August 8, 2024

Pasangan Calon Tunggal di Pilkada Bakal Menjamur

Menjelang pendaftaran pasangan calon kepala daerah di pilkada serentak 2020 yang tinggal hitungan hari, sinyal menjamurnya pasangan calon tunggal dalam pilkada semakin menguat. Dengan begitu, empat gelombang pilkada serentak akan ditandai tren kenaikan pemilihan pasangan calon melawan kotak kosong.

Pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020 akan berlangsung pada 4-6 September. Dari sejumlah daerah, pasangan calon mulai mendeklarasikan pencalonan berikut mengumumkan kekuatan dukungan pencalonannya.

Dari Kediri, Jawa Timur, misalnya, pasangan bakal calon Hanindhito Himawan Pramono dan Dewi Maria Ulfa diperkirakan akan melawan kotak kosong. Hanindhito merupakan putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, sedangkan pasangannya, Maria Ulfa, merupakan Ketua Fatayat Nahdlatul Ulama Kabupaten Kediri.

Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang PDI-P Kabupaten Kediri Dodi Purwanto, Rabu (2/9/2020), mengatakan, sudah ada delapan partai politik yang bergabung mendukung Hanindhito-Dewi Maria. Dengan demikian, pengusung Handindhito mencapai 48 dari 50 kursi DPRD.

Dua kursi yang tersisa tidak memenuhi syarat minimal dukungan 20 persen kursi DPRD atau minimal 10 kursi DPRD. Di Kediri juga tidak ada calon perseorangan yang memenuhi syarat minimal dukungan untuk bisa mendaftar di pilkada.

Di Kota Semarang, Jateng, pasangan calon petahana Hendrar Prihadi-Hevearita Gunaryanti Rahayu (Hendi-Ita) mendapat dukungan dari sembilan partai parlemen dan lima parpol nonparlemen. Dengan begitu, ia menyapu bersih 50 kursi DPRD Kota Semarang. Pada deklarasi pengusungan dirinya dan Ita, Selasa (1/9), Ketua Tim Pemenangan Hendi-Ita, Kadarlusman, menyebut target kemenangan 90 persen suara pemilih, ”Ajak konstituen untuk datang ke TPS (tempat pemungutan suara), ajak ke TPS agar target terpenuhi, target kami 90 persen,” kata Kadarlusman.

Potensi 36 paslon tunggal

Pada pilkada dengan paslon tunggal, masyarakat akan dihadapkan pada pilihan satu pasangan calon atau kotak kosong. Apabila kotak kosong mendapat suara terbanyak, pilkada akan digelar kembali. Hal ini terjadi di Pilkada Kota Makassar, Sulsel, tahun 2018. Karena kotak kosong unggul dari pasangan calon tunggal, pilkada kembali digelar tahun ini.

Berdasarkan catatan Kompas, jumlah pasangan calon tunggal ini terus naik. Pada pilkada serentak 2015 hanya ada tiga pasangan calon tunggal. Kemudian, jumlahnya meningkat pada pilkada serentak 2017 menjadi sembilan pasangan calon. Di pilkada serentak 2018, ada 16 daerah yang menggelar pilkada dengan paslon tunggal.

Di Pilkada 2020, dari kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), diperkirakan ada potensi 36 pasangan calon tunggal, yaitu dari 30 kabupaten dan 6 kota.

Potensi paslon tunggal itu di pemilihan bupati/wakil bupati, di antaranya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Ogan Komering Ulu, OKU Selatan, Bengkulu Utara, Kebumen, Boyolali, Wonosobo, Wonogiri, Sragen, Pemalang, Grobogan, Ngawi, Blitar, dan Kediri.

Selain itu, juga di Pacitan, Banyuwangi, Pandeglang, Badung, Sumbawa Barat, Kutai Kartanegara, Gowa, Soppeng, Buru Selatan, Pegunungan Bintang, Asmat, Yahukimo, Manokwari, Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Manokwari Selatan.

Adapun potensi calon tunggal di pemilihan wali kota/wakil wali kota ialah di Kota Gunungsitoli, Pematang Siantar, Pekalongan, Semarang, Magelang, dan Balikpapan.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati, kemarin, mengatakan, dari pendataan Perludem, diprediksi akan banyak paslon tunggal melawan kotak kosong dari kabupaten dan kota. Sementara untuk pemilihan gubernur, kemungkinan tak akan ada calon tunggal.

”Fenomena munculnya pasangan calon tunggal ini karena syarat untuk mencalonkan kepala daerah memang sulit, baik dari jalur perseorangan maupun jalur partai politik,” ujar Khoirunnisa.

Dari jalur perseorangan, pasangan calon harus mengumpulkan dukungan minimal 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap pemilu terakhir. Dukungan itu harus tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur dan lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota untuk pemilihan wali kota/bupati. Berdasarkan data KPU, hanya ada 70 pasangan bakal calon dari jalur perseorangan yang memenuhi syarat dukungan sehingga bisa mendaftar ke KPU.

Dari jalur partai, Khoirunnisa menilai syarat pengumpulan dukungan melalui ambang batas parlemen 20 persen kursi atau 25 persen suara dari pemilu terdahulu sangat berat. Dengan demikian, sedikit partai yang bisa melampaui batas tersebut. Parpol harus berkoalisi dan tidak jarang akhirnya semua parpol berbondong-bondong mencalonkan satu paslon. Selain karena pragmatisme politik, ada kemungkinan parpol tidak dapat mencalonkan kandidat karena kurangnya syarat minimal dukungan.

”Melihat fenomena ini, Perludem mengusulkan agar tidak perlu ada syarat minimal dukungan itu. Dengan demikian, setiap parpol memiliki peluang untuk mengusung paslon dan publik punya alternatif pilihan,” kata Khoirunnisa.

Dibandingkan syarat jumlah kursi di DPRD, Perludem mengusulkan agar ada alternatif syarat agar parpol lebih serius mengusung paslon. Misalnya, dengan adanya syarat deposit sejumlah uang yang disimpan untuk keperluan pilkada.

Orientasi menang

Anggota Komisi Pemilihan Umum RI, Hasyim Asy’ari, menilai meningkatnya calon tunggal dalam kontestasi pilkada tidak selalu dipengaruhi masalah regulasi. Menurut dia, kemunculan calon tunggal melawan kotak kosong justru karena ada faktor psikologis politik, di mana parpol selalu berorientasi kemenangan. Masih sedikit parpol yang berorientasi pada fungsi lain, yaitu kaderisasi dan regenerasi politik.

”Tidak hanya regulasi yang harus diubah, tetapi juga bagaimana paradigma parpol supaya tidak hanya pragmatis terhadap kemenangan dalam pilkada. Mereka juga harus melakukan fungsi kaderisasi dan perekrutan agar fungsi mereka sebagai aktor utama pengisian jabatan pemerintah dapat dijalankan,” kata Hasyim.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menilai meningkatnya paslon tunggal di pilkada serentak disebabkan banyak hal. Pertama, calon petahana memiliki prestasi sangat baik sehingga sulit mencari pesaing andal. Hasto mengklaim hal itu terjadi di Kota Semarang, di mana petahana Hendi-Ita akan melawan kotak kosong.

Selain itu, Hasto menilai pelaksanaan pilkada di masa pandemi juga berdampak pada kecenderungan menguatnya calon petahana. Sebab, ruang gerak melakukan mobilisasi massa untuk kampanye terbatas.

Hasto juga menampik jika aturan ambang batas parlemen sebagai syarat pencalonan dari parpol memberatkan. Menurut dia, di era multipartai yang kompleks, diperlukan langkah konsolidasi demokrasi agar pemerintahan negara menjadi efektif. Hanya partai yang memenuhi syarat yang dapat mengusung calon tertentu. Jika tanpa ambang batas parlemen, justru tidak sesuai dengan agenda konsolidasi demokrasi.

Kemarin, PDI-P mengumumkan gelombang kelima paslon yang akan diusung di Pilkada 2020. Kota Surabaya, Jawa Timur, salah satunya. PDI-P memberi rekomendasi kepada Eri Cahyadi-Armuji untuk bertarung di Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya. Keputusan itu dibacakan Ketua Bidang Politik PDI-P Puan Maharani di Jakarta dan disiarkan secara daring.

Eri kemarin mengajukan pengunduran diri dari jabatan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya. Adapun Armuji ialah anggota DPRD Jatim (NAD/FLO/SYA/BRO/WER/JOL/EGI/DIT)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 3 September 2020 di halaman 2 dengan judul “Paslon Tunggal di Pilkada Menjamur” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/03/pasangan-calon-tunggal-di-pilkada-bakal-menjamur/