimpin idealnya direalisasikan dalam bentuk pencalonan kadernya saat pilkada di daerah. Namun, dalam konteks ini, menurut Arwani, sejumlah hal ikut berpengaruh, seperti konstelasi koalisi di pemerintahan dan parlemen di tingkat nasional.

”Partai-partai juga masih berhitung untuk kompromi dan merupakan bagian dari kerja sama politik yang tidak bisa dilepaskan antara pilkada dengan koalisi di pemerintahan dan Senayan (parlemen),” katanya.

Adanya persoalan kaderisasi di sebagian besar parpol. Fokus parpol untuk memenangi kontestasi atau merebut kekuasaan itu seharusnya tidak mengabaikan kepentingan untuk menaikkan kadernya sebagai pemimpin.

Sebagai bagian dari otokritiknya terhadap partai, Arwani, yang juga Wakil Ketua Umum DPP PPP, mengakui adanya persoalan kaderisasi di sebagian besar parpol. Fokus parpol untuk memenangi kontestasi atau merebut kekuasaan itu seharusnya tidak mengabaikan kepentingan untuk menaikkan kadernya sebagai pemimpin. Dengan kata lain, pertimbangan kader harus pula dikedepankan dan tidak semata-mata untuk meraih kekuasaan.

”Namun, lagi-lagi itu pilihan dan itu tidak berarti juga demokrasi terdegradasi karena ada calon tunggal serta dinasti politik. Itu hanya soal rasa. Artinya, kalau ada calon tunggal melawan kotak kosong, rasanya memang seperti tidak ada kontestasi. Idealnya memang minimal ada dua calon dalam pilkada. Tetapi sebagai pilihan demokrasi, itu sah saja. Bahwa kita mencoba menurunkan threshold untuk membuka ruang alternatif pilihan, itu menjadi salah satu opsi untuk membuka ruang kandidasi lebih lebar,” ujar Arwani.

Memperlebar ruang kandidasi

Terkait wacana penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk mengurangi risiko calon tunggal dan membuka peluang bagi munculnya calon perseorangan, menurut Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz, hal itu bisa saja dilakukan sebagai instrumen untuk memperlebar ruang kandidasi. Namun, untuk Pilkada 2020, perubahan instrumen hukum itu tidak mungkin bisa langsung diterapkan. Pencalonan dalam Pilkada 2020 harus tetap mengikuti ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Dengan UU No 10/2016, penyelenggara pemilu tidak dapat berbuat banyak kecuali mengikuti ketentuan undang-undang. ”KPU tidak bisa juga melonggarkan ambang batas, aturan masih mengatur demikian. Dalam proses verifikasi faktual di lapangan, ketentuan itu juga harus dipastikan untuk terpenuhi calon perseorangan,” katanya.

Threshold ada baiknya diturunkan, tetapi harus dijaga keseimbangan antara calon perseorangan dan calon dari parpol. Sebab, munculnya calon perseorangan ini jika terlalu masif juga kurang baik bagi kelembagaan parpol.

Di satu sisi, terlalu banyak calon perseorangan juga menjadi indikasi yang kurang baik bagi kelembagaan parpol. Menurut August, banyaknya calon perseorangan menunjukkan ketidakpercayaan terhadap parpol.

”Threshold ada baiknya diturunkan, tetapi harus dijaga keseimbangan antara calon perseorangan dan calon dari parpol. Sebab, munculnya calon perseorangan ini jika terlalu masif juga kurang baik bagi kelembagaan parpol. Perlu mulai dibangun titik keseimbangan antara calon perseorangan dan calon dari parpol,” katanya.

Dari berbagai pengalaman pilkada, tidak sedikit calon perseorangan yang maju di pilkada sebenarnya adalah kader parpol atau bahkan petahana. Namun, karena tidak mendapatkan dukungan atau tiket untuk maju dari parpol, ia menggalang dukungan dari jalur perseorangan. Fenomena ini, menurut August, menunjukkan calon perseorangan tidak serta merta bebas dari anasir parpol.

Tidak sedikit calon perseorangan yang maju di pilkada sebenarnya adalah kader parpol atau bahkan petahana. Namun, karena tidak mendapatkan dukungan atau tiket untuk maju dari parpol, ia menggalang dukungan dari jalur perseorangan.

Dalam penyusunan RUU Pemilu, wacana tentang pengaturan pilkada menjadi satu paket dengan RUU Pemilu belum disepakati. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, fraksinya setuju agar pengaturan pilkada ini dimasukkan ke dalam pembahasan RUU Pemilu. Namun, ada fraksi yang tidak setuju sehingga belum dicapai kesepakatan apakah regulasi pilkada akan dimasukkan dalam pembahasan RUU Pemilu ataukah tidak.

”Kalau kami pada dasarnya setuju threshold pencalonan kepala daerah diturunkan. Itu perlu diatur di dalam RUU Pemilu. Tetapi memang belum dibahas mendalam. Kami baru mengusulkan di tingkat nasional untuk pencalonan presiden yang mulanya harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional diturunkan menjadi 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah. Threshold untuk daerah juga harapannya diturunkan seperti usulan kami di tingkat nasional, atau bisa lebih rendah,” kata Saan.

Sementara itu, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) belum sepakat untuk memasukkan ketentuan pilkada masuk ke dalam RUU Pemilu.

”Kami menilai pilkada dan pemilu itu dua rezim yang berbeda. Oleh karena itu, tidak relevan kalau nanti pengaturan pilkada yang menyangkut threshold diusulkan di dalam revisi UU Pemilu. Saat ini, baru ada 22 tema krusial yang dirumuskan dalam RUU Pemilu dan tidak termasuk pengaturan tentang pilkada,” kata Arif Wibowo, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P yang juga Ketua Panitia Kerja RUU Penyusunan RUU Pemilu. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID  https://www.kompas.id/baca/pemilu/2020/07/28/peran-kaderisasi-parpol-tentukan-kualitas-pilkada/