August 8, 2024

Petik Pelajaran dari Putusan MK soal Pilkada Yalimo

Penyelenggara pemilu diminta memetik pelajaran dari putusan Mahkamah Konstitusi yang mendiskualifikasi calon bupati Yalimo, Erdi Dabi, dan berakibat pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah Yalimo harus diulang kembali. Penyelenggara pemilu semestinya bisa mencegah hal tersebut terjadi jika mencermati fakta-fakta hukum baru yang muncul setelah penetapan calon dalam pemilihan kepala daerah.

Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 145/PHP.BUP-XIX/2021 yang dibacakan pada Selasa (29/6/2021) menyatakan, Erdi Dabi tak lagi memenuhi syarat sebagai calon dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Yalimo. Sebab, Erdi telah dihukum pidana empat bulan penjara karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk dan menabrak pengemudi sepeda motor hingga tewas.

Kasus Erdi telah diputus di Pengadilan Negeri Jayapura dan berkekuatan hukum tetap pada 18 Februari 2021. Putusan ini muncul setelah pemungutan suara Pilkada Yalimo pada 9 Desember 2020, tetapi sebelum digelarnya pemungutan suara ulang yang diperintahkan MK pada 5 Mei 2021.

Meskipun demikian, Mahkamah menilai hal itu tidak pula menghilangkan fakta hukum bahwa Erdi pernah diancam hukuman pidana di atas lima tahun penjara dalam kasus pidana lalu lintas tersebut sehingga syarat menjadi calon kepala daerah dalam Pasal 7 Ayat 2 huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pilkada tetap berlaku. Mengacu pada aturan tersebut, Erdi seharusnya baru bisa mengikuti pilkada lima tahun setelah menjalani hukuman. Tak hanya itu, Erdi seharusnya mengumumkan status pidananya secara terbuka ke publik.

Mahkamah berpendapat, selama seseorang masih berstatus calon kepala daerah, ia wajib untuk tetap memenuhi syarat itu. Untuk diketahui, Erdi baru tersangkut kasus hukum itu dan diancam pidana di atas lima tahun penjara setelah ia terdaftar sebagai peserta Pilkada Yalimo.

Adapun calon wakil bupati John W Wilil dapat mengajukan diri atau diajukan sebagai pasangan calon, baik sebagai calon bupati maupun calon wakil bupati, tanpa seleksi ulang. Hal itu dapat dilakukan sepanjang tidak ditemukan hal baru yang menyebabkan John W Wilil tak memenuhi syarat. Pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) dilakukan maksimal 120 hari setelah putusan MK itu dibacakan.

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay di Jakarta, Rabu (30/6/2021), menilai, putusan MK tersebut sudah tepat. Putusan dianggap sebagai upaya untuk memastikan kualitas seluruh kandidat yang akan dipilih rakyat sudah memenuhi syarat.

”MK memastikan kualitas semua calon kepala daerah memenuhi syarat sebelum dipilih oleh pemilih, termasuk saat pemilihan suara ulang. Jangan menyodorkan pemilih calon-calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat,” ujarnya.

Menurut Hadar, kasus seperti ini sebenarnya bisa dicegah apabila penyelenggara pemilu selalu mengecek fakta-fakta baru sepanjang pemilihan. Penyelenggara tidak boleh meninggalkan tugasnya dalam memastikan seluruh calon kepala/wakil kepala daerah terus memenuhi syarat hingga dipilih oleh masyarakat. Seandainya belum ada aturan yang mengatur khusus, penyelenggara bisa membuat keputusan melalui rapat pleno.

”Kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi penyelenggara,” tutur Hadar.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, setelah ada putusan dari MK, pihaknya langsung berkoordinasi dengan KPU Yalimo.

”Setelah putusan dibacakan, KPU RI dengan KPU Yalimo sudah mengadakan rapat. Detailnya belum bisa saya sampaikan karena ini harus dikaji dengan baik supaya informasinya tidak salah kepada masyarakat,” katanya.

KPU juga akan mencermati situasi di Yalimo dalam bertindak. Menurut dia, masih ada waktu 120 hari untuk menggelar PSU sehingga masih cukup waktu untuk mengambil tindakan selanjutnya.

Ia menegaskan, putusan MK tersebut menjadi perhatian KPU. Ia berharap, apa pun langkah tindak lanjut yang diambil perlu dilihat dari segala aspek, seperti hukum, sosiologis, dan bagaimana tindak lanjut ini bisa tuntas pada saatnya. Yang pasti, KPU akan melaksanakan putusan MK tersebut.

Selain itu, menurut Raka, KPU juga sudah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Sebagai bagian dari evaluasi, KPU mencermati pula setiap putusan yang dikeluarkan MK.

Adapun anggota Badan Pengawas Pemilu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, Bawaslu sempat menerima surat permohonan dari kompetitor Erdi Dabi-John W Wilil, yakni Lakius Peyon-Nahum Mabeli, yang meminta pembatalan Erdi dan John sebagai calon setelah keluarnya putusan pengadilan atas Erdi. Namun, permintaan itu tak bisa ditindaklanjuti dengan alasan putusan terbit setelah masa pendaftaran calon di Pilkada Yalimo tuntas. ”Sudah bukan kewenangan Bawaslu lagi, tetapi Kementerian Dalam Negeri,” katanya.

Atas putusan MK tersebut, lanjut Fritz, Bawaslu akan menjadikannya sebagai pembelajaran agar kasus serupa tidak terjadi. Apalagi, putusan ini membuat harus dilakukannya PSU Pilkada Yalimo sehingga berdampak pada anggaran untuk pelaksanannya.

Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Ahmad Doli Kurnia Tandjung menilai, perlu ada batas akhir dalam sengketa pilkada. Jika setiap kali pelaksanaan pemungutan suara bisa digugat dan diulang, hal itu bisa mengganggu jalannya pemerintahan di daerah tersebut.

Oleh sebab itu, hal ini perlu dirumuskan secara tegas agar pemungutan suara tidak terjadi berkepanjangan. Apalagi, untuk tahun 2024 penyelenggaraan pilkada dilakukan serentak di seluruh daerah. (IQBAL BASYARI/PRAYOGI DWI SULISTYO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/06/30/petik-pelajaran-dari-putusan-mk-soal-pilkada-yalimo