Buruknya peforma Pemerintah dalam penanganan Covid-19, berimbas pada banyak hal, termasuk pagelaran Pilkada Serentak 2020, sebagai pesta politik terpenting tahun ini. Publik cemas, terutama melihat banyaknya pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan paslon pada tahapan pendaftaran calon dengan arak-arakan kerumunan masssa, yang menjadi mangsa empuk bagi virus ini. Ditambah lagi, tiga komisioner KPU dan lebih dari 60 orang bapaslon terkonfirmasi positif Covid-19.
Parahnya, pada PKPU 10/2020 Pasal 63 ayat (1) masih memperbolehkan kampanye dalam bentuk konser musik hingga gerak jalan, yang jelas menimbulkan kerumunan. Terbaru, KPU menerbitkan lagi perubahan atas PKPU a quo, yakni PKPU 13/2020 yang lebih tegas mengatur protokol kesehatan pilkada seperti pada Pasal 60 ayat (2), yang bahkan mengatur cara penggunaan masker. Namun, pengaturan sanksi masih kurang tegas. Sanksi yang diatur pada Pasal 88A dan 88B terkait pelanggaran protokol kesehatan misalnya, hanya sebatas peringatan tertulis berkala hingga penundaan pengundian nomor urut, yang jelas tidak menimbulkan efek jera.
Pasal 88C PKPU 13/2020, mungkin yang paling memiliki sense of crisis di masa pandemi. Pasal a quo kemudian merevisi pengaturan Pasal 63 ayat (1) PKPU 10/2020 seperti pembolehan terhadap konser musik, gerak jalan, dan kegiatan berkerumun lainnya. Namun, dalam PKPU 13/2020 Pasal 88C, sanksinya pun tidak tegas, hanya peringatan tertulis dan pembubaran paksa. Selebihnya, hanya terdapat sanksi administratif. Bahkan sanksi diskualifikasi pencalonan juga tidak terdapat dalam PKPU 13/2020 yang terbaru.
KPU tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Pasalnya, PKPU merupakan amanat dari UU 10/2016 tentang Pilkada, yang telah direvisi oleh Perppu 2/2020. Mengingat asas lex superiori derogat legi inferiori atau hukum yang tinggi mengenyampingkan hukum yang rendah, PKPU 13/2020 tidak dapat menambah norma baru selain yang diatur Perppu tersebut. Pasalnya, Perppu 2/2020 yang merevisi UU 10/2016 tentang Pilkada, tidak menambah pengaturan terkait ketentuan pidana, sehingga ketentuan pidana hanya terdapat pada UU 10/2016, yang pastinya tidak kompatibel dalam menghadapi pandemi. Perppu a quo hanya memberikan peluang penundaan pilkada pada Pasal 120 ayat (1). Pasal ini menambah nomenklatur “bencana non-alam” sebagai salah satu faktor penundaan pilkada, sehingga pandemi Covid-19 dapat dimasukkan menjadi faktor.
Di sisi lain, PKPU juga dilarang memuat ketentuan pidana. Pasal 15 UU 12/2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan, jelas menyatakan yang boleh memuat ketentuan pidana hanyalah undang-undang dan peraturan daerah. Hal ini bermuara pada ketidak tegasan sanksi bagi pelanggaran protokol kesehatan pada pilkada, hanya sebatas diganjar sanksi administratif.
Keistimewaan Presiden
Berdasarkan ketentuan Pasal 122A ayat (2), KPU, Pemerintah, dan DPR, secara bersama-sama memutuskan adanya penundaan pilkada. Namun, walaupun banyak pelanggaran protokol kesehatan dan munculnya kluster Covid-19 pada Pilkada 2020, ketiga lembaga negara itu memutuskan untuk tetap melanjutkan Pilkada. Padahal, pandemi Covid-19 sangat berpotensi membentuk klaster baru pada Pilkada 2020 ini. Selain itu, kerangka hukum yang belum jelas dan berubah-ubah, dapat menjadi boomerang bagi para penyelenggara pilkada.
Solusi paling rasional, Presiden dapat menerbitkan Perppu. Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, Presiden diberikan hak istimewa untuk membuat kebijakan tertentu, tanpa perlu persetujuan pihak manapun. Inilah gambaran hak prerogatif yang diberikan pada presiden dalam menentukan kebijakan pada beberapa bidang. Salah satunya, bidang perundang-undangan. Presiden berwenang untuk membentuk Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang dan membentuk Perppu yang dapat merevisi dan mencabut undang-undang.
Namun, pembentukan Perppu tidak semabarangan. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa Perppu dibentuk bila terdapat kondisi hal ihwal kegentingan memaksa. Pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, MK memberikan restriksi dalam menentukan kondisi tersebut, semisal terdapat kebutuhan mendesak dan dibutuhkan undang-undang, terdapat kekosongan hukum atau undang-undang sudah ada namun tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat menunggu lama sampai adanya perubahan undang-undnag terkait. Namun, kuasa penetapan keadaan genting tersebut, hanya pada Presiden.
Perppu yang setingkat dengan undang-undang, juga memiliki materi muatan yang sama. Beberapa materinya meliputi amanat UUD 1945 dan Tap MPR, pengaturan tentang hak asasi dan kewajiban warga negara, pembagian kekuasaan negara, organisasi pokok lembaga negara, pembagian wilayah/daerah, hak atas kewarganegaraan, dan yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang lainnya. Namun, menurut Bagir Manan (1997), terdapat pembatasan materi Perppu seperti tidak mengatur soal kelembagaan negara, dan harus berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya, Perppu Pilkada yang lebih komprehensif, sangat mungkin diterbitkan segera.
Melihat kerangka hukum yang berubah-ubah, tidak tegas, dan cenderung abai pada kesehatan masyarakat, Presiden perlu menyatakan penundaan Pilkada 2020. Namun, penundaan saja tidak cukup. Pilkada 2020 harus tetap diselenggarakan, karena rakyat juga membutuhkan pilkada, sebagai sarana menilai petahana, apakah lanjut atau berhenti, serta sirkulasi elit.
Oleh karenanya, penundaan diperlukan untuk menyusun legal framework penanganan Covid-19 pada Pilkada 2020, agar lebih komprehensif dan tegas. Kerangka hukum yang diperlukan terutama untuk mencegah kerumunan orang, yang amat sulit dihindari pada pesta politik lima tahunan ini. Artinya perlu sanksi-sanksi yang lebih tegas daripada sekedar sanksi administratif.
Oleh karenanya, Perppu yang baru amat genting untuk diterbitkan. Perppu yang dapat mengandung materi seperti halnya undang-undang, dapat mengatur ketentuan pidana, terutama sebagai sanksi pelanggar protokol kesehatan (prokes). Sanksi pidana atau paling tidak sanksi diskualifikasi bagi pelanggar prokes pada tingkatan tertentu, dapat membuat jera para pelanggar. Hal ini, akan melengkapi kekurangan PKPU, yang tidak dapat mengandung ketentuan pidana atau norma yang tidak diatur dalam undang-undang diatasnya.
Selain itu, problem teknis seperti metode kampanye, balloting, hingga penghitungan suara, yang seringkali menimbulkan kerumunan massa, juga dapat diselesaikan. Ini yang menjadi tugas Perppu, lantaran UU 10/2016 yang tidak kompatibel dengan situasi pandemi, menentukan dengan rigid pengaturan-pengaturan seperti kampanye, balloting, hingga penghitungan suara. Hal ini tentu berimplikasi pada PKPU 13/2020 yang bertugas mengatur prokes masa pandemi, sehingga tidak bisa berbuat banyak, lantaran materinya tidak boleh memuat norma baru, selain UU 10/2016.
Ketentuan sanksi serta pengaturan teknis penyelenggaraan Pilkada 2020, menjadi penting untuk diperbaharui agar kompatibel dengan situasi genting yang kita alami saat ini. Oleh karenanya, para pihak yang berwenang, perlu untuk menunda pagelaran Pilkada 2020, sembari mempersiapkan kerangka hukum yang tepat dalam menghadapi pilkada di tengah pagebluk ini. Semoga, Presiden, DPR, dan KPU, masih ingat dengan adagium yang diujarkan Cicero, “salus populi suprema lex esto”, bahwa hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. []
KAHFI ADLAN HAFIZ
Pemagang di Perludem