September 13, 2024

Menguatkan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu

Dikabulkannya gugatan Evi Novida Ginting di Pengadilan Tata Usaha Negara atas putusan pemberhentian dirinya dari komisioner KPU 2017-2022 menjadi momentum bagi lembaga penyelenggara pemilihan umum untuk melakukan refleksi. Lembaga-lembaga tersebut perlu saling memahami peran dan kewenangannya sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu.

Setidaknya dalam masa periode Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 sudah ada dua komisioner yang diberhentikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sebelum pemberhentian Evi Novida Ginting, pada 16 Januari 2020, komisioner Wahyu Setiawan juga diberhentikan dari posisinya sebagai anggota KPU. Wahyu sebelumnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus dugaan suap.

Kasus Wahyu tidak begitu menyita perhatian, khususnya bagi pemerhati masalah pemilu, karena lebih pada pelanggaran hukum terkait dugaan penerimaan suap sebagai penyelenggara negara. Apalagi kasusnya mencuat setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan. Berbeda dengan kasus Wahyu, pemberhentian Evi sebagai komisioner justru membuka hal yang selama ini masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi tiga lembaga penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu, dan DKPP.

Hal ini bermula dari putusan DKPP No 317-PKE-DKPP/X/2019 yang di dalam amar putusannya memutuskan Evi Novida melanggar kode etik penyelenggara pemilu dan harus diberhentikan tetap. Putusan DKPP ini kemudian diikuti  lahirnya Surat Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat anggota Komisi Pemilihan Umum RI 2017-2022 Evi Novida Ginting.

Atas putusan ini, Evi mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, gugatan Evi dikabulkan. Istana kemudian menyatakan akan mencabut keputusan presiden soal pemberhentian tersebut dan tidak mengajukan banding atas putusan PTUN.

Sementara Ketua DKPP Muhammad menilai keputusan Presiden yang akan mengaktifkan kembali Evi sebagai Komisioner KPU sama sekali tak mengubah putusan DKPP bahwa Evi melanggar kode etik penyelenggara pemilu dan harus diberhentikan. Apalagi putusan DKPP sebenarnya final dan mengikat sebagaimana diputuskan dalam putusan MK Nomor 31/2013.

Polemik regulasi ini pun memicu perhatian para pegiat pemilu. Dalam salah satu webinar bertajuk “Desain Keadilan Pemilu Pasca Putusan PTUN atas Perkara Evi Novida”, Sabtu (25/7/2020) yang digelar Perludem, Guru besar FH UI Topo Santoso menyebutkan bahwa kasus Evi ini tidak masuk dalam pelanggaran/ tindak pidana/ sengketa pemilu (electoral dispute). “Ini permasalahan sengketa tata usaha negara yang berkaitan dengan pemilu,” ujar Topo Santoso.

Kasus putusan KPU yang menjadi obyek sengketa di PTUN bukan yang pertama terjadi di kasus Evi ini. Sebelumnya, kasus yang sama juga pernah terjadi di PT TUN Medan dan PT TUN Makassar. Untuk itu, Topo Santoso juga melihat kasus ini memberikan pelajaran bahwa ke depan perlu ada peningkatan kesepahaman tentang seluruh tahapan pemilu, tentang tugas dan kewenangan setiap lembaga penyelenggara pemilu.

Argumentasi DKPP terhadap putusannya dan putusan PTUN yang membatalkan Surat Keputusan Presiden yang notabene menindaklaanjuti putusan DKPP, pada akhirnya memang memunculkan problematika soal pentingnya kejelasan peran antar lembaga dalam desain keadilan pemilu.

Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menyatakan, kasus ini menjadi momentum sekaligus refleksi internal bagi lembaga penyelenggara pemilu. “Jika lembaga penyelenggara pemilu masih bersitegang soal kewenangannya masing-masing, sangat tidak positif bagi institusi penyelenggara pemilu, yang tentu akan jadi cerminan juga bagi masyarakat,” ujar Fadli.

Tiga matahari

Soal beban relasi ketiga lembaga ini sebenarnya bukan hal baru. Guru besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris dalam artikelnya di Kompas menyebutkan, ketiga lembaga ini bagaikan tiga matahari. Setelah Bawaslu dan DKPP menjadi lembaga permanen setelah KPU, ketiganya menjadi lembaga yang saling unjuk gigi menunjukkan kewenangan yang dimilikinya masing-masing. (Kompas, 5/12/2012)

Syamsuddin juga melihat ajang unjuk gigi itu terekam dari langkah DKPP yang melakukan pemecatan Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta kala itu, Ramdansah, yang dianggap tidak independen dalam penyelenggaraan Pilkada Jakarta.

Hal yang memicu perhatian publik juga terkait keputusan DKPP yang meminta KPU tetap mengikutsertakan 18 parpol dalam verifikasi faktual parpol peserta pemilu. Keputusan ini dinilai berada di luar kewenangan DKPP, sebab dalam UU Penyelenggara Pemilu kala itu, verifikasi calon parpol peserta pemilu adalah otoritas dan tanggung jawab KPU.

Munculnya ”tiga matahari” penyelenggara pemilu ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu ke depan. Bagaimanapun, kualitas proses pemilu pertama-tama ditentukan oleh kualitas penyelenggara pemilu itu sendiri. Meskipun sebenarnya harus diakui ketiganya memiliki kewenangan yang sudah diatur tidak akan melakukan tumpang tindih.

Dosen FISIP Universitas Diponegoro Nur Hidayat Sardini menilai, kedudukan KPU sebagai administrator utama pemilu, Bawaslu sebagai penjamin kualitas pemilu, dan kedudukan DKPP sebagai penjaga dan penegak prinsip kemandirian, integritas, dan kredibilitas para penyelenggara pemilu.

“Mempertimbangkan kronologis sejarah pelembagaan ketiganya, saya menafsirkan bekerjanya ketiga lembaga penyelenggara pemilu tersebut ke dalam suatu konstruksi: KPU hadir untuk Pemilu, Bawaslu hadir untuk KPU, sedangkan DKPP hadir untuk KPU dan Bawaslu”, ungkap Nur Hidayat Sardini yang juga anggota DKPP 2012-2017 ini.

Pelanggaran penyelenggara

Selain upaya menguatkan relasi dan fungsi ketiga lembaga, penyelanggara pemilu juga dihadapkan pada beban terkait ekspektasi publik akan hadirnya penyelenggara pemilu yang professional dan independen. Sejumlah jajak pendapat Kompas terkait penyelenggara pemilu, menyimpulkan, publik berharap besar pada penyelenggara pemilu ini. Di sisi yang lain, beban pelanggaran penyelenggara pemilu juga tak bisa dianggap enteng untuk perlu menjadi perhatian agar tidak menggerus asa pada penyelenggara pemilu.

Data DKPP sepanjang 2012-2019 menyebutkan, ada 3.716 pengaduan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, baik itu KPU maupun Bawaslu. Dari total pengaduan tersebut, sebanyak 1.521 atau sekitar 40,9 persen naik dalam persidangan.

Angka ini mengindikasikan bahwa pengaduan yang dimasukkan ke DKPP memang bukan sekadar aduan, namun juga disertai bukti-bukti dan dugaan kuat atas pelanggaran tersebut, sehingga bisa naik ke tahap persidangan. Dari jumlah pengaduan yang masuk tahap persidangan tersebut, mayoritas (95,8 persen) berhasil diputuskan.

Rata-rata dari putusan yang dihasilkan, sebagian besar memang memutuskan untuk direhabilitasi. Sebanyak 54,4 persen putusan DKPP memang memutuskan untuk merehabilitas nama-nama penyelenggara yang berkedudukan sebagai teradu dalam kasus pelanggaran etik di DKPP ini.

Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum integritas penyelenggara pemilihan umum memang relatif masih terjaga karena sebagian besar dari kasus aduan tersebut tidak dapat dibuktikan, sehingga teradu direhabilitasi atas dugaan pelanggaran tersebut.

Meskipun demikian, tidak sedikit juga amar putusan DKPP yang menghasilkan teguran atau peringatan, bahkan pemberhentian. Setidaknya sepanjang 2012-2019 DKPP sudah mengeluarkan total 1.936 teguran tertulis atau peringatan terhadap penyelenggara pemilu yang diadukan ke DKPP. Jumlah ini setara dengan 33,4 persen dari total perkara yang diputuskan oleh DKPP.

Sementara itu tak sedikit juga amar putusan DKPP yang memutuskan pemberhentian terhadap penyelenggara pemilu. Total jumlah putusan pemberhentian sepanjang delapan tahun terakhir ini mencapai 704 perkara.

Dari putusan pemberhentian ini, sebagian besar (592) diputuskan pemberhentian tetap atau sekitar 10,2 persen dari total putusan pemberhentian. Jumlah ini memang lebih sedikit dibandingkan putusan teguran tertulis atau peringatan, namun secara kualitas jumlah ini tentu menjadi sinyal peringatan bagi profesionalisme dan integritas penyelenggara pemilihan umum.

Tak ayal, ke depan, terutama menjelang pelaksanaan pilkada serentak yang akan digelar 9 Desember mendatang, memguatkan kelembagaan penyelenggara pemilu menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi beban menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak gampang. Pada akhirnya, kualitas dari pelaksanaan pemilu maupun pilkada, salah satunya akan ditentukan pada kualitas dan kinerja dari penyelenggaranya. (YOHAN WAHYU/Litbang Kompas)

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas https://kompas.id/baca/riset/2020/08/14/menguatkan-kelembagaan-penyelenggara-pemilu/