September 13, 2024

Peradilan Khusus Pemilu Dinilai Tak Lagi Relevan

Pembentukan peradilan khusus pemilu dianggap sudah tidak lagi relevan pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. MK diharapkan tetap menjadi lembaga pengadil sengketa hasil pemilu. Adapun tata kelola penegakan hukum pemilu juga harus dievaluasi.

Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Pemilu dan Pemilihan 2024: Apa Kabar Peradilan Khusus?” yang diadakan oleh Kode Inisiatif, Minggu (29/8/2021). Narasumber yang berbicara dalam diskusi itu adalah peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana; Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Kode Inisiatif Violla Reininda, peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil; dan pakar pemilu Universitas Andalas, Khairul Fahmi.

Para narasumber sepakat, meskipun peradilan khusus pemilu diatur di Pasal 157 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, keberadaannya tidak mendesak. Sebab, melalui putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK sudah tidak lagi membedakan antara rezim pilkada dan pemilu. Pilkada dan pemilu juga menurut rencana akan digelar serentak pada 2024. Setelah itu, pilkada dan pemilu akan digelar secara serentak dengan jeda 5 tahun. Apabila peradilan khusus pemilu dibentuk secara kelembagaan, dikhawatirkan tidak akan efektif karena hanya bekerja 5 tahun sekali.

”Saat ini, regulasi untuk pemilu dan pilkada serentak sudah mulai disiapkan. Pembentukan badan peradilan khusus akan memakan waktu lama. Jika tidak, hasilnya tidak akan komprehensif dan optimal. Daripada membangun lembaga baru yang setengah-setengah, lebih baik memperbaiki dan memperkuat yang ada,” tutur Violla.

Fadli Ramadhanil menambahkan, meskipun UU Pilkada menghendaki adanya badan peradilan khusus menjelang pemilu serentak, sampai saat ini belum ada pembahasan apa pun, baik oleh pemerintah maupun DPR. Namun, sebenarnya ketentuan itu sudah tercantum dalam UU No 10/2016, sesuai dengan putusan MK tahun 2013. MK saat itu masih memisahkan antara rezim pemilu dan pilkada, sedangkan putusan terbaru MK  tahun 2019 sudah tidak lagi membedakan rezim pemilu dan pilkada.

Daripada membangun lembaga baru yang setengah-setengah, lebih baik memperbaiki dan memperkuat yang ada.

Menurut Fadli, jika ketentuan Pasal 157 tetap dipertahankan, yang akan terjadi adalah kebuntuan hukum. Pilkada serentak nasional akan dilaksanakan pada  2024. Namun, sampai saat ini belum ada pembahasan apa pun soal badan peradilan khusus yang menangani sengketa hasil pilkada.

”Menurut saya, ada dua jalan keluar yang bisa dilakukan oleh pembentuk UU. Pertama, melakukan revisi terbatas terkait ketentuan penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Kedua adalah menghapus ketentuan badan peradilan khusus dan menegaskan MK sebagai lembaga yang berwenang menangani sengketa pilkada melalui peraturan pemerintah pengganti UU (perppu),” papar Fadli.

Khairul Fahmi sepakat, dengan waktu yang terbatas dan desain keserentakan pemilu nasional, pembentukan peradilan khusus pemilu dinilai tidak efektif dan tidak efisien. Lebih baik, MK yang sudah teruji menangani sengketa hasil pilkada dikembalikan kewenangannya. Namun, catatannya adalah, mekanisme pemeriksaan cepat di MK dalam sengketa hasil pilkada dianggap tidak optimal dalam aspek pembuktian perkara. MK terkadang hanya berpedoman pada ketentuan legal formal, seperti selisih hasil suara, dan mengesampingkan aspek substantif. Hal ini, menurut dia, ke depan harus diperbaiki agar penyelesaian perkara sengketa pilkada lebih komprehensif. Salah satunya adalah melalui perbaikan hukum acara di MK.

”Penyelesaian perkara di MK tahun 2020 juga banyak diapresiasi karena, walau sedang kondisi pandemi, MK bisa memeriksa perkara dengan cukup baik. Namun, masih perlu dibenahi terkait dengan hukum acara agar perkara dapat diperiksa secara substantif,” kata Khairul.

Jika peradilan khusus pemilu dikembalikan ke Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, justru dikhawatirkan pemeriksaan perkara hanya sebatas formalitas dan administratif. Hal itu pernah terjadi saat sengketa hasil pilkada diperiksa di pengadilan tinggi. Perkara hanya diperiksa secara administratif sehingga dianggap merugikan para pencari keadilan.

Selain itu, MA juga pernah menolak menangani sengketa pilkada karena banyaknya perkara lain yang ditangani di pengadilan tertinggi tersebut. Dia berharap MK tetap diberi kewenangan memeriksa sengketa hasil pilkada, tetapi dengan catatan ada perbaikan pada hukum acara pemeriksaan.

Violla juga memberikan catatan bahwa selain isu peradilan khusus, isu lain yang layak menjadi perhatian adalah pembenahan penegakan hukum pemilu. Kewenangan Bawaslu bisa ditingkatkan untuk mendukung sistem penegakan hukum kepemiluan terutama mengadili sengketa proses dan administrasi. Bawaslu dapat dikuatkan dengan model seperti peradilan, tetapi khusus pada sengketa proses dan administrasi. Hal itu sebenarnya sudah berjalan sekarang, tetapi masih perlu dievaluasi agar lebih optimal. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/08/29/peradilan-khusus-pemilu-dinilai-tak-lagi-relevan/