September 13, 2024

Menimbang Dua Sisi Dampak Pilkada

Penyelenggara pemilu bersama pemerintah dan DPR telah mencapai kata mufakat untuk tidak menunda pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2020. Pemilihan tetap dilakukan di 270 daerah yang meliputi 9 pemilihan gubernur, 37 pemilihan wali kota, dan 224 pemilihan bupati.

Kesepakatan ini diambil di tengah menguatnya desakan publik, beberapa bulan terakhir, untuk menunda tahapan pilkada hingga kasus harian Covid-19 melandai. Pada Mei 2020, penolakan telah disampaikan melalui petisi daring yang diinisiasi kelompok masyarakat sipil. Petisi itu ditandatangani lebih dari 35.000 pengguna internet.

Senada dengan gerakan masyarakat sipil, harapan penundaan pilkada terekam di tiga jajak pendapat Litbang Kompas selama pandemi. Pada akhir Maret, 73,7 persen responden berharap pemungutan suara ditunda di seluruh daerah penyelenggara pilkada. Saat itu, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia di bawah 1.000.

Pandangan yang sama juga terefleksi di jajak pendapat April dan Juni saat jumlah kasus positif Covid-19 terus merangkak naik. Sekitar dua pertiga responden berharap penyelenggaraan pilkada ditunda dan pilkada diselenggarakan pada 2021.

Faktor kesehatan

Munculnya penolakan publik selama hampir tujuh bulan terakhir terhadap kelanjutan pilkada bukan tanpa sebab. Setidaknya terdapat dua hal mendasar yang melandasi penolakan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, yakni dari sisi kesehatan dan penyelenggaraan. Kedua hal ini sekaligus jadi tantangan dalam pelaksanaan pilkada pada 9 Desember.

Pertama dan yang sangat fundamental adalah dari sisi kesehatan mengingat penyelenggaraan pilkada dilakukan di tengah meningkatnya jumlah kasus positif Covid-19. Bahkan, pada September, untuk pertama kalinya penambahan pasien positif harian terkonfirmasi menembus 4.000 kasus.

Setidaknya terdapat dua hal mendasar yang melandasi penolakan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, yakni dari sisi kesehatan dan penyelenggaraan.

Kondisi di Indonesia berbeda dengan Korea Selatan atau Singapura yang tetap menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi. Saat tahap pemungutan suara, jumlah kasus harian di dua negara itu menunjukkan tren melandai.

Sementara di Indonesia, hingga kini laju penambahan kasus secara harian belum menunjukkan penurunan. Bahkan, sejumlah penyelenggara pemilu di pusat dan daerah terjangkit Covid-19. Di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, misalnya, dua komisioner dan enam staf KPU terkonfirmasi positif Covid-19. Kasus positif pada empat staf juga ditemukan di KPU Kabupaten Gorontalo.

Anggota KPU dan Bawaslu melihat kesiapan Rapat Pleno Terbuka Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon Dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya Tahun 2020 di ruang terbuka Hotel Singgasana, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (24/9/2020). Pasangan Eri Cahyadi-Armuji mendapat nomor urut satu sementara pasangan Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno mendapat nomor urut dua. Pilkada serentak sendiri akan berlangsung pada 9 Desember mendatang.

Kondisi yang sama juga terjadi pada pengawas, seperti Bawaslu Kabupaten Agam di Sumatera Barat (4 kasus), Bawaslu Depok di Jawa Barat (2 kasus), hingga kluster Bawaslu Boyolali di Jawa Tengah (103 kasus). Dengan fakta ini, wajar jika penyelenggaraan pilkada menimbulkan kekhawatiran publik.

Kekhawatiran juga muncul dari banyaknya jumlah pemilih usia lanjut sehingga rentan terinfeksi Covid-19. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, pada 2019, terdapat 1,6 juta penduduk berusia di atas 60 tahun di sembilan provinsi penyelenggara pemilihan gubernur. Jumlah ini belum termasuk kelompok usia rentan di provinsi lainnya yang menyelenggarakan pemilihan bupati dan wali kota. Tentu ini menjadi alarm sehingga perlu dirumuskan kebijakan agar tak membahayakan lansia saat pemungutan suara.

Kekhawatiran juga muncul dari banyaknya jumlah pemilih usia lanjut sehingga rentan terinfeksi Covid-19.

Tahapan pilkada

Kedua, kekhawatiran sekaligus tantangan juga muncul pada penyelenggaraan pilkada. Kampanye daring hingga partisipasi pemilih jadi tantangan terberat yang harus dihadapi.

Pada tahap kampanye, inovasi dengan melakukan penjabaran visi-misi secara daring mutlak diperlukan di tengah pandemi. Namun, daya papar ke berbagai lapisan menjadi sangat terbatas di sejumlah wilayah jika hanya mengandalkan kampanye daring.

Jika melihat sembilan provinsi penyelenggara pemilihan gubernur, belum semua masyarakat terbiasa mengakses internet. Di Sulawesi Tengah, misalnya, pada 2019, BPS mencatat 35,52 persen individu menggunakan internet. Persentase yang cukup rendah juga terlihat di Bengkulu (40,72 persen) dan Sumbar (41,15 persen). Maka, kualitas penyelenggaraan pilkada bisa terdegradasi andai sebagian besar pemilih tak mengenal program calon kepala daerah.

Tantangan lain yang harus dihadapi dari sisi penyelenggaraan adalah penurunan partisipasi pemilih. Kondisi ini dihadapi sejumlah negara yang melaksanakan pemilu di tengah pandemi. Salah satunya Iran yang hanya mencatatkan partisipasi pemilih 42,57 persen pada pemilihan parlemen akhir Februari. Menurut laporan Al Jazeera, partisipasi pemilih itu merupakan yang terendah sejak revolusi 1979.

Ada 28,1 persen responden yang menyatakan tak bersedia mencoblos jika pilkada dilakukan di tengah pandemi.

Potret kemungkinan penurunan partisipasi pemilih ini juga terekam di jajak pendapat Litbang Kompas pada 4-5 Juni 2020. Ada 28,1 persen responden yang menyatakan tak bersedia mencoblos jika pilkada dilakukan di tengah pandemi.

Anggota KPU 2012-2017 dan pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, menuturkan, ruang kemungkinan penurunan partisipasi pemilih terbuka karena kekhawatiran masyarakat terkait sektor kesehatan. Kondisi ini bisa berdampak pada kualitas demokrasi Indonesia.

”Bagian dari demokrasi itu bukan sekadar memberikan hak suara, melainkan masyarakat terlindungi. Dalam mengikuti proses demokrasi, masyarakat seharusnya tidak ketakutan. Ada jaminan masyarakat bisa dengan tenang memilih dan berpartisipasi,” kata Hadar.

Walakin, di tengah segala risiko penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi, terdapat beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan jika pilkada tetap diselenggarakan. Dari sisi penyelenggaraan, pelaksanaan pilkada di tengah kondisi saat ini dapat menjadi model dalam jangka panjang jika suatu daerah terdampak bencana.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, sisi lain yang perlu dilihat adalah aspek kepastian hukum bagi kepala daerah.

”Di tengah ketidakpastian akibat pandemi, tentu ada implikasi serius di dalam administrasi pemerintahan. Ketika pelaksana administrasi pemerintahan itu ditunjuk dengan pelaksana tugas, maka kewenangannya terbatas. Pelaksana tugas tak bisa mengambil kebijakan strategis, padahal kita berada di masa krisis sehingga dibutuhkan kepastian politik melalui kepala daerah,” kata Aditya.

Sebagai jalan tengah, KPU dan pemerintah perlu melakukan sejumlah hal, yakni perkuat regulasi dan sanksi, sosialisasi lebih gencar, dan penyiapan teknis pemungutan suara yang memenuhi tuntutan protokol kesehatan.

Di tengah segala ketidakpastian akibat pandemi, pemberian hak perlindungan diri dan politik tetap perlu dipastikan untuk berjalan beriringan jika pilkada tetap dilakukan pada 9 Desember. Jangan sampai pilkada yang selayaknya jadi pesta demokrasi justru berubah menjadi bencana demokrasi yang abai dengan aspek kesehatan manusia. (DEDY AFRIANTO/LITBANG KOMPAS)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 28 September 2020 di halaman 3 dengan judul “Menimbang Dua Sisi Dampak Pilkada”. https://www.kompas.id/baca/riset/2020/09/28/menimbang-dua-sisi-dampak-pilkada/