August 8, 2024

KIPP, Setelah 25 Tahun Berlalu…

Malam, 28 Mei 1997, menjadi momen mencekam bagi sebagian mahasiswa dan aktivis demokrasi di Indonesia. Malam menjelang Pemilu 1997 itu dipenuhi kasak-kusuk, dan kelompok intelijen menajamkan inderanya. Benar saja, mahasiswa harus bergerak terus agar tidak diikuti dan digerebek. Mereka terutama yang bergabung dengan Komite Independen Pemantau Pemilu harus berpindah-pindah lokasi hanya untuk sekadar bertemu dan berkonsolidasi.

Komite yang disingkat  KIPP itu pernah dianggap sebagai ancaman oleh rezim yang berkuasa ketika itu. Didirikan 15 Maret 1996, dan digawangi  Goenawan Mohamad sebagai Ketua, serta Mulyana W Kusumah sebagai Sekretaris Jenderal, KIPP membuat gentar penguasa.

Saat itu, banyak pula tokoh  yang  bergabung, seperti Nurcholish Madjid, Arbi Sanit, Zoemrotin, Ridwan Saidi, Muchtar Pakpahan, Permadi, Ali Sadikin, dan Princen,  yang menjadi anggota Dewan Pertimbangan KIPP. Nama lain yang tercantum di  Dewan Pertimbangan antara lain Adnan Buyung Nasution, A Gaffar Rahman, Amartiwi Saleh, Arief Budiman, Dahlan Ranuwiharjo, Loekman Soetrisno, Marsilam Simanjuntak, Nursyahbani Katjasungkana, dan Romo Hardoputranto (Kompas, 16/3/1996).

Baru dua hari dideklarasikan,  16 provinsi di Indonesia secara maraton mendeklarasikan diri sebagai jaringan sukarelawan atau anggota pemantau pemilu dalam KIPP. KIPP  jadi  forum pertama di Tanah Air yang mendedikasikan diri pada pemantauan pemilu, dan lebih luas lagi pada praktik demokrasi di Indonesia.

Malam menjelang pemilu terakhir era Orde Baru, Ray Rangkuti (51) harus diam-diam berkonsolidasi dengan teman-teman sesama sukarelawan KIPP di sejumlah tempat di Jakarta. Setiap satu jam, mereka harus berpindah tempat pertemuan. Jangan sampai ketahuan intel yang disebar di mana-mana. Beberapa hari sebelumnya, sejumlah pejabat  mewanti-wanti, KIPP jangan menjadi organisasi tandingan, atau KIPP jangan bertindak di luar undang-undang (UU).

”Saya lupa siapa yang bilang, tetapi ketika itu memang sampai ada omongan dari pejabat, kalau KIPP macam-macam, kami sikat,” kata Ray, Minggu (14/3/2021) di Jakarta.

Ray yang juga pendiri Lingkar Madani  itu mengenang, dirinya yang masih mahasiswa ketika itu berperan sebagai tukang antar surat dari pergerakan KIPP. Ray belakangan menjadi Koordinator Pelaksana KIPP di awal 2000-an.

Dari arsip Kompas, pejabat yang dimaksud Ray itu ialah Jaksa Agung Singgih. Dalam pemberitaan Kompas, 19 Maret 1966, Singgih menegaskan semua laporan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu akan dibahas di  Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu, dan dinilai apakah benar ataukah fitnah.

”Memberi masukan boleh saja asal sesuai jalur hukum, yaitu masukan yang positif untuk meningkatkan kualitas dan obyektivitas pemilu, serta sesuai ketentuan perundang-undangan. Tapi, kalau menimbulkan hal-hal yang dapat menghambat, mengacaukan pelaksanaan pemilu, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ya disikat,” ujarnya saat itu.

Kegiatan pemantauan pemilu ketika itu dianggap di luar ”sistem” yang berlaku di Indonesia, dan mendapat kawalan ketat. Berdirinya KIPP, menurut Ray, menunjukkan kesadaran rakyat saat itu bahwa praktik pemilu di Indonesia tidak sesuai dengan asas negara demokrasi. Klaim pemilu berjalan langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) dinilai sebagai slogan semata karena praktiknya pemenang pemilu sudah dapat diketahui bahkan sebelum pemilu.

Mereka yang tergabung di KIPP pun bukan dari kelompok tertentu saja. ”Semua kalangan dari yang paling kiri sampai paling kanan ada di sana. Ini hal baru. Dengan adanya KIPP, kesadaran rakyat terhadap demokrasi yang diwujudkan melalui pemilu tumbuh. Wajar saja ketika itu Soeharto takut sekalipun kekuatannya besar,” ucap Ray.

Namun, semangat dasar dari pembentukan KIPP itu adalah demokratisasi, tidak semata-mata pemantauan teknis terhadap pelaksanaan pemilu. Ray mengemukakan, ide awal dari pembentukan KIPP itu sebenarnya lahir dari pemikiran Nurcholish Madjid. Dalam salah satu diskusinya dengan kelompok mahasiswa dan pegiat demokrasi, Nurcholish atau Cak Nur menceritakan aktivitas politik di Jerman, yang dijalankan sebuah kelompok politik. Kelompok itu selama puluhan tahun mengawasi pemilu. Lama-lama kelompok itu bertransformasi jadi parpol besar di Jerman.

Inspirasi dari Cak Nur itu pula yang, menurut Ray, membuat ia dan elemen pendiri lain mengundang Cak Nur untuk hadir dalam pendirian KIPP, sekalipun enggan terlibat secara teknis. ”Cak Nur percaya pada proses. Makanya dari awal ia katakan mengawal demokrasi. Kalau demokrasinya terancam, ya, kita akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Itu terbukti, hanya dua tahun setelah KIPP berdiri, Soeharto jatuh,” ungkapnya.

Bertahan 25 tahun

Dalam perkembangannya, KIPP bertahan selama 25 tahun, berkontribusi mengawal pemilu dan demokrasi. Jaringannya di sejumlah daerah tumbuh dan selama enam kali pemilu berkontribusi pada pengawalan  pemilu. Jauh berbeda dari persepsi rezim sebelumnya, rezim reformasi justru mengakui prasyarat keberadaan pemantau pemilu dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu pun tidak lagi diselenggarakan eksekutif, tetapi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang  independen.

Dalam tugasnya, penyelenggara pemilu juga memberikan akreditasi dan mencatat secara resmi lembaga pemantau pemilu. Keberadaan pemantau pemilu diakui secara sah sebagai bagian dari syarat terlaksananya pemilu demokratis. Bahkan, dalam beberapa kali usulan para pakar, pengawasan pemilu dimintakan untuk dikembalikan kepada pemantau pemilu bersama dengan masyarakat dan media massa.

Dalam Pemilu 2019, misalnya, ada 51 lembaga pemantau pemilu yang  terdaftar dan diakreditasi  oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Perkembangan ini menunjukkan KIPP berhasil membuka pintu bagi hadirnya masyarakat luas untuk terlibat aktif dalam pemantauan pemilu. Rakyat tidak lagi pasif. Mereka turut aktif mengawasi dan melaporkan kecurangan dalam pemilu.

Anggota KPU RI yang  pernah menjadi anggota KIPP, Hasyim Asy’ari, mengatakan, sebagai lembaga pemantau pemilu yang pertama kali lahir di Indonesia, KIPP selama ini telah menjadi role model berbagai kelompok masyarakat dalam pemantauan pemilu. ”Tugas dan peran utama KIPP adalah untuk penguatan civil society sebagai dasar demokrasi di Indonesia,” ungkapnya.

Alami pasang-surut

Sekjen KIPP Kaka Suminta menyadari, selama 25 tahun  pasang surut dialami KIPP. Sebagai lembaga independen, KIPP harus bergulat dengan keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun biaya. Problem lainnya, kini banyak pegiat KIPP yang juga menjadi penyelenggara pemilu sehingga tarikan antara independensi dan semangat korps dalam pemantauan kerap kali menjadi dinamika tersendiri. Di satu sisi, regenerasi juga menjadi tantangan.

”Saat ini  mulai tumbuh pemantau pemilu dengan genre baru, yang berbeda dengan KIPP yang cenderung oposan dengan pemerintah atau penyelenggara. Ada pemantau pemilu yang kini embedded dengan penyelenggara atau pemerintah. Tetapi tentu ini bagian saja dari dinamika keterlibatan masyarakat sipil. Namun, kami di KIPP berusaha untuk independen,” kata Kaka.

Pendulum demokrasi yang bergerak ke arah yang kurang menguntungkan beberapa tahun terakhir, terlebih ketika terjadi pandemi Covid-19, diakui oleh Kaka, menyumbang pada pergulatan KIPP. Fenomena ini tidak hanya dialami KIPP, tetapi juga pemantau lain di sejumlah negara. Demokrasi tertekan di banyak negara. Hal itu berdampak pada situasi berat yang harus dihadapi kelompok pemantau pemilu. Kemunduran, misalnya, dihadapi juga di Thailand dan Filipina. Namun, dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia dan Singapura, perkembangan kelompok pemantau pemilu di Indonesia dinilainya masih lebih baik.

Kini, ratusan sukarelawan KIPP di sejumlah daerah berkiprah di banyak bidang. KIPP juga tidak hanya bergerak di  bidang advokasi dan pendidikan pemilu, serta pemantauan pemilu dan pilkada. Mereka juga mengawal agenda umum demokratisasi, baik di pusat maupun daerah. Setidaknya kini anggota aktif KIPP tersebar di 113 kabupaten/kota.

Relevansi

Keberadaan KIPP di saat demokrasi mengalami tekanan, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi  Khoirunnisa Nur Agustyati, justru sangat relevan. Masyarakat punya hak untuk memantau pemilu sebagai bagian dari syarat pemilu yang demokratis. Tidak bisa hanya diserahkan kepada penyelenggara.

Bersama organisasi pemantau pemilu lain, KIPP  diharapkan dapat mengoptimalkan kemajuan teknologi  untuk mengatasi kendala sumber daya manusia.

”Jika dulu harus hadir di lapangan, misalnya, kini bisa memanfaatkan teknologi informasi. Pemantauan pun tak hanya saat hari-H pemungutan suara, tetapi yang juga penting ialah bagaimana melakukan pendidikan kepada pemilih, dan pemantauan pada tahap lainnya,” ucap Khoirunnisa.

KIPP sudah bertahan mengawal pemilu dan demokrasi selama 25 tahun. Konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terjadi. Karena itu, tugas panjang masih menanti di depan. KIPP dan banyak elemen masyarakat sipil lainnya  tentu diharapkan mampu mengawal demokratisasi di Republik ini. (RINI KUSTIASIH)

Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 March 2021 di halaman 2 dengan judul “KIPP, Setelah 25 Tahun…” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/03/15/25-tahun-kipp-memantau-pemilu-mengawal-demokrasi/