September 13, 2024

Kampanye Tatap Muka Kian Intens, Jumlah Pasien Covid-19 Meningkat

Jumlah pelanggaran protokol kesehatan di Pemilihan Kepala Daerah 2020 terus meningkat. Di enam provinsi yang menggelar pemilihan, jumlah pasien Covid-19 meningkat. Data dari Badan Pengawas Pemilu ini diharapkan menjadi dasar untuk mengevaluasi gelaran pemilihan di tengah pandemi Covid-19, termasuk membuka opsi menunda pemilihan.

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Minggu (18/10/2020), sejak kampanye Pilkada 2020 yang dimulai pada  26 September hingga 15 Oktober, terjadi total 375 pelanggaran protokol kesehatan, terutama saat kampanye tatap muka. Jumlah pelanggaran bertambah 138 kasus dibandingkan pada 10 hari pertama masa kampanye.

Anggota Bawaslu Bidang Penindakan Ratna Dewi Petalolo saat dikonfirmasi mengatakan, pelanggaran protokol kesehatan yang terus terjadi tidak bisa disepelekan. Sebab, di tengah pandemi Covid-19, mereka dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan orang lain.

Jenis pelanggaran protokol kesehatan itu seperti pertemuan terbatas yang melibatkan lebih dari 50 orang, tidak menjaga jarak aman, dan tidak mengenakan masker. Berdasarkan catatan Bawaslu, pada pekan ketiga kampanye ini, ada sebanyak 16.468 kampanye tatap muka di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Jumlah itu meningkat hampir dua kali lipat daripada kampanye 10 hari pertama yang hanya 9.189 kegiatan.

”Kampanye daring (online) yang diharapkan menjadi alternatif pencegahan penularan Covid-19 ternyata belum banyak menjadi pilihan. Ada faktor koneksi internet, hingga efektivitas kampanye daring yang kurang menguntungkan untuk mendongkrak elektabilitas paslon yang dijadikan alasan,” kata Ratna.

Bawaslu telah menindaklanjuti pelanggaran protokol kesehatan itu dengan menerbitkan peringatan tertulis untuk tim kampanye. Ada 233 surat peringatan tertulis yang dikeluarkan Bawaslu pada pekan ketiga kampanye ini. Selain itu, ada 35 kampanye tatap muka yang dibubarkan secara paksa oleh kepolisian ataupun oleh petugas satuan polisi pamong praja.

Peningkatan Covid-19

Bawaslu pun menyandingkan data intensitas kampanye pertemuan terbatas dengan peningkatan pasien Covid-19 di sembilan provinsi yang menyelenggarakan pilkada. Hasilnya, ada peningkatan pasien Covid-19 di enam dari sembilan provinsi penyelenggara pilkada.

Di Jambi, misalnya, ada 1.222 kampanye pertemuan terbatas pada 20 hari kampanye. Hasilnya, ada peningkatan penularan Covid-19 sebanyak 120 kasus positif. Di Sumatera Barat, ada 278 kampanye dan kasus positif Covid-19 meningkat sebanyak 149 kasus. Di Sulawesi Utara, ada 55 kampanye pertemuan terbatas. Di masa awal kampanye, kasus positif Covid-19 sempat menurun. Namun, setelah itu bertambah 54 kasus.

Ratna Dewi menjelaskan, memang belum ada penelusuran lebih jauh apakah kasus baru tersebut akibat kampanye. Namun, melihat banyaknya kampanye pertemuan terbatas, pihak berwenang, yaitu Satuan Tugas Penanganan Covid-19, harus melacak dan menelusuri kasus ini.

Bawaslu pun berharap data peningkatan kasus Covid-19 dapat dimanfaatkan oleh Satgas Covid-19 di daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah setempat dapat meningkatkan upaya pencegahan Covid-19.

”Bawaslu berharap data tersebut berfungsi sebagai percepatan penindakan protokol kesehatan. Setelah kami keluarkan data, harapannya Satgas Covid-19 di daerah dapat menindaklanjutinya,” kata Ratna.

Selain kesadaran paslon, tim kampanye, dan masyarakat, menurut Ratna, tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan juga dipengaruhi oleh masih ringannya sanksi. Dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020, sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan masih sangat ringan, yaitu teguran tertulis dan pemotongan masa kampanye selama tiga hari.

Sejak awal, kata Ratna, Bawaslu sebenarnya sudah mengusulkan agar sanksi dibuat tegas dan menimbulkan efek jera.

”Memang kepatuhan ini sangat tergantung dari kesadaran paslon dan tim kampanyenya. Sebagai calon kepala daerah, seharusnya mereka memberikan contoh yang baik kepada masyarakat,” kata Ratna.

Tunda pilkada

Sementara itu, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan, hasil pengawasan Bawaslu itu sebaiknya digunakan untuk mengevaluasi gelaran pilkada.

Sejak awal, banyak akademisi dan epidemolog sudah mengingatkan pemerintah akan risiko penularan Covid-19 di pilkada. Apalagi, dalam situasi terkini, ancaman penularan virus tidak hanya dari kampanye pilkada. Di sejumlah daerah, unjuk rasa penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja juga memperluas potensi penularan virus.

Pilkada, menurut Hermawan, dapat menjadi kluster penularan Covid-19 dengan model penularan senyap. Apalagi jika tidak ada peningkatan kapasitas tes dan pelacakan secara massal. Hal ini seharusnya menggerakkan pemerintah untuk melakukan evaluasi guna menentukan langkah selanjutnya.

”Melihat perkembangan situasi terkini, di mana angka positif Covid-19 diprediksi  mencapai 400.000 kasus pada Oktober, dengan rata-rata penambahan kasus 4.000 per hari, pemerintah seharusnya mengevaluasi penyelenggaraan pilkada. Apalagi ada temuan Bawaslu itu. Buka opsi agar pilkada bisa ditunda,” tutur Hermawan.

Menurut Hermawan, jika ingin mengendalikan laju penularan Covid-19 di Indonesia, penundaan pilkada tidak cukup hanya dilakukan parsial di zona merah atau oranye. Sebab, menurut dia, penularan Covid-19 tidak terbatas hanya di daerah yang zona merah atau oranye.

”Penundaan pilkada secara parsial tidak akan menjadi solusi efektif karena virus telah menyebar secara senyap. Hal itu hanya bisa diketahui ketika daerah melakukan tes massal dan pelacakan kontak dengan baik. Jika tidak, status zonasi di daerah itu akan semu,” kata Hermawan.

Menanggapi usulan penundaan pilkada tersebut, Ratna mengatakan bahwa evaluasi menyeluruh penyelenggaran pilkada dapat dipertimbangkan. Namun, karena tetap digelarnya pilkada di tengah pandemi Covid-19 sudah menjadi keputusan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu,  sebaiknya semua pihak berkontribusi menciptakan pilkada yang aman dan sehat.

Data dari Bawaslu hendaknya dijadikan sebagai alarm agar semua pihak menaati protokol kesehatan.

Keyakinan KPU

Anggota KPU, I Dewa Wiarsa Raka Sandi, pun mengatakan, hingga saat ini opsi penundaan belum menjadi pilihan. KPU berkeyakinan data penularan Covid-19 di daerah sangat dinamis sehingga diharapkan pada saat hari pemungutan suara, kurva positif Covid-19 sudah melandai.

”Kami tetap melaksanakan tahapan karena belum ada keputusan baru soal ini (penundaan pilkada). Masukan dari semua pihak akan menjadi pengingat agar semuanya lebih waspada,” kata Dewa.

KPU saat ini juga terus menyosialisasikan agar peserta pilkada dapat mengoptimalkan kampanye daring saat kampanye. Kampanye daring dipercaya dapat meminimalkan penularan Covid-19.

Dari data KPU, baru 4 persen calon dalam pilkada yang melakukan kampanye secara daring. Sisanya masih menggunakan metode tatap muka. Namun, dalam perkembangannya, semakin hari semakin banyak paslon melaporkan akun resmi media sosial untuk berkampanye. Optimalisasi penggunaan akun media sosial sebagai media kampanye ini harus didorong ke depan.

”Memang, mengubah kultur kampanye dalam waktu singkat tidak mudah. Namun, kami terus upayakan agar kampanye daring dioptimalkan,” kata Raka. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/10/19/epidemolog-evaluasi-dan-buka-opsi-penundaan-pilkada/