August 8, 2024

PPP Ikuti PAN, Tolak Revisi UU Pemilu

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengikuti Fraksi Partai Amanat Nasional yang meminta agar Rancangan Undang-Undang Pemilu tidak dibahas. Alasannya, selain kondisi pandemi Covid-19, Undang-Undang Pemilu yang saat ini berlaku dinilai masih bisa digunakan untuk pemilu selanjutnya.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di DPR Amir Uskara, di Jakarta, Selasa (26/1/2021), mengatakan, fraksinya menginginkan agar Undang-Undang (UU) Pemilu yang berlaku sekarang, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017, tidak direvisi. UU Pemilu dipandang masih dapat diterapkan untuk pemilu mendatang. Bahkan, masih bisa diterapkan untuk 3-4 kali pemilu lagi.

”Jangan kesannya kita itu membuat UU Pemilu itu untuk menghadapi pemilu yang akan datang sehingga setiap lima tahun sekali ganti UU Pemilu. Waktu UU Pemilu (UU No 7/2017) itu dirumuskan, itu kan sudah melalui kajian mendalam, sehingga sebaiknya baru dievaluasi setelah berlaku untuk 3-4 kali pemilu,” katanya.

Amir mengatakan, pergantian atau revisi UU Pemilu yang kerap dilakukan mengesankan pembentukan UU itu hanya untuk kepentingan pemilu sesaat, dan tidak untuk kepentingan jangka panjang.

Selain itu, dalam setiap pembahasan revisi UU Pemilu, masing-masing partai politik memiliki kepentingannya masing-masing.

”Ini membuat hubungan antarparpol dalam setiap pembahasan kurang harmonis, karena masing-masing dari kita mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Setiap parpol memiliki agenda berbeda-beda. Makanya, lebih baik untuk kepentingan bangsa, UU Pemilu kita terapkan dulu 3-4 kali pemilu barulah kita evaluasi,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan juga meminta agar RUU Pemilu tidak dibahas. Alasannya, UU Pemilu yang ada saat ini masih baru, dan baru diterapkan pada Pemilu 2019. Ia juga menilai penyelenggaraan pemilu dengan acuan hukum UU No 7/2017 berjalan cukup baik, sekalipun perlu perbaikan aturan turunan.

Kedua, menurut Zulkifli, pembuatan UU tidaklah mudah. Ada banyak kepentingan yang harus diakomodasi dalam UU itu, termasuk kepentingan partai politik, pemerintah pusat dan daerah, penyelenggara pemilu, serta masyarakat. ”Padahal, dengan mengubah UU yang ada, tidak ada jaminan akan lebih baik dari yang ada saat ini,” ujarnya.

Di sisi lain, menurut Zulkifli, penanganan Covid-19, baik dari sisi pemutusan mata rantai penyebaran virus maupun pemulihan ekonomi nasional, sebaiknya menjadi prioritas utama seluruh anak bangsa saat ini. Energi DPR dan pemerintah sebaiknya diarahkan sepenuhnya dalam rangka menuntaskan kedua masalah tersebut.

Perubahan sikap

Terkait sikap dari kedua fraksi tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengaku baru mengetahuinya. Namun, saat penyusunan draf RUU Pemilu di Komisi II DPR, semua fraksi disebutnya telah menyetujui revisi UU Pemilu.

”Saya belum tahu ada perkembangan itu. Sebab, saat pembahasan draf bersama fraksi-fraksi, semua setuju soal revisi UU Pemilu. Draf ini juga inisiatif DPR. Artinya, ketika DPR menginisiasi revisi UU Pemilu, maka itu sudah menjadi kesepakatan bersama,” ujarnya.

Saat pembahasan draf RUU Pemilu, lanjut Saan, perwakilan kedua fraksi juga ikut serta dan memberikan masukan. Namun, menyikapi penolakan pembahasan oleh dua fraksi itu, pimpinan Komisi II akan menyerahkannya pada proses dan dinamika politik yang berkembang.

”Ya, nanti akan kita lihat bagaimana dinamika politik yang berkembang. Karena saat ini juga belum ada pembahasan. Nanti ketika sudah selesai di Baleg (Badan Legislasi), dan disepakati menjadi RUU inisiatif DPR, lalu dikirim ke presiden, kita akan lihat dinamika pembahasannya seperti apa,” ungkapnya.

Terkait dengan alasan yang dikemukakan Fraksi PPP dan PAN, menurut Saan, tidak sesuai dengan semangat awal ketika Komisi II menginiasi revisi UU Pemilu. Menurut dia, UU Pemilu perlu direvisi karena ada beberapa hal mendesak yang harus dievaluasi dan diperbaiki.

Pertama, desain pemilu saat ini menyisakan persoalan polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Dalam dua kali pemilu presiden (2014 dan 2019) hanya ada dua capres. Hal ini memicu polarisasi yang tajam di masyarakat. Untuk mengubah itu diperlukan perubahan regulasi terkait dengan ambang batas pencalonan presiden. Perubahan ambang batas itu hanya dimungkinkan melalui perubahan UU Pemilu.

Kedua, dari sisi penyelenggaraan pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat terbebani oleh keserentakan pemilu lima kotak seperti berlaku di Pemilu 2019. Hal ini perlu dievaluasi untuk mencegah kualitas pemilu menurun. Sebab, lanjut Saan, pengalaman Pemilu 2019 menunjukkan pemilu legislatif isunya tenggelam oleh ingar bingar pilpres. Di sisi lain, hasil pemilu ternyata juga belum bisa memperkuat sistem presidensial.

”Melalui perubahan UU Pemilu, kita ingin mengevaluasi itu semua. Justru ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem politik kepemiluan kita. Bahkan, di dalam draf, kami menggabungkan antara pengaturan pilkada dan pemilu. Kenapa, karena pada dasarnya penyelenggaranya sama, dan mekanismenya juga sama. Oleh karena itu, kenapa pilkada harus diatur terpisah,” ucapnya.

Menanggapi kritik soal UU Pemilu yang direvisi setiap lima tahun, menurut Saan, hal itu dapat dipahami. RUU Pemilu yang kini sedang diharmonisasi di Baleg DPR harapannya akan berlaku lebih lama.

”Revisi UU Pemilu yang kita lakukan saat ini memang tujuannya jangka panjang, yakni menciptakan tatanan politik yang lebih baik, sehingga ke depan tidak lagi ganti setiap lima tahun sekali. Bahkan, ke depannya, kami ingin UU ini menjadi komprehensif dan terintegrasi serta tidak parsial. Nantinya tidak hanya UU Pilkada yang mau disatukan, tetapi juga UU Parpol,” ucap Saan. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/26/dua-fraksi-minta-ruu-pemilu-tidak-dibahas/