September 13, 2024

Sengketa Pilkada 2020: Pelajaran dari Kasus Orient

Putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (15/4/2021), yang membatalkan kemenangan calon bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Orient Patriot Riwu Kore, akibat persoalan kewarganegaraan, menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mengintegrasikan data lintas instansi. Tanpa pembenahan integrasi data, kasus seperti Orient bisa terus terulang.

Orient, yang mengantongi kewarganegaraan Amerika Serikat, sempat lolos dalam tahap pencalonan, kemudian memenangi Pilkada Sabu Raijua 2020. Padahal, syarat calon kepala daerah ialah warga negara Indonesia. Kegagalan berlapis berbagai instansi untuk mendeteksi status warga negara ganda Orient membuat terbuangnya belasan miliar rupiah anggaran pilkada, sekaligus bisa memantik konflik di masyarakat.

Dalam putusan Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, kemarin, Mahkamah menyatakan penetapan Orient dan Thobias Uly sebagai bupati dan wakil bupati terpilih Sabu Raijua, batal. Selain itu, mereka juga didiskualifikasi sebagai pasangan calon nomor urut 2 dalam Pilkada Sabu Raijua.

MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sabu Raijua untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) pilkada dengan diikuti pasangan nomor urut 1 (Nikodemus N Rihi Heke dan Yohanis Uly Kale) serta pasangan nomor urut 3 (Takem Radja Pono dan Herman Hegi Radja Haba). PSU ini harus sudah dilakukan dalam tenggang waktu 60 hari kerja sejak putusan dibacakan.

Siap melaksanakan

Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menyampaikan, KPU akan melaksanakan putusan MK seoptimal mungkin. Ada beberapa hal yang dipersiapkan, yakni data pemilih, pembentukan badan ad hoc, dan anggaran. Sebagai gambaran, dalam pilkada lalu, pemerintah daerah mengucurkan Rp 15 miliar.

Menurut Dewa, kasus Orient perlu dijadikan pelajaran oleh semua pihak. Secara khusus bagi penyelenggara, prinsip kecermatan dan kehati-hatian dalam proses verifikasi faktual calon kepala daerah menjadi penting. Namun, menurut dia, KPU hanya bisa bekerja sesuai dengan aturan hukum dan tidak bisa bekerja sendiri untuk mencegah problem kewarganegaraan ganda. Dibutuhkan kerja sama semua pihak. Keterbukaan dan kejujuran para pihak juga dibutuhkan.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf menilai, kasus Orient terjadi karena ada problem di hulu, yakni di sistem data kependudukan. Sistem data kependudukan belum mampu menyaring dengan akurat status kewarganegaraan seseorang.

Hal itu lalu berlanjut pada proses verifikasi faktual calon kepala daerah yang juga tidak ketat. Alhasil, calon yang tidak memenuhi syarat kewarganegaraan juga dapat maju sebagai calon kepala daerah.

Kasus Orient ini, lanjut Asep, memberikan pelajaran bagi penyelenggara pemilu dan pemerintah agar membangun sistem data terintegrasi. Struktur sistem harus dibenahi dan diperkuat. KPU, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, serta Kementerian Hukum dan HAM perlu duduk bersama karena banyak persoalan status calon peserta pemilu dan pilkada bergantung pada instansi-instansi itu. Misalnya, menyangkut status kewarganegaraan.

Jika persoalan itu tak kunjung dibenahi, kata dia, kasus-kasus seperti ini bisa terulang kembali. Alhasil, ini merepotkan semua pihak, termasuk masyarakat.

Sebelumnya, pada 2016, juga ada persoalan terkait deteksi kewarganegaraan Arcandra Tahar. Sekitar dua pekan setelah dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, ia diketahui memiliki kewarganegaraan ganda, yakni Indonesia dan AS.

Tidak jujur

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan hakim konstitusi Saldi Isra, MK mendapati bahwa Orient tak pernah menerangkan bahwa ia sebagai pemegang paspor Amerika Serikat. Padahal, Orient masih memegang paspor AS masa berlaku 2017-2027, yang merupakan perpanjangan dari paspor sebelumnya dengan masa berlaku 2007-2017.

”Orient tidak pernah jujur menyangkut status kewarganegaraannya, termasuk tidak mengakui status tersebut ketika mendaftar sebagai calon bupati Kabupaten Sabu Raijua dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2020,” ujar Saldi.

Saldi menegaskan, Indonesia menganut sistem kewarganegaraan tunggal sehingga seorang warga negara Indonesia tidak dibenarkan melekat status kewarganegaraan lain. Dengan demikian, Orient tidak memenuhi syarat warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, untuk mengajukan diri sebagai calon dalam Pilkada Sabu Raijua.

Sementara itu, dalam pertimbangan hukum, hakim konstitusi Suhartoyo juga menjelaskan, ada kondisi spesifik dalam Pilkada Sabu Raijua sehingga MK memiliki alasan kuat menyimpangi keberlakuan Pasal 157 Ayat 5 UU No 10/2016 dan Pasal 7 Ayat 2 Peraturan MK No 6/2020.

Sebagaimana diketahui, pengajuan permohonan sengketa Pilkada Sabu Raijua telah melewati tenggang waktu.

Namun, Suhartoyo menyampaikan, kondisi spesifik dalam Pilkada Sabu Raijua baru diketahui dan dipersoalkan setelah selesainya tahapan rekapitulasi hasil penghitungan suara dan penetapan pasangan calon terpilih. Pasangan calon terpilih juga belum dilantik menjadi kepala daerah.

Ia menyebut, kasus itu merupakan peristiwa hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya dan belum diantisipasi di peraturan perundang-undangan sehingga mahkamah perlu mempertimbangkan keberlakuan syarat tenggang waktu pengajuan permohonan demi memperoleh kejelasan terkait dengan kondisi spesifik dalam perkara itu. (NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 16 April 2021 di halaman 1 dengan judul “Pelajaran dari Kasus Orient”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/04/16/pelajaran-dari-kasus-orient/