September 13, 2024

Covid-19 Iringi Pilkada 2020

Kekhawatiran Pilkada 2020 akan mempercepat dan memperluas penyebaran Covid-19, yang disampaikan masyarakat sipil beberapa bulan lalu, kini terbukti. Pemerintah dan penyelenggara pemilu didorong serius menyiapkan berbagai mitigasi, baik memperkuat aturan maupun sanksi, termasuk menentukan pada titik apa tahapan pilkada harus ditunda jika ketidakpatuhan pada protokol kesehatan terus terjadi dan kluster Covid-19 di pilkada menjamur.

Tiga hari pendaftaran calon peserta Pilkada 2020 di 270 daerah, 4-6 September, sebagian pasangan bakal calon kepala daerah mendaftar diiringi massa pendukung, bahkan ada yang menggelar arak-arakan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran calon peserta pilkada.

Selain itu, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (7/9/2020) sore, ada 46 bakal calon kepala daerah-wakil kepala daerah yang tersebar di 17 provinsi positif Covid-19. Sejumlah pengawas pemilu juga dilaporkan positif Covid-19. Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, 96 petugas pengawas pemilu ad hoc di 18 kecamatan positif Covid-19.

Personel KPU di sejumlah daerah juga akan menjalani tes usap (swab) Covid-19 karena saat pendaftaran ada bakal calon yang positif Covid-19, tetapi tetap hadir, seperti di Binjai (Sumatera Utara) dan Muna (Sulawesi Tenggara). Padahal, KPU mensyaratkan hanya pasangan bakal calon yang hasil tes usapnya negatif yang bisa hadir saat pendaftaran.

Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, menuturkan, KPU sudah mengantisipasi penyelenggaraan Pilkada 2020 pada situasi pandemi Covid-19 melalui sejumlah regulasi dan protokol. Namun, pelanggaran tetap terjadi, seperti bakal calon bahkan tetap hadir untuk mendaftar meski sudah tahu ia terpapar Covid-19. Selain itu, bakal calon tetap mengumpulkan massa, termasuk di luar kantor KPU.

Siapkan mitigasi

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan, pilkada saat kasus Covid-19 masih relatif tinggi menimbulkan risiko penularan yang juga tinggi. Meski Pilkada 2020 memiliki dasar dan pertimbangan yuridis, politik, dan moral kenegaraan, ancaman wabah Covid-19 tetap harus menjadi perhatian dan pertimbangan utama.

”Pilkada jangan sampai menjadi ajang penularan yang membuat negeri ini semakin berat menghadapi Covid-19. Politik dan demokrasi penting, tetapi jangan memperberat beban rakyat saat pandemi. Apalagi sampai mengorbankan jiwa sesama anak bangsa,” katanya.

Haedar menyoroti pengerahan massa oleh pasangan kandidat di hampir semua daerah. ”Kami sedih menyaksikan suasana kacau massa. Sejumlah calon kepala daerah yang baru mau mendaftar ke KPU saja sudah diarak massa, tanpa pembatasan jumlah orang dan tanpa protokol kesehatan. Padahal, waktu pilkada cukup lama, belum masuk kampanye yang biasanya rawan,” tuturnya.

Keprihatinan serupa disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo. Menurut dia, pelaksanaan tahapan pilkada serentak mulai mengkhawatirkan karena ditemukan banyak pelanggaran protokol kesehatan.

Sejauh ini, menurut ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, meski ada sejumlah pelanggaran, Pilkada 2020 belum perlu ditunda. Namun, penyelenggara dan peserta pilkada harus benar-benar mematuhi protokol kesehatan. Untuk itu, pemerintah perlu mempertegas sanksi. ”Sanksi harus membuat jera, kalau tidak percuma,” tutur Syahrizal.

Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhanil mendorong pemerintah dan penyelenggara pemilu membuat mitigasi agar protokol kesehatan dijalankan. Namun, kata dia, jika penyelenggara pilkada tak dapat memastikan protokol kesehatan dipenuhi secara ketat, Pilkada 2020 sebaiknya ditunda. ”Dengan demikian, pilkada tidak menjadi titik baru penyebaran Covid-19,” tuturnya.

UU Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2/2020 membuka peluang penundaan jika pemungutan suara tak dapat digelar Desember karena pandemi belum usai. Jika itu terjadi, pemungutan suara ditunda dan dijadwalkan kembali setelah pandemi berakhir.

Sebelum pilkada ditetapkan 9 Desember 2020, masyarakat sipil mendorong pilkada ditunda hingga 2021 karena khawatir pilkada memperluas Covid-19.

Ketegasan sikap

Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawas Pemilu menegakkan peraturan KPU secara tegas. Mereka yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 agar diperingatkan keras. ”Kalau penanganan Covid baik, kalau kesehatan baik, ekonomi juga akan baik. Hati-hati yang namanya kluster kantor, kluster keluarga, dan kluster pilkada,” kata Presiden.

Secara terpisah, Ketua Bawaslu Abhan menuturkan, Bawaslu telah melakukan pencegahan dengan mengingatkan parpol menjelang pendaftaran agar tidak mengerahkan massa dalam tahap pencalonan ini. Terkait sanksi, Bawaslu dapat memberikan rekomendasi agar KPU menjatuhkan sanksi administratif kepada bakal calon yang melanggar protokol kesehatan.

Sementara itu, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menyatakan, hingga Senin, Kemendagri mengirim 51 teguran kepada pejabat daerah atas pelanggaran selama proses pilkada, termasuk pelanggaran terhadap protokol kesehatan.

”Kami sedang mempertimbangkan opsi sanksi terhadap para paslon yang berkali-kali melanggar, kami akan berikan sanksi penundaan pelantikan dengan menyekolahkan mereka selama enam bulan baru kemudian dilantik. Ini opsi-opsi yang sedang dipertimbangkan,” katanya. (LAS/DEA/LSA/MEL/JAL/OKA/KOR/HRS/DIT/VIO/JOL/RAM/ITA/VDL/NIK/NSA/JUM)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 8 September 2020 di halaman 1 dengan judul “Covid-19 Iringi Pilkada 2020” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/08/covid-19-iringi-pilkada-2020/