August 8, 2024

Bawaslu Perlu Diberi Kewenangan Audit Investigasi Dana Kampanye

Penguatan regulasi mengenai pelaporan dana kampanye diyakini akan bisa menjamin transparansi dan akuntabilitas dana kampanye pasagan calon dalam pilkada. Selama ini, pelaporan dana kampanye dalam pilkada maupun pemilu hanya formalitas, karena tidak dapat diinvestigasi dan dipastikan kebenarannya.

Sebagaimana diberitakan, berdasarkan data yang diunggah di laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), infopemilu2.kpu.go.id, hingga Selasa (29/9/2020), sebanyak 715 pasangan calon kepala/wakil kepala daerah sudah menyampaikan laporan awal dana kampanye (LADK). Meski demikian, dari laporan yang masuk, banyak pasangan calon yang mengisi LADK sangat rendah dibandingkan dengan batas pengeluaran dana kampanye yang dibolehkan.

Calon bupati dan wakil bupati Kepulauan Konawe, Musdar dan Ilham Jaya, misalnya, hanya melaporkan Rp 100.000 dari limit pengeluaran Rp 3,1 miliar. Bahkan, calon bupati dan wakil bupati Kepahiang, Ujang Syaripudin-Firdaus Jaelani, hanya menyampaikan LADK Rp 50.000. Sementara calon bupati dan wakil bupati Pegunungan Arfak, Yosias Saroy dan Marinus Mandacan, melaporkan LADK sebesar nol rupiah. Di luar itu, masih banyak yang melaporkan penerimaan LADK sangat minim mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 1 juta (Kompas, 29/9/2020).

Persoalannya ada di audit dana kampanye yang sifatnya hanya administratif, tidak masuk hingga memastikan kebenaran data yang dilaporkan oleh para calon tersebut (Alwan Ola Riantoby)

Terkait hal ini, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby, mengatakan, tren pelaporan yang semacam itu menunjukkan calon kepala daerah tidak serius dalam melaporkan dana kampanye, karena kebanyakan yang dilakukan oleh mereka hanya untuk memenuhi syarat administrasi saja. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada secara jelas mengatur sanksi administratif, bahkan diskualifikasi bagi calon yang tidak tertib dalam melaporkan dana kampanye.

“Persoalannya ada di audit dana kampanye yang sifatnya hanya administratif, tidak masuk hingga memastikan kebenaran data yang dilaporkan oleh para calon tersebut. Kalau laporan awal dana kampanye Rp 100.000 itu kan tidak mungkin, jika dibandingkan dengan aktivitas kampanye yang masif. Ini tentu harus ditelusuri dan melalui kewenangan investigasi. Bawaslu bisa mengambil peran investigasi ini sebenarnya,” kata Alwan.

Kewenangan investigasi itu harus diatur di dalam UU. Dengan demikian, Bawaslu memiliki kewenangan yang jelas dan dalam menginvestigasi setiap uang masuk dan keluar, serta mengetahui apakah ada kejanggalan dalam penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Salah satu hal penting lainnya ialah memastikan uang atau dana kampanye yang dilaporkan itu memang benar adanya, dan tidak dimanipulasi.

Dengan ketentuan yang ada saat ini, Bawaslu tidak memiliki kewenangan itu, sehingga uang yang dilaporkan hanya diperiksa secara administratif, tetapi tidak dapat dipastikan apakah betul uang itulah yang digunakan untuk berkampanye. Di sisi lain, juga ada penerimaan barang dan jasa yang tidak dapat dinominalkan, sehingga cenderung menjadi celah bagi masuknya sumbangan-sumbangan yang nilai nominalnya melebihi batasan yang diperbolehkan UU.

“Rekening khusus dana kampanye (RKDK) tidak mencerminkan aliran uang masuk dan keluar yang benar-benar untuk kampanye, karena kerap kali nominalnya hanya formalitas. Penggunaan rekening lain oleh paslon dan tim sukses juga sukar untuk ditelusuri, karena dari rekening-rekening lain itulah sebenarnya perputaran uang paslon selama kampanye kelihatan. Untuk bisa mengungkap ini semua perlu kewenangan investigasi,” kata Alwan.

Saat ini, Bawaslu tidak memiliki kewenangan itu, sehingga uang yang dilaporkan hanya diperiksa secara administratif, tetapi tidak dapat dipastikan apakah betul uang itulah yang digunakan untuk berkampanye.

Terkait dengan kewenangan investigasi ini, dalam penyusunan draf Rancangan Undang-undang Pemilu, ada norma yang memberikan kewenangan bagi Bawaslu untuk melakukan investigasi dalam audit dana kampanye. Namun, untuk sementara kewenangan ini belum disetujui karena masih mentah dan belum disepakati oleh parpol-parpol. Norma itu tercantum di dalam draf 6 Mei 2020.

Ketentuan itu diatur di dalam Pasal 463 draf RUU Pemilu, tangal 6 Mei 2020. Pasal 463 Ayat (1) berbunyi, “Dalam hal ditemukan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan, Bawaslu dan Bawaslu provinsi berwenang melakukan audit investigatif. Kewenangan itu diperjelas di ayat (2), yang berbunyi, “Dalam hal audit investigatif sebagaimana dimaksud Ayat (1) menemukan dugaan pelanggaran administratif laporan akhir dana kampanye, Bawaslu dan Bawaslu Provinsi merekomendasikan kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk memberikan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Belum disetujui

Ketua Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU Pemilu Arif Wibowo mengatakan, usulan untuk memberikan kewenangan investigasi kepada Bawaslu dalam audit dana kampanye boleh saja direalisasikan dalam regulasi yang baru. Namun, perlu untuk dipertimbangkan kompetensi Bawaslu dalam melakukan itu.

“Jangan sampai diberi kewenangan banyak, tetapi tidak bisa berjalan juga. Oleh karena itu, postur masing-masing penyelenggara atas tugas dan fungssi, serta tanggung jawabnya itu juga kita perhatikan. Ini yang harus direstrukturiasi dan reorganisasi terhadap penyelenggara supaya tidak berlebihan,” katanya.

Arif mengatakan, prinsip utama di dalam pelaporan dana kampanye ialah pengawasan. Pengawasan itu apakah cukup dijalankan oleh Bawaslu, ataukah oleh lembaga lain, harus dibahas lebih mendalam dalam penyusunan RUU Pemilu. Saat ini, RUU itu sedang dalam proses harmonisasi di Baleg DPR, dan belum dibahas kembali untuk dimintai persetujuan fraksi-fraksi.

Di dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu maupun UU No 10/2016 tentang Pilkada, ketentuan mengenai pelaporan dana kampanye itu telah ada, termasuk kewenangan audit oleh akuntan publik terhadap laporan akhir penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Menurut Arif, aturan itu sebenarnya sudah memadai. Menyangkut adanya LADK calon kepala daerah yang tidak logis, karena hanya melaporkan Rp 50.000, bahkan Rp 0, itu dipandangnya sebagai ketidaksiapan pasangan calon.

“Soal LADK ini saya akui memang paslon terlihat tidak siap membuat laporan. Ini kan semua paslon sibuk dengan protokol kesehatan. Jadi mungkin saja paslon tidak terlalu perhatian dengan pelaporan dana kampanye. Jadi dalam kondisi ini pasti ada yang tercecer. Untuk melaporkan dana kampanye itu kan memerlukan waktu konsolidasi, dan sebenarnya masih ada tahapan pelaporan berikutnya, yakni LPSDK (laporan penerimaan sumbangan dana kampanye),” katanya.

KPU diharapkan lebih masif melakukan sosialisasi terkait dengan pelaporan dana kampanye kepada paslon, sehingga ada kesadaran dari paslon untuk menanggapi hal ini secara serius.

Di sisi lain, KPU diharapkan lebih masif melakukan sosialisasi terkait dengan pelaporan dana kampanye kepada paslon, sehingga ada kesadaran dari paslon untuk menanggapi hal ini secara serius.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pimpinan Komisi II memberikan perhatian terhadap isu dana kampanye. Pelaporan LADK Pilkada 2020 menjadi cerminan perlunya penguatan pengawasan terhadap tahapan pelaporan dana kampanye di dalam regulasi yang baru. Akuntabilitas dan transparansi dana kampanye menjadi salah satu hal yang dibahas di dalam RUU Pemilu.

“Kan tidak mungkin paslon punya rekening isinya hanya Rp 50.000 atau Rp 100.000. Itu kan seperti syarat membuka rekening saja di kampung. Jadi isinya hanya segitu, karena syarat buka rekening saja. Ke depan ini tentu harus dibenahi, bagaimana supaya audit dana kampanye bisa jelas, dan dana kampanye yang dilaporkan juga tidak aneh-aneh begini. Kalau ada kejanggalan tentu publik makin tidak percaya dengan paslon bersangkutan,” katanya. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/10/02/penguatan-aturan-jamin-transparansi-dana-kampanye/