August 8, 2024

Saatnya Partai Politik Bekerja

JAKARTA, KOMPAS – Partai politik sudah saatnya menggerakkan mesin politiknya untuk menyiapkan diri menjelang Pemilu 2024. Hasil survei Kompas, Desember-Januari 2021, serta survei dari Lembaga Survei Indonesia, akhir Januari 2021, menunjukkan konfigurasi parpol yang cenderung tidak berubah dari Pemilu 2019. Sejumlah parpol pun mengalami penurunan elektabilitas, sekalipun tidak mengubah posisinya dalam konstelasi politik nasional.

Pergerakan mesin parpol perlu dimulai karena persaingan dalam Pemilu 2024 diperkirakan akan kembali ketat, terutama karena tidak adanya petahana dalam pemilu presiden (pilpres). Sekalipun sejumlah nama tokoh yang dijagokan maju di dalam pilpres banyak muncul, dan asosiasinya dengn parpol juga telah dipetakan, tetapi belum ada yang dominan di antara nama-nama tersebut.

Hal itu antara lain terlihat dari laporan survei nasional LSI yang dirilis, Senin (22/2/2021), secara daring. Survei LSI menunjukkan ada tiga parpol besar bercokol di peringkat teratas dan menjadi top of mind (paling diingat di benak publik), yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan 20,1 persen, diikuti Gerindra dengan 11,0 persen, dan Golkar 8,3 persen. Survei LSI dilakukan secara tatap muka terhadap 1.200 responden.

Ada tiga parpol besar bercokol di peringkat teratas dan menjadi top of mind (paling diingat di benak publik), yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan 20,1 persen, diikuti Gerindra dengan 11,0 persen, dan Golkar 8,3 persen

Adapun hasil survei Kompas menempatkan elektabilitas PDI-P 19,7 persen, diikuti Gerindra 9,6 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 5,5 persen. Survei Kompas yang dilakukan secara tatap muka terhadap 2.000 responden (27 Desember 2020-9 Januari 2021) menunjukkan PDI-P masih memiliki elektabilitas tertinggi. Namun, elektabilitas PDI-P turun jika dibandingkan dengan survei Oktober 2019 (21,8 persen) dan Agustus 2020 (23,1 persen).

Demikian pula dengan Partai Gerindra. Elektabilitas parpol ini turun, jika dibandingkan dengan catatan dua survei Kompas sebelumnya, di mana keterpilihan Gerindra selalu di atas 12 persen.

Sementara itu, penurunan tajam dialami Golkar, yang kini elektabilitasnya 3,4 persen, atau jauh turun dibandingkan dengan survei Oktober 2019 (7,7 persen), dan Agustus 2020 (5,9 persen). Sebaliknya, PKB cenderung stagnan tetapi menunjukkan tren positif, yakni 5,3 persen pada survei Oktober 2019, dan 4,7 persen pada Agustus 2020. Kini, elektabilitas PKB naik menjadi 5,5 persen.

Penurunan tajam dialami Golkar, yang kini elektabilitasnya 3,4 persen, atau jauh turun dibandingkan dengan survei Oktober 2019 (7,7 persen), dan Agustus 2020 (5,9 persen)

Menanggapi hasil survei Kompas dan LSI, pengajar ilmu politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, survei dilakukan berdasarkan kecenderungan isu yang sedang berkembang. Penurunan elektabilitas PDI-P dan Gerindra tidak dapat dipungkiri terpengaruh oleh isu korupsi yang dilakukan oleh kedua kader mereka, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (Gerindra), dan Menteri Sosial Juliari Batubara (PDI-P).

“Khusus untuk parpol-parpol koalisi pemerintah, turunnya elektabilitas mereka antara lain ialah karena isu korupsi. Khusus untuk Gerindra, selain isu tersebut, bergabungnya mereka dengan pemerintah di sisi lain juga mengikis kepercayaan pendukung mereka. Sebab, Gerindra dianggap meninggalkan basis konstituen mereka yang memang tidak mau menjadi koalisi pemerintah,” kata Adi, saat dihubungi, Senin (22/2) dari Jakarta.

Sebaliknya,bagi partai-partai menengah, seperti PKB, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN), dan Demokrat, yang cenderung stabil, menurut Adi dipengaruhi oleh faktor ketiadaan capres yang mereka usung dalam Pemilu 2019. Akibatnya, mereka bermain murni untuk merebut perhatian dan simpati dari pemilih.

“Pemilihnya hanya itu-itu saja, dan stabil, karena tidak ada tolok ukur kinerja mereka selain kerja-kerja publik dan sosial yang mendekatkan diri dengan masyarakat. Dalam kondisi banjir, misalnya, kader partai-partai menengah akan turun ke lapangan membantu masyarakat. Ini sesuatu yang baik, sekaligus juga strategi partai agar memeroleh dukungan publik,” katanya.

Dari survei Kompas, tren elektabilitas yang cukup stabil dialami partai-partai yang berada di luar pemerintahan, yaitu PKS dan Partai Demokrat

Dari survei Kompas, tren elektabilitas yang cukup stabil dialami partai-partai yang berada di luar pemerintahan, yaitu PKS dan Partai Demokrat. Hasil survei Januari ini menunjukkan, tingkat keterpilihan PKS 5,4 persen, sedangkan Partai Demokrat di kisaran 4 persen. Angka ini tidak berbeda jika dibandingkan dengan survei LSI. Survei LSI menunjukkan, elektabilitas Demokrat 4,0 persen, sedangkan PKS 6,8 persen.

Pada survei Kompas maupun LSI, catatan rendah dicapai oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Survei Kompas menunjukkan, elektabilitas PPP turun menjadi 0,5 persen, turun dibandingkan Oktober 2019 (1,2 persen), dan Agustus 2020 (1,1 persen). Dalam survei LSI, elektabilitas PPP lebih baik, yakni 1,5 persen.

Belum dominan

Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, tetap bertahannya tiga partai besar yang menjadi top of mind responden, yakni PDI-P, Gerindra, dan Golkar, serta relatif bertahannya partai-partai menengah, di satu sisi menunjukkan partai-partai baru yang berada di luar parlemen (non-parlemen) belum menunjukkan adanya perbaikan dukungan secara signifikan dari publik.

“Parpol-parpol baru atau non-parlemen tampak belum memiliki perbaikan signifikan. Ini antara lain karena ada parpol-parpol yang menghidupkan mesinnya secara penuh,” ujarnya.

Djayadi juga menyoroti lemahnya party id atau asosiasi dan pengidentifikasian diri seseorang dengan partai di Indonesia. Party id paling tinggi ialah PDI-P, yakni dengan 35,4 persen responden yang mengidentifikasikan dirinya dengan partai tersebut. Di posisi kedua ada PKB dengan 13,1 persen. Selanjutnya Gerindra dengan 12,4 persen, Golkar 12,2 persen, dan PKS 8,6 persen.

Partai-partai baru yang berada di luar parlemen (non-parlemen) belum menunjukkan adanya perbaikan dukungan secara signifikan dari publik

Kondisi party id yang rendah itu, menurut Djayadi, memicu volatilitas atau pergeseran dukungan dari pemilu ke pemilu yang cukup besar. Perbedaan pilihan partai dengan pilihan presiden berpotensi terjadi, sebab kemelekatan seseorang terhadap parpol tertentu masih lemah.

LSI menyebut ada beberapa nama capres yang muncul di benak publik. Prabowo Subianto menjadi capres yang paling membekas di benak publik, yakni disebutkan oleh 25,3 persen responden. Selanjutnya, ada Ganjar Pranowo 14,7 persen, Anies Baswedan 13,1 persen, Sandiaga Uno 9,5 persen, Ridwan Kamil 6,9 persen, dan Agus Harimurti Yudhoyono 6,2 persen.

“Pemetaan awal pilpres ini menunjukkan belum ada calon presiden yang dominan. Bila UU Pemilu tidak diubah, karena tidak ada petahana dalam Pipres 2024, maka ada kemungkinan capres lebih dari dua pasang. Ini berarti seorang capres baru bisa disebut memiliki peluang cukup dominan bila secara konsisten memiliki elektabilitas 40 persen atau lebih, dengan asumsi ada tiga capres yang berkompetisi,” ujarnya.

Optimistis 2024

Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, PDI-P menjadikan survei sebagai salah satu instrumen evaluasi di dalam menghadirkan seluruh wajah ideal partai di tengah rakyat.

Benchmark yang paling fair adalah hasil Pemilu 2019. Dari benchmark tersebut menunjukkan bahwa PDIP relatif stabil. Saat ini, dengan proses konsolidasi menyeluruh yang dilakukan, serta infrastruktur partai yang paling lengkap, seperti adanya Badan Penanggulangan Bencana dan Sekolah Partai, PDIP siap menghadapi seluruh dinamika politik,” katanya.

Banyaknya kader PDI-P yang berhasil menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Pilkada 2020 menjadi spirit dan modal partai menyiapkan diri bagi kemenangan di Pemilu 2024

Hasto menyebutkan, banyaknya kader PDI-P yang berhasil menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Pilkada 2020 menjadi spirit dan modal partai menyiapkan diri bagi kemenangan di Pemilu 2024. Naik turunnya elektabilitas partai dipandang sebagai dinamika kehidupan politik partai.

“Yang penting, dalam dinamika itu konsolidasi partai tetap berjalan terus. Komitmen kebangsaan, kerakyatan, kemanusiaan dan keadilan sosial terus dikedepankan partai. Partai selalu melakukan tradisi kritik dan otokritik agar selalu berada pada rel kebenaran politik untuk membawa kejayaan Indonesia Raya,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, elektabilitas Demokrat yang relatif stabil di sejumlah survei menunjukkan efektivitas kepemimpinan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Semua gerak partai diarahkan untuk meraih simpati publik, mulai dari membagikan bantuan alat perlindungan dini (APD), membina UMKM, hingga penanganan banjir.

“Pilkada kemarin, capaian kami juga melampaui target. Ini menunjukkan gebrakan-gebrakan Ketum AHY memberikan efek. Hasil survei ini juga mengonfirmasi hal tersebut. Buktinya, parpol-parpol koalisi pemerintah mengalami tren penurunan,” katanya.

Bermodalkan hasil pilkada, Kamhar mengatakan, Demokrat meyakini akan mendapatkan hasil maksimal dalam Pemilu 2024. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 23 Februari 2021 di halaman 2 dengan judul “Saatnya Mesin Partai Bergerak”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/02/23/saatnya-partai-politik-bekerja/